BAB 3

2457 Words
Bagian 3 Gio mengerang frustasi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri jika mentalnya masih baik-baik saja. Wanita itu menghilang lagi tanpa salam perpisahan-setidaknya salam perpisahan lah yang Gio harapkan. Nomor ponselnya tidak dapat di hubungi, padahal tadi pagi ia masih sempat menghubungi dan mengirim pesan singkat pada wanita itu. Bahkan ia bersumpah jika wanita itu berbicara padanya di telepon dan mengatakan jika dia akan menunggunya pagi ini. Tidak ada satu pun tanda kedatangannya di apartemennya saat ini-Hilang benar-benar hilang, bahkan tidak sedikitpun aroma tubuhnya yang Mia tinggalkan di tempat ini. Apa ini tandanya ia harus segera berkonsultasi ke psikiater terdekat? Ini semua benar-benar di luar nalar pikirannya, karena siapapun yang mendengar ceritanya ini pasti akan menganggapnya sudah gila. Atau apa mungkin wanita itu memutuskan pergi sendiri untuk mencari tahu keberadaan ayahnya tanpa menunggu bantuan darinya? Sialan. Gio langsung memastikan satu hal, dengan sedikit menyuap petugas keamanan apartemen di sini ia mencoba mengecek rekaman cctv di area kamarnya pada hari ini. Tapi sialnya, tidak ada apapun, namun ada sesuatu yang membuat Gio berpikir keras. Pada rekaman cctv itu seperti ada yang sengaja menghilangkan bagian pada jam-jam tertentu, hal itu langsung menguatkan keyakinannya jika pertemuannya dengan Mia kemarin bukanlah khayalannya saja. Pria itu kembali mengecek beberapa tempat, dan ekspresinya langsung berubah saat melihat seorang pria berbadan besar sedang berjalan di lorong lantai apartemennya berada membawa sebuah koper, koper yang Gio tahu milik Mia... *** Tidak ada jam dinding di tempat ini, dan juga tidak ada jendela yang bisa menghubungkan dirinya ke dunia luar untuk tahu waktu apakah saat ini sudah malam atau sudah siang. Tapi menurut perkiraannya sendiri, sudah terbilang tiga hari ia berada di tempat ini. Dan keadaannya masih tetap sama, terkurung di kamar putih yang memuakkan tanpa ada satu orang pun yang mau menjelaskan apa sebenarnya kesalahannya sehingga harus berakhir di tempat ini-bahkan pria misterius itu, Alex. Dia tidak pernah menunjukan batang hidung nya lagi semenjak pertemuan terakhir mereka pada hari pertama ia di bawa ke tempat ini. Mia masih berharap jika apa yang di alaminya ini hanyalah mimpi nya saja. Ia sudah terbiasa dengan mimpi-mimpi aneh yang sering menghantuinya selama belasan tahun lamanya, jadi mungkin saja kejadian ini sama seperti mimpi-mimpi anehnya yang terus berulang dan terasa begitu nyata. Walaupun Mia sadar jika angan-angannya ini hanya akan membuatnya terlihat semakin bodoh. Pada jam-jam tertentu pelayan yang sama saat menyeretnya ke kamar ini akan membawakan makanan untuknya. Mulanya Mia ragu untuk memakannya, karena bisa saja orang jahat itu akan menaburkan racun di makanan tersebut dan membuatnya mati dengan cepat. Tapi keraguan yang Mia tunjukan ternyata langsung di pahami pelayan itu. Dengan nada yang dingin ia mengatakan jika makanan yang ia bawa ini aman dan harus ia habiskan jika ia tidak ingin terkena masalah besar. Walaupun keraguan itu masih terus menghantuinya, Mia memilih untuk mengambil resiko. Ia sangat kelaparan dan juga untuk mengantipasi jika pria itu sewaktu-waktu akan berbuah hal yang macam-macam padanya dia tidak boleh dalam keadaan lemah. Jadi untuk sekarang, Mia masih bertahan dengan situasi ini. Sempat Mia mencoba untuk menyerang pelayan yang masuk saat membawakan makanan untuknya, tapi sialnya seperti sudah tahu apa yang akan terjadi pelayan-pelayan itu lebih siaga dari yang Mia perkirakan. Mereka membawa sepucuk pistol yang mereka selipkan di saku rok yang mereka kenakan membuat Mia memikirkan ulang untuk menyerang mereka. Selain itu, ia juga masih memikirkan kebersihan tubuhnya. Di kamar ini juga sudah tersedia kamar mandi- dengan nuansa putih tentunya-yang sering Mia gunakan untuk membersihkan diri. Selusin gaun dengan model dan warna yang sama, yaitu warna putih juga telah di sediakan di kamar ini untuknya beserta dalaman yang pas di tubuhnya-awalnya Mia merasa malu karena mengetahui bahwa seseorang telah tahu banyak tentang dirinya bahkan sampai tahu ukuran pakaian dalamannya saat ini. Dan hari ini Mia pikir kesabarannya telah habis, dia tidak akan segan untuk menunggu atau mengikuti alur permainan yang pria itu rancang untuknya lagi. "Kau akan terus bersembunyi dan mengurungku disini hah?!" Mia menggedor pintu kamarnya dengan keras. "Kau pikir aku diam selama beberapa hari ini karena aku tunduk padamu?! Aku hanya ingin mengikitu alur permainanmu! Tapi sekarang tidak lagi, jadi kau harus mendengarkan aku! Aku akan melakukan apa saja agar kau membuka mulut sialan mu dan mengatakan segalanya padaku!" kata Mia sambil terus membuat kegaduhan. "Aku pasti cukup berharga sampai kau tidak mengusik nyawaku dan terus mengurungku di tempat ini. Aku bisa mengancammu dengan nyawaku, jika kau tak segera datang. Aku bersumpah akan melakukan percobaan bunuh diri agar kau tidak mendapatkan apa-apa dariku!" ancam Mia. "b******n aku tidak main-main dengan ucapanku!" teriak Mia masih mengetuk keras pintu kamar ini dengan kedua tangannya memancing umpannya. Tak lama terdengar suara pintu yang sedang berusaha di buka dengan sebuah anak kunci membuat Mia langsung menjauh dari daun pintu dan memasang ancang-ancang waspada. Kali ini Mia berhasil, pria itu yang datang. Sama seperti sebelumnya, dia tidak menunjukan ekspresi apapun di wajahnya yang entah kenapa membawa pesona tersendiri yang tak ingin Mia akui. Hari ini pria itu mengenakan kemeja polos berwarna hitam yang pas membungkus tubuhnya dengan jeans hitam yang terlihat sepadan. Dia menutup pintu kamar putih ini tanpa memutuskan pandangannya pada Mia, tatapan mengintimidasi yang langsung membuat wanita itu meloncat mundur menjauh darinya. "Kau sangat berisik, kau tahu aku tidak suka kegaduhan?" Alex berkata sambil melipat kedua tangannya. "Siapa yang peduli?! Aku akan lebih berisik lagi jika kau masih terus mengurungku disini." Alex tersenyum meremehkan. "Aku tidak akan membiarkan itu, mungkin nanti aku harus mengikat tangan dan kakimu, menyumpal mulutmu dan juga menutup kedua matamu." Mia menggeleng keras. "Siapa kau?! Kenapa kau melakukan ini padaku? Dan apa maumu?!" "Kau sudah tahu namaku," Alex berkata dengan nada yang pelan. "Itu bukan jawaban. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya!" "Sudah ku bilang Mia, kau disini untuk membayar sesuatu. Tidak ada dalam agenda ku untuk menjelaskan apapun." Mia termangu, lagi-lagi alasan yang sama. Membayar sesuatu katanya? "Apa yang harus aku bayar? Hah? Apa aku berhutang padamu di masa lampau dan kau membenciku karena aku melupakannya? Kau gila? Aku bahkan bersumpah tidak mengenalmu! Aku tidak punya hubungan apapun denganmu! Jadi apa yang harus aku bayar?!" kata Mia dengan lantang membuat Alex langsung menatap Mia dengan tajam, pria itu langsung berhambur ke arahnya dengan cepat bahkan sebelum Mia sempat mengedipkan matanya. Alex merangkul wanita itu dengan hentakan yang sangat kasar hingga Mia terkejut bukan main. Pria itu menahannya dengan keras sehingga Mia tidak di beri kesempatan untuk melepaskan diri dari pelukannya. Dan selain itu, mata abunya yang sedang menatapnya tajam karena marah membuat Mia tidak tahan untuk segera mengalihkan pandangannya---entah karena alasan apa, mata itu selalu membuatnya merasa aneh. Alex tak membiarkan itu terjadi, dengan sebelah tangannya yang lain ia menarik wajah Mia agar mendongak menatapnya. "Kau memang banyak bicara, kau bahkan tidak tahu apa yang kau ucapkan itu." desis Alex. "Kau mungkin tidak pernah merasa berhutang padaku. Tapi aku tahu! Aku yang tahu Mia! Dan perlahan akan ku buat kau tahu dan mengerti." Alex melepaskan pelukannya dengan kasar membuat wanita itu hampir terhuyung jatuh. "Sekarang lakukan apa yang ingin kau lakukan, bunuh diri? Silahkan! Tapi mungkin kau melupakan satu hal. Ayahmu yang malang itu sedang menunggumu. Jika kau mati, aku juga tidak punya pilihan lain selain membunuhnya." kata Alex dengan nada ancaman yang tersamarkan. Mendengar pria itu mengungkit sesuatu tentang Ayahnya, Mia langsung tersentak kaget. "Kau tahu tentang Papahku? Kau tahu keberadaannya sekarang? Jadi aku benar kan jika semua ini berhubungan dengan papahku! Katakan sialan!" kata Mia terengah-engah. Alex tak menghiraukan semua pertanyaan itu dan segera berbalik melangkah pergi dari kamar ini untuk menguncinya kembali. Mia yang panik segera menerjang tak mau membiarkan pria itu pergi, tapi terlambat pintu itu telah di kunci kembali. "Kumohon katakan apa yang kau tahu tentang Papaku dan bagaimana keadaannya sekarang?! Sialan!" Mia mengumpat karena tahu tak akan ada yang mendengarnya. Papanya bisa saja dalam bahaya dan dia di jadikan umpan agar Mia patuh pada perintah pria sialan itu. Membuat wanita itu tak mempunyai pilihan lain selain, bertahan hidup. *** Dua orang pelayan wanita yang tiba-tiba datang berhasil mengejutkan Mia yang baru selesai memakai pakaiannya sehabis membersihkan tubuhnya. Kali ini mereka tidak membawakan makanan seperti biasa membuat Mia mengernyit heran dan sebelum Mia melontarkan sebuah pertanyaan tanpa persetujuan darinya mereka menyeret Mia dengan sangat kasar. Tentu saja Mia mencoba melepaskan diri, tapi kedua pelayan itu sama sekali tidak mau berbaik hati untuk melepaskan Mia begitu saja. "Kalian mau membawaku kemana? Apa kalian tidak bisa meminta dengan sopan dan membawaku sedikit lebih lembut?" omel Mia. "Ikuti saja kami." jawab salah satu dari mereka dengan dingin. Mereka membawa Mia ke tempat yang sama saat pertama kali ia menginjakan kaki di rumah ini. Alex sudah ada di sana, dengan dua orang penjaga dan juga satu orang pria memakai kacamata kisaran umur 40-an dengan setelan rapi. Dua orang pelayan itu sedikit mendorong Mia untuk bersanding di sebelah Alex. "Apa yang kalian inginkan!" protes Mia dengan lantang. Pria itu tersenyum ke arahnya, bukan sebuah senyuman pertanda baik yang Mia tahu. "Santai manis, bisakah kau pelankan suaramu dan mendengar penjelasanku?" tanyanya membuat Mia ingin muntah dengan sebutan manis yang terdengar di buat-buat itu. "Aku hanya membutuhkan tanda tanganmu, dan aku ingin kau cepat melakukannya karena aku tidak suka dengan orang yang senang menghambur-hamburkan waktu." kata Alex sambil memberikan sebuah pena---yang Mia tahu pena itu adalah pena mahal berharga jutaan, walaupun pada akhirnya hal itu tidak terlalu menjadi perhatiannya karena rasa ingin tahunya pada sebuah berkas yang Mia tidak tahu isinya apa di sodorkan ke arahnya dan sesuai perintah Alex, pria itu menginginkan tanda tangannya. Tapi Mia tidak sebodoh itu, sebelum menuruti apa yang Alex perintahkan Mia membaca berkas di hadapannya dengan cermat. Dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui apa isi dari berkas itu. "Apa kau sudah gila?! Apa maksudmu dengan ini semua?" tanya Mia dengan ekspresi marah sekaligus tidak percaya. "Kau sudah membacanya, lalu kenapa kau masih bertanya Mia. Kita akan menikah. Dan aku tidak memberikanmu pilihan. Tanda tangani itu sekarang." katanya datar namun penuh tekanan. Pernikahan? Mia tak habis pikir dengan apa yang akan pria itu lakukannya terhadapnya. Pria di hadapannya ini memang sudah tidak waras. Dia bahkan sama sekali tidak mengenal pria ini- setidaknya selain namanya dan sifat jahatnya. "Aku tidak mau! Kau pikir aku wanita macam apa? Pernikahan bukan hal yang main-main untukku. Dan kita sama sekali tidak saling mengenal dengan baik, aku lebih baik mati di banding harus menikah denganmu!" serapah Mia yang sama sekali tidak membuat Alex terganggu dengan ancamannya. "Kau pikir dengan ancamanmu seperti itu aku akan menghentikan segalanya? Sudah kubilang aku tidak membuat pilihan, anggap saja saat ini kau membayar setengah hutangmu dan ayahmu itu padaku. Apa yang kau takutkan hah? Akui saja, kau sedang berpura-pura menolakku agar membuat kesan baik bahwa kau seorang wanita yang terhormat. Begitu?" Mia langsung menampar keras pipi Alex membuat pria itu sedikit terhuyung karena tidak siap dengan serangan yang akan di beri Mia tadi. "Kau tidak tahu apa-apa tentangku, dan apa hak mu berpikir hal serendah itu padaku? Ini hidupku, jadi aku bebas untuk memutuskan apapun sesuai apa yang aku inginkan." kata Mia dengan ekspresi yang keras menahan matanya agar tidak menumpahkan air matanya yang sejak tadi menggenang di kelopak matanya. Jujur saja perkataan pria itu sebelumnya membuat Mia sangat sakit hati. Sengatan panas yang menjelajari pipinya membuat gejolak amarah menguasai dirinya. Tapi ia menahannya untuk tidak meledak sekarang, di usapnya pelan pipi yang terkena tamparan wanita itu lalu dengan susah payah Alex menarik bibirnya untuk memberi senyum miring khas nya pertanda ia masih dapat mengendalikan dirinya. Salah seorang penjaga yang sebelumnya berjaga di daun pintu kini berganti mengambilkan sebuah laptop yang sengaja di hadapkan ke arah Mia. Diam-diam, Mia penasaran dengan apa yang orang-orang itu pikirkan saat mendengar pertengkaran mereka sebelumnya di tempat ini. Karena saat melihat air mukanya satu persatu, mereka terlihat sama sekali tidak terganggu atau memilih untuk tidak peduli. Selain itu dua orang pelayan wanita yang sebelumnya menyeret Mia ke tempat ini kini bertugas kembali menahan tubuh Mia dengan mencengkram kedua pergelan tangannya tidak di beri kesempatan untuk bergerak seinci pun. Dan sebelum Mia sempat memberontak kembali laptop itu di nyalakan, dan di sana terpampang jelas video cam yang memperlihatkan bagaimana kondisi ayahnya saat ini. Reflek Mia membelalakkan matanya saking terkejut. Air mata yang semulanya ia tahan kini tak terbendung lagi. Ayahnya terlihat sangat lemah, di ikat dengan posisi menggantung dengan kain penutup matanya. Dan samar Mia bisa melihat banyak luka memar di sekitar wajahnya seperti ada orang yang sengaja menyiksanya sebelum Mia melihat kondisinya saat ini. "Papah..." lirih Mia. Ia langsung beralih menatap Alex dengan tatapan tajam. "Apa yang kau lakukan padanya?!" Alex terkekeh meremehkan sebagai jawaban. "Aku tidak melakukan apapun. Dia mungkin sudah sepantasnya di perlakukan seperti itu," "Kau b******n jahat! Lepaskan Papahku! Bebaskan dia!" umpat Mia sambil memohon. "Aku menyesal sekali, kau sendiri yang mengatakannya kalau aku b******n yang jahat. Jadi apa yang kau harapkan dariku? Sebuah pengampunan?" kata Alex tenang sambil bersidekap. Tak lama seseorang berpakaian serba hitam datang dari sebelah kanan lalu menempelkan sebuah pistol tepat di pelipis ayahnya. "Apa yang akan kau lakukan padanya?!" tanya Mia langsung panik. Alex tak langsung menjawab, ia sangat menikmati melihat ekspresi yang sekarang Mia tunjukan saat ini. "Sekarang aku memberimu pilihan Mia, kau boleh menolak perintahku untuk menjadi pengantinku. Tapi nyawa ayahmu lah sebagai bayarannya. Jika kau katakan tidak sekarang maka aku akan langsung memberi perintah pada pria berpakaian disana untuk, bum. Kau tahu apa yang akan terjadi." "Dan jika aku mematuhimu...?" tanya Mia pelan. "Akan ku beri Ayahmu waktu sedikit lebih lama lagi," kata Alex dengan senyum miringnya. "Sedikit lebih lama lagi?!" "Aku tidak bisa menjaminnya Mia, kau wanita keras kepala yang pantang menyerah. Jika nanti kau berulah lagi, ingat saja bagaimana Ayahmu akan berakhir..." Mia termangu, itu bukan pilihan. Pada akhirnya dia harus mematuhi keinginan pria itu kan? Tapi sebuah pernikahan? Mia masih berpikir jika itu bukan ide yang bagus. Menyetujuinya sama saja dengan ia menyerah pada pria jahat di hadapannya ini. Dan juga pupus lah sudah semua angan tentang pernikahan yang selama ini selalu mia dambakan. Sebuah pesta kecil bernuansa vintage, mempelai pria yang mencintainya dan dicintainya, dimana ia tak akan merasa khawatir dengan berbagai macam kemungkinan buruk dari mahligai rumah tangga yang akan ia jalani dan juga dimana ia menempatkan sebuah pernikahan sebagai ikatan suci untuk selamanya. Tapi sekarang... Menikahi pria itu? Mia tidak tahu lagi, tidak akan ada satu pun angannya yang menjadi kenyataan. Jika bukan karena Ayahnya. Ia mungkin masih bisa egois. "Putuskan sekarang Mia." Alex berkata dengan geram saat melihat wanita itu malah merenungkan sesuatu. Mia mengangguk lemah. Tidak ada pilihan lain kan selain pasrah? Hal itu jelas langsung membuat Alex tersenyum menang. Ia menyuruh dua orang pelayan itu untuk melepaskan Mia dan kembali memberi pena padanya untuk menandatangani berkas pernikahan mereka. Dengan hati yang berat, Mia mencoretkan tanda tangannya di atas kertas itu. Dan sekarang ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi... 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD