9. Mendekap erat.

1391 Words
Abijar POV "Pacar! Pacar!" Kudengar Ayah memanggil Ibuku. Ah, mereka memang sangat manis meski sudah menikah bertahun tahun. "Pacar Papah mana?" tanya Ayah padaku. Beliau baru pulang kerja. Dan mamah sedang berada di kamarnya. "Pah, Starla mau pergi ke Mal. Mamah enggak ngasih uang. " Kakak ku turun dari lantai atas dan merengek, seraya menamprakan tangannya meminta. Ayah tersenyum dan mencium keningnya Kakak. "Kamu ngapain ke Mal terus Hm?" tanya nya. "Dih, Starla kan mau beli buku. Mau novel barunya Kak Etnilee." dia terlihat merenggut. "Mamah enggak mau ngasih katanya, kalau cuma buat beli novel mah!" tambahnya. Aku hanya menatap mereka berdua yang berdiri di depan tangga. Papah mengusap kepalanya. "Kalau kata pacar Papah, enggak boleh, ya enggak boleh." ucapnya lembut, namun membuat Kak Starla kesal dan terlihat marah. Dia mendekat padaku dan merebut dompetku. Lalu mengambil isinya, lalu pergi. Aku hanya mengerjap dan terpaku melihat kelakuan kakak ku itu. Dan Papah terkekeh. "Nanti Papah ganti!" ujar Papah. Dan aku hanya menggangguk saja. Baiklah akan aku ceritakan bagaimana keluargaku ini. Kakak ku adalah satu satunya putri kandung Papah, dan aku adalah putra dari laki laki lain. Maksudku, Papahku adalah Papah Ishak Anugrah, yang meninggal sebelum aku lahir. Agak rumit sih ceritanya. Jadi dulu tuh, Papah Saka sama Mamah pernah nikah, lalu lahirlah Kak Starla. Eh, malah cerai. Setelah itu Mamah bertemu Papah Ishak, kemudian datanglah aku. Dan setelah Papah Ishak meninggal karena kecelakaan, Mamah kembali pada Papah Saka. Papah Saka bilang, Papah sangat mencintai Mamah. Jadinya beliau rela melakukan apapun agar Mamah mau kembali padanya. Termasuk menyerahkan semua perusahaannya atas nama Mamah. Duh, romantisnya. Dan sampai saat ini, Papah selalu memperlakukan Mamah, seolah mereka baru saja kenal. Aku kadang merasa heran dengan hubungan manis mereka. Tapi aku juga menangkap, kadang mamah menatap poto Papah Ishak dengan tangisan. Ah, di dalam hati kecilnya aku merasa kalau Mamah masih saja merindukan Papah kandungku itu. "Ikhs, Mas Saka ini berisik sekali!" terlihat Mamahku turun dan mencium punggung tangannya Papah. "Kan aku kangen!" beliau memeluk Mamah erat sekali. "Kamu itu enggak ada malu. Anak kamu liatin juga!" Mamah berkata sambil perlahan mendorong Papah. Papah melirik padaku. "Biarin aja lah. Dia juga udah ngerti. " ucapnya. Aku terkekeh dengan menggeleng geli. "Iyaaa, iyaa, dunia serasa milik berdua. Saya mah ngontrak!" ucapku seolah sedang menjadi orang yang paling tersakiti. Mamah terkekeh, dan mengajak Papah ke dapur. "Ayo kamu mau makan enggak?" ujar Mamah. Papah malah terlihat menyandarkan kepala di pundak Mamah dengan manja. "Mau, tapi suapin ya." "Dih, malas!" "Gitu ya? udah enggak cinta ya? apa ada lelaki lain ya kamu!" "Berisik, Saka!" Aku hanya tersenyum sendiri. Mereka ini benar benar membuatku kehilangan kata. Ada saja hal yang selalu dibahas dan membuat diriku senyum sendiri. Tapi apapun itu aku selalu merasa bersyukur. Mereka saling cinta dan saling menjaga diusia yang sudah tidak lagi muda. *** "Rindu!" Langkahku terhenti, kala mendengar Meta memanggil nya. Aku memilih bersembunyi tidak jauh dari mereka. Terlihat Rindu menghampiri Meta. "Ada apa?" tanya Rindu. "Kamu dan Dilan udah putus kan?" "Iya, kenapa?" "Tapi kenapa waktu itu kalian masih nonton?" "Oh, gue enggak nonton sama dia ko. Gue nonton bareng temen temen gue." "Kamu jangan bohong deh. Aku lihat photo kamu ngobrol di toilet bioskop. Kalian janjian ya?" dari nada bicaranya Meta, terdengar jelas bahwa gadis itu memang sedang cemburu. Dan yang aku kagumi adalah Rindu tetap terlihat tenang meski Meta mulai tersulut emosi. "Lo ngikutin gue sama dilan sampe ke toilet juga?" tanya Rindu penuh takjub. Dan sejujurnya aku ingin menanyakan itu. Tapi apa hak ku. Aku hanya parther kerjanya saja. "Bukan aku. Tapi temen temen aku." "Oh, buat apa?" "Ya, kan aku ada hak buat ngelakuin itu. Karena Dilan sangat sayang sama aku. Jadi aku pun sayang banget sama dia. Aku ingin dia selalu aman di mana pun ia berada. Itu lah yang aku lakukan." Dan pada saat Meta mengatakan itu. Sedikit wajah ceria Rindu agak terusik. "Dilan sayang banget sama aku. Kami telah berteman lama sekali. Bahkan sejak TK. Dan seharusnya kamu tahu, siapa yang akan Dilan pilih untuk jadi kekasih hatinya." yang aku tahu, sikap Meta selalu manis di depan Dilan. Dia selalu bersikap lugu seolah ia mendukung hubungannya dengan Rindu. Tapi melihat gaya bicaranya kali ini, aku merasa kalau Meta ini bermuka dua. Atau entahlah ..., aku tidak memahami sikapnya ini. "Gue tahu sih, kalau Dilan sayang banget sama lo. Jadi lo enggak perlu jelasin itu." "Aku cuma mau ngingetin. Kalian jadian pun tujuannya adalah aku. Dilan ingin aku cemburu, dan dia berhasil. Jadi kamu jangan sampai terkecoh lagi. Masa iya, kamu mau tersakiti untuk kedua kalinya?" Rindu terlihat mencoba tersenyum. "Iya, aku tahu." ujarnya bergetar. Meta menangkap pergerakan Dilan yang sepertinya akan berjalan ke arah mereka. Meta langsung menyapa Dilan dengan senyuman terlugu yang pernah aku lihat. Tidak seperti tadi ia berbicara dengan Rindu. "Dilan! kamu mau ngobrol sama Rindu enggak? kalian baik baik aja kan?" Aku sungguh ingin terbahak dengan sikap yang diperlihatkan Meta itu. Dia menurutku seorang pemain ulung dalam menipu. Dilan sungguh bodoh! Dilan terlihat menatap Rindu dengan lembut. "Dia kayanya enggak mau ngobrol sama aku," ucapnya terdengar seperti yang tersakiti. Meta menautkan kedua alisnya. "Loh, ko Rindu gitu? Dilan mungkin mau bicara sama kamu. Bertengkar terlalu lama itu enggak enak kan? kalau masih saling cinta, kenapa enggak coba balikan aja?" Dilan masih saja menatap Rindu dalam. "Dia kayanya udah ada cowok lain. Aku masih suka pun kayanya percuma!" Tunggu! Sepertinya Meta terkena batunya. Dia yang ingin mempermainkan Rindu, tapi malah ia sendiri yang mati. Lihat bagaimana perubahan mimik wajahnya Meta, saat Dilan mengatakan ia masih suka pada Rindu. Ah, ini seperti Meta yang sedang menggali lubang untuk mengubur dirinya sendiri. Kasihan! Dan Rindu terlihat tersenyum pada mereka berdua. Sebuah senyuman kecil yang aku sendiri tidak bisa menebak apa artinya. "Tuh, denger Rin. Berarti masih ada kesempatan dong, buat hubungan kalian." Meta berkata seolah paling bijak. Namun sayangnya Rindu seperti sudah jengah dengan mereka berdua. "Terima kasih Ta. Lo baik banget, Dilan beruntung dapetin cewek kaya lo. Kalian sama sama orang baik. Kalian cocok!" kemudian Rindu pun begitu saja, membuat Dilan terdiam seolah kehilangan, dan Meta tentu saja menatapnya dengan penuh kekalahan. Ia tidak bodoh, ia tentu saja tahu apa arti dari kalimat yang Rindu katakan. Sore hari pukul empat belas, kami pulang sekolah. Dan aku melihat Rindu berada di koridor menunggu Hujan reda. Aku meraih ponselku karena mamah menelpon. "Duh, kenapa gue enggak bawa payung sih?" dia terdengar bermonolog sendiri. "Jadinya hujan kaya gini. Atau gue ujan ujanan aja kali ya?" terlihat berbicara sendiri, menyalahkan diri sendiri, dan pusing sendiri. Benar benar gadis yang unik. Ku tutup telpon ku, karena Mamah mengakhiri pembicaraan ini. Lalu berjalan mendekat padanya. "Gue bawa mobil, lo mau ikut enggak?" ku bertanya padanya. Kedua mata indah itu tertuju padaku. "Eh, enggak, enggak usah. Gue nungguin aja di sini. Lagian kita enggak searah kan?" lagi, dia menolaku. Ini untuk kali pertama seorang gadis menolak niat baik dariku. Menolong nya saat hujan, termasuk niat baik kan? "Kalau enggak searah memangnya kenapa?" "Ya, kan. Nanti lo bakal repot harus putar balik, gitu." "Kalau putar balik, gue enggak bayar kan?" "Bensin nya nanti boros. Harga BBM lagi mahal kan?" dia terlihat meringis. Dan aku malah tersenyum dibuatnya. "Nganterin lo pulang, enggak mungkin habis sampe seliter kan?" Dia terkekeh. "Ya enggak tahu. Gue cuma enggak mau ngerepotin lo aja. " Dia menatap hujan yang berjatuhan. "Lo mikirin apa?" aku hanya penasaran pada apa yang sedang ia pikirkan. Kenapa terlihat jauh dan menyedihkan. "Saat hujan berada di tempat yang jauh dari kedua orang tua itu, agak gimana yaa..., rasanya aneh," dia tersenyum padaku. Tapi senyuman itu terasa getir. "Memangnya kedua orang tua kamu di mana?" aku memberanikan diri untuk bertanya. Dia tiba tiba terlihat gelagapan. "Eh, ada ko. Mmm ..., gue kayanya pergi duluan ya!" entah kenapa dia jadi buru buru dan gugup melihatku. Dia melangkah ke arah hujan tanpa hati hati. Keramik yang basah memang licin dan berbahaya kalau diinjak. Dan seperti yang ada di dalam pikiranku. Bahwa gadis itu tidak aman. Dia menjerit kalau sebelah kakinya terpeleset. Aku yang sudah menduga hal itu, segera menarik sebelah tangannya, dan membuat tubuh ramping itu berada di dalam dekapan ku. Untuk seperkian detik, dia kaget dengan kedua mata indah itu membulat, dan napasnya yang terengah. Ku usap wajahnya lembut sekali, aku tidak suka ada air hujan jatuh di sana. "Hati hati!" Kataku pelan, begitu dekat dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD