7. Meminta balikan.

1356 Words
Rindu POV. Aku kaget kala Dilan menarik tanganku. Sempat terdiam untuk beberapa saat, karena aku bingung. "Ada apa?" tanya ku pada akhirnya. Dia gugup. "Oh, maaf. Aku hanya rephleks aja." jawaban yang aneh menurutku. Aku menautkan kedua alis. "Lo ngapain di sini, kalau enggak ke toilet?" tanyaku. "Aku mau ke toilet, tapi malah ketemu kamu di sini." "Oh, ya udah. Kalau gitu gue duluan." Aku berniat pergi, namun sekali lagi Dilan menahanku. "Boleh ngobrol sebentar enggak?" "Hah!" "Ngobrol sebentar?" "Di sini?" "Kamu maunya di mana?" "Ya kan sekarang lagi nonton. Filmnya keburu beres nanti. Lagian mau ngobrolin apa? lo mau ikut jualan kosmetik?" Dia terlihat menggeleng cepat. "Enggak lah, bukan." bantahnya. "Lah, terus apa dong?" "Aku mau ngobrol aja. Kita udah kaya musuh aja." "Masalahnya kan kita juga emang enggak pernah deket, iyakan?" "Kita pernah pacaran selama dua tahun. Apa kamu lupa?" "Bukan lupa, karena seingat gue. Yang lo pacarin itu Meta, bukan gue." "Tapi yang aku tembak, kan kamu." "Iya. Yang lo tembak itu gue. Tapi tujuannya buat dapetin perhatian Meta kan? kenapa lo b**o banget sih. Mau dapetin cewek yang lo suka aja. Pake harus nyakitin gue. Padahal kan cuma lebih berani aja, lo udah bisa dapatin meta. Iyakan?" Jujur saja aku sakit dengar ini dari Pian. Kalau alasan Dilan menyatakan perasaannya hanya karena agar mendapatkan perhatian Meta. Aku merasa menjadi alat saja. Sungguh rendah harga diriku di mata Dilan. Apa aku sejelek dan sebodoh itu, sampai harus menjadi keset orang lain. "Lo udah dengan sengaja nyakitin gue, Lan. Padahal kalau lo jujur sama Meta lebih awal. Lo enggak perlu jadi b******k kaya gitu." Aku tidak pernah berkata langsung dan tegas pada Dilan sebelumnya. Bukan hanya karena aku bucin, tapi karena terlalu sayang, aku pun tidak ada keberanian. Aku dulu begitu takut ditinggalkan Dilan. Sampai aku tetap bertahan selama dua tahun itu. Betapa bodohnya aku. "Gue enggak pernah buat masalah sama lo kan? bahkan gue enggak kenal lo sama sekali, awalnya. Kita waktu MOS pun hanya dua orang yang enggak saling kenal. Tapi lo tiba tiba datang dan nembak gue. Lo bikin gue enggak punya waktu buat nolak. Karena sikap manis lo itu." Waktu nembak, dia memberikanku bunga juga coklat. Dilan yang memang berwajah tampan, membuatku tersipu dan merasa bahagia. Aku yang berwajah biasa saat itu telah dijadikan pilihannya. Jadi bagaimana aku bisa nolak. "Tapi setelah itu, lo malah buat gue kaya s****h! apa salah gue Lan?" Dia terdiam dengan menatapku sedih. Kedua matanya terlihat merah dan memendam rasa. Dan aku tidak tahu apalah yang dia rasakan. Aku hanya merasa d**a ini serasa diremas kuat. "Iya, aku awalnya ngerasa kalau Meta itu spesial buatku. Aku bahagia waktu kita awal awal putus, karena aku pikir kamu udah berhasil buat Meta cemburu. Namun aku enggak tahu, karena ngelihat kamu sama orang lain. Aku enggak rela. Aku--" "Lo enggak bisa kaya gini. Lo plin plan Lan!" "Aku bukan plinplan. Aku hanya terlambat sadar. Kalau ternyata aku sayang kamu!" Dia gila! Dan aku menamparnya kuat. Aku mungkin merasa sudah terbiasa hancur. Tapi bukan berarti aku rela ada hati lain yang nantinya akan sama sepertiku. Aku memang bukan manusia baik dan suci. Tapi aku benci kalau ada lelaki yang plinplan seperti Dilan ini. "Lo gila!" serapahku. Dan Dilan hanya terdiam dengan menatapku letih. "Aku minta maaf. Tapi tolong jangan putus ya ..., kita kembali ya seperti dulu." "Lo ngomong apa sih? jangan ngelawak Lan? Gue udah enggak mau mikirin hal yang enggak penting itu. Lo sama perasaan lo itu, udah enggak penting buat gue." "Aku yakin perasaan kamu juga sama kan? kamu masih sayang kan sama aku?" dia meraih tanganku, namun aku tepiskan. "Perasaan gue enggak penting Lan. Tapi cowok kaya lo ini. Bakal terus berubah ubah. Sekarang lo bilang sayang sama gue. Nanti kalau udah jadian sama gue, lo bakal bilang bosanlah, apa lah, terus lo bakal nyuekin gue lagi." "Aku enggak akan kaya gitu. Aku janji!" "Enggak Lan. Gue enggak bisa. Gue udah mutusin mau sekolah aja. Udah enggak ada waktu buat pacaran Lan!" Segera ku berjalan meninggalkannya. Tak kupedulikan dia yang terus memanggil namaku. Hah! kenapa harus ada dia sih di sini? Tidak bisa kah hanya ada aku dan teman temanku saja. *** Pulang nonton, aku dan Raya diajak makan. Saat ini kita berada di restoran jepang. "Cieee ..., mahal nih traktiran nya? hasil jualan kosmetik lo habis kayanya!" ledeku pada Abijar. Dia terkekeh pelan. "Santai Mi, Abi lagi ada rizki!" ujarnya gaya seorang lelaki dewasa yang sedang berbicara pada istrinya. Membuatku mual saja. Raya terkekeh. "Anjiirr! bahasa lo!" dia berkomentar. "Habis kan, si Rindu tuh kalau sehari aja enggak ngeledek gue. Dia rugi kayanya!" Abijar berkata. "Yakan wajah lo, emang kayanya pantes buat di ledek!" sahutku. Dia mencubit pipiku. "Nakal!" apaan sih, dia thouching banget. "Ciee, Abi kalau suka Rindu bilang deh. Dia masih janda anget lo!" ledek Raya padaku. Membuatku melemparnya dengan sendok. "Mulut lo kayanya minta di lempar." kesalku. "Umi yang sabar yaa." Abijar mengusap lenganku. "Meski pun sudah janda, abi tetep suka ko." memang sangat menyebalkan. Mereka sama aja. Dari pada aku meladeni keduanya. Aku memilih untuk makan saja. "Tadi ke toilet lama banget ngapain?" tanya Abijar, setelah kami mulai serius. "Ya, ketoilet aja." "Enggak, soalnya gue lihat si dilan ke sana juga. Lo ketemu sama dia?" tatapan lekat Abijar seolah sedang mengetahui sesuatu. "Ya enggak tahu, mungkin dia juga ke toilet." menurutku, aku tidak perlu lah menjelaskan ini ke Abijar. Kami hanya sebatas teman yang memang sedang mendalami bisnis jualan yang sama. Di mana Abijar memang mengambil barangnya dariku. Ya kami tidak sedekat itu. "Oh," dia hanya beroh ria. Raya menatap pada kami berdua. "Si Dilan kayanya bete gitu deh, pas kembali dari toilet. Kaya orang putus asa gitu." ujarnya. "Emang lo liat apaan?" tanya Abijar. "Iya, dia wajahnya muram. Dan liatin lo terus deh, Rin. Kalian bertengkar ya di toilet? atau gimana?" Raya ini memang dasarnya kepo. Ya meski di tempat umum, dia tetap kepo. Agak susah menyimpan rahasia sama dia tuh. Kalau sudah begini kan, mana bisa aku menyimpannya lebih lama. Aku juga malah di tatap lekat oleh Abijar. Seolah dia sedang menghakimi, bahwa aku tengah membohonginya. Lah, apa apaan. Kenapa aku merasa harus jujur padanya. "Duh, gimana ya jelasinnya. Sebenernya gue males ya nyeritain ini. Ini enggak penting lah menurut gue." Aku menghela napas dalam. Jujur aku memang malas sekali membahas Dilan. Aku hanya ingin makan tenang dan melupakan semua hal tentang dia. Karena yang aku miliki untuk Dilan itu, hanyalah sebuah kebencian saja. "Ya udah, mending enggak usah diceritain kalau males!" Abijar berkata. "Lo punya hak buat nolak. Iyakan Ray?" kalimat itu terdengar seperti ingin menyelamatkan diriku. Namun sangat jelas kalau Abijar sangat ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di toilet itu. Setelah makan, kami pun pulang. Raya bertemu Mamahnya yang pulang dari kantor. Sehingga ia pulang bersama Mamahnya itu. Sedangkan aku berniat pulang dengan ojek online. Namun Abijar menahanku. "Gue anter lo pulang!" "Hah!" "Udah malem. Motor gue juga kosong kan?" aku menatap moge berwarna putih yang terparkir di depan kami. "Eh, tapi jujur enggak apa apa deh, Bi. Kita juga enggak searah kan?" "Memang nya kenapa kalau enggak searah?" "Ya kan, gue enggak enak sama lo. Enggak apa apa. Lo pulang aja. Lagian, kosan gue juga deket dari sini." "Emang kalau deket kenapa? enggak boleh naik motor? yakin lo mau jalan kaki ke sana?" "Ya, enggak. Gue mau pesen ojek online." "Tuh, kan. Sama sama naik motor. Kenapa emangnya kalau naik motor gue? enggak enak? atau kurang suka?" Ini si Abijar kenapa ya? Perasaan emosian. "Eh, bukan gitu. Gue cuma--" "Biarin gue bantu lo!" "Hah!" Dia memakaikan helm. "Kita pulang!" ucapnya. Eh, dia agak tegas. Seolah tidak ingin dibantah. Kenapa? apa aku telah melakukan kesalahan hanya karena telah menolaknya? "Kenapa? masih mau nolak?" bertanya dengan jarak yang dekat dan tatapan tegas. Membuatku mengerjap. Ada yang aneh darinya. Kami sudah kenal lebih dari sebulan ketika ia mau menjual kosmetik ku. Dia selalu ceria dan ramah. Dia tidak tegas seperti ini. Jujur nyaliku menciut. Aku tidak mungkin membantah lagi. Jadi aku hanya menggeleng dengan sebuah kerjapan. "Enggak, ko." Dia tersenyum. "Good girl." ucapnya dengan nada serak. Nah, senyuman ini pun aku baru melihatnya. Abijar! kamu kenapa sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD