DY 02 - Gosip

1843 Words
Tiana tengah berjalan sendirian di koridor menuju kantin saat mendengar obrolan beberapa mahasiswi. Samar-samar Tiana mendengar nama sahabat baiknya disebut. Ya siapa lagi kalau bukan Ryuu. Sejak mereka menjadi mahasiswa baru hingga kini nama Ryuu memang masih kerap diperbincangkan. Saat dulu fakta tentang ia dan Djorka kembar tersebar, kampus sempat heboh. Banyak yang tak menduga. Bukan karena apa, tapi karena kepribadian keduanya bisa dibilang sangat berbeda. Djorka terkenal sangat ramah, friendly dan juga punya pergaulan yang luas. Kalau bahasa kerennya sih "Social Butterfly". Sementara Ryuu kebalikannya. Temannya bisa dihitung jari. Keramahannya apalagi. Dan mungkin bisa dikatakan hampir tak ada mahasiswa di kampus yang pernah melihat laki-laki itu tersenyum. Apakah Ryuu sedingin itu? Iya. Tapi sebagai sahabat yang mengenal Ryuu, tentu Tiana kerap membela sang sahabat. "Sering kok dia senyum. Kalian aja yang nggak lihat." "Dia ramah kok, cuma emang nggk terlalu kelihatan jelas aja." Dan beberapa pembelaan lainnya. Bukannya Tiana tak tahu kalau yang orang-orang katakan itu memang benar—maksudnya sikap dingin Ryuu, tapi tetap saja Tiana suka membela sahabatnya itu. Anggap saja menjaga sudut pandang orang lain agar tak salah menilai Ryuu. Meski hal itu sebenarnya tak begitu dibutuhkan. "Lama bener." Erian protes begitu p****t Tiana mendarat di kursi. "Lo tepe-tepe dulu ya ke fakultas sebelah?" Tiana menjitak kepala Erian yang kebetulan hari ini duduk di sebelahnya. Laki-laki itu langsung layangkan protes. Bibirnya manyun dan tak lupa kalimat penyesalan meluncur dari sana. "Kan, emang harusnya gue duduk jauh dari lo." Tiana mencebikkan bibir cuek. Pandangannya beralih pada Ryuu yang tengah fokus pada ponselnya. "Serius amat. Ngeliat hasil ujian lo?" Ryuu tak langsung menoleh. Ia menarik napas pelan kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Laki-laki itu mengarahkan pandangan pada Tiana. "Sejak kapan si Ryuu serius ngeliat hasil ujian? Dia mah udah tau kalau nilai dia pasti bagus," Erian nyeletuk. Ryuu menyeruput minumannya. "Udah beres urusan lo?" Ia balik bertanya pada Tiana. "Hm, dikit lagi. Eh iya, tadi gue denger obrolan cewek-cewek jurusan sebelah. Eh nggak sengaja denger sih, mereka bilang lo masuk UKM kesenian, Ryuu. Gue nggak salah denger?" "Bukan masuk," jawab Ryuu. "Cuma bantuin Bang Mido." "Apa?" Dahi Tiana mengerut. "Tampil di acara minggu depan?" Ryuu menggeleng. "Ngecekin gitar." "Ohhh." Tiana manggut-manggut. Ia pikir Ryuu benar-benar bergabung dengan UKM kesenian. Itu terasa sedikit mustahil—dan memang tidak mungkin. Nyatanya Ryuu hanya bantu seniornya memeriksa gitar. Astaga. "Lagian nih anak mana mah ikut begituan, Ti. Hidupnya kan gak jauh-jauh dari kampus, ujian, libur, pulang ke rumah." "Lah, kayak sendirinya nggak begitu," balas Tiana membuat Erian mengerucutkan bibir layaknya anak kecil yang sedang merajuk. "Lo tuh ya dari dulu belain Ryuu mulu perasaan. Gue kapan dibelain?" "Utututu, dedek Erian mau dibelain juga.." "Kamprett.." Pecahlah tawa Tiana. Ryuu menarik sudut bibir menyaksikan candaan dua sahabat baiknya itu. Sesaat kemudian pandangannya tertuju ke arah luar. Senyum tipis yang semula ada itu kembali hilang. Ryuu sudah tenggelam lagi dalam lamunannya. Tiana menoleh dan mendapati Ryuu sudah hilang lagi dalam dunia yang entah siapa bisa memasukinya. ... "Ti, udah denger gosip belum?" Tiana mengusap wajahnya, menguap kecil kemudian menggeleng pelan sembari mencepol asal rambutnya. "Masih pagi Put, udah gosip aja. Lagian ini kita baru banget, lo udah bahas gosip aja.." Tiana hilang ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. "Ya ini gosip hot. Gue barusan dapet kiriman dari anak-anak. Katanya dah heboh banget di fakultas sebelah.." Tiana kembali sudah dengan wajah yang lebih segar. Ia bersiap untuk membuat sarapan. Tak lupa ia menawarkan Puput. Hari ini adalah hari terakhir Tiana di kampus semester ini. Besok ia akan pulang ke rumah. Liburan sudah tiba. Sejujurnya Tiana sudah hampir pulang kemarin, tapi Puput merengek minta ditemani melihat acara kampus. Selama ini Tiana jarang menghadiri kegiatan kesenian kampusnya. Tiana tak banyak berubah sebenarnya, hanya saja ia menjadi lebih fokus pada pendidikan semenjak menjadi mahasiswa kedokteran. Ada hal-hal yang harus ia pertahankan. Puput mendekat, kemudian menarik kursi dan duduk di depan Tiana. “Cuci muka dulu sana..” “Ih bentar. Lihat nih..” Dahi Tiana sedikit mengerut. “Dia bukannya mahasiswi fakultas sebelah yang model itu?” “Iya. Dan lo tau, katanya dia habis aborsi..” “Astaga, Put. Jangan sembarangan nuduh, itu jadinya fitnah..” “Ih Ti, bukan gue yang bilang, tapi orang-orang. Lagian ini bukan fitnah, Ti. Emang ada yang lihat dia keluar dari klinik.” “Keluar dari klinik emang berarti dia habis aborsi?” “Ya enggak juga, tapi lo lihat deh..” Tiana sedikit tertarik, bukan karena kepo tapi karena tak mau ikut terbawa fitnah. Ternyata memang banyak yang membicarakan dan dari pembicaraan orang-orang bisa dibuktikan kalau berita itu valid alias benar. “Kaann percaya kan lo sekarang..” Puput menghembuskan napas perlahan. “Sayang banget ya, padahal dia cantik. Setahu gue juga orangnya nggk aneh-aneh di kampus. Seringnya dia sendiri dan dandanannya juga bukan yang menor gimana-gimana. Eh tapi penampilan emang nggak jadi jaminan sifat dan tabiat seseorang ya..” Tiana beranjak untuk menjawab telfon yang masuk. “Siapa?” “Ibu..” “Pasti udah kangen banget ya sama lo. Enak ya punya ortu yang super perhatian gitu. Gue mah boro-boro. Tiap nelfon, gue belum ngomong mereka dah mikir gue kurang duit. Habis kirim duit dah ngilang, nggak bisa dihubungin. Pada sibuk sama kerjaan.” Tiana menghela napasnya pelan. Serba salah sebenarnya. Ingin prihatin, tapi Puput anak orang super berada. Tidak pernah kekurangan uang. Fasilitas yang diberikan orang tuanya tidak main-main. Tapi dilihat dari sisi lain, Puput bisa dibilang kesepian. Ia bahkan jarang sekali pulang. Kalau pun pulang pasti hanya sebentar, sebab orang tuanya pun tak ada di rumah. “Tapi yaudahlah, udah biasa juga gue.” Tiba-tiba gadis itu sudah nyengir seolah ia tak sedih sama sekali beberapa detik yang lalu. Puput mencubit pinggiran roti dan memakannya. “Lo baliknya sama siapa? Dianter Ryuu?” “Kayaknya enggak, dia lagi ada kerja.” “Ohh. Btw Erian itu punya pacar?” “Erian? Setahu gue enggak. Kenapa? Naksir Erian lo?” “Ih apaan sih. Tiap gue nanya disangka naksir mulu. Bukan itu, kemarin sebelum ke sini gue lihat dia lagi ngobrol sama cewek.” “Ngobrol emang tanda pacaran?” “Ya enggak, tapi mereka kayaknya mesra. Erian meluk tuh cewek.” Kali ini Tiana sedikit terkejut. “Erian meluk?” Puput berikan anggukan. “Kaget kan lo.” “Lo tau ceweknya?” “Hmm enggak terlalu sih, cuma kayaknya gue pernah lihat tuh cewek di Fakultas Ekonomi. Nggak tau deh dia anak FE atau cuma main doang ke sana.” Apakah Erian memang diam-diam punya pacar? Seingat Tiana sih tidak. “Hah?!” Tiana tersentak kaget. “Kenapa lo?” Puput mengerucutkan bibirnya, terlihat agak kesal dengan dahi berkerut. “Apaan sih? Males deh.” Gadis itu menghela napas. “Nyokap nih masih getol aja mau jodohin gue. Udah dibilang gue mau fokus kuliah dulu. Dikira ini jaman Siti Nurbaya apa?” Puput bangkit menjawab telfon yang masuk. Beberapa detik kemudian yang terdengar hanya suara gadis itu mendebat orang di telfon. … “Hai Ti..” “Oh hai..” “Sendiri?” Nusa mengambil tempat di sebelah Tiana. “Iya nih. Lo?” “Sama. Lo suka tiramisu juga?” “Iya. Lo juga suka?” Nusa tersenyum. Tiana membayar pesanannya. Kemudian giliran Nusa. Pria itu memesan tiramisu dan segelas Ice Americano. “Keberatan nggak kalau duduknya di satu meja?” Tanya Nusa. Tubuh tinggi tegapnya terlihat begitu menjulang di sebelah Tiana. Padahal Tiana bisa dikategorikan tinggi untuk ukuran perempuan. Namun ia terlihat agak menggemaskan di sebelah Nusa. “Pertanyaan lo, kayak sama siapa aja. Berasa anak presiden gue..” Tiana tergelak. Senyumnya terlihat sangat manis membuat Nusa sempat terpaku. Untungnya ia cepat sadar sebelum Tiana mendapati ia merona. “Ujian kan udah beres, Ti.” Tiana mengangguk dengan mata masih tertuju lurus pada layar MacBook yang baru menyala. “Terus lo ngapain?” “Oh ini, beresin dokumen buat Prof Anuar.” “Jurnal?” Tebak Nusa. “Iya referensi.” “Emang bener-bener ya lo, nggak berubah sama sekali dari dulu. Bahkan di tengah sibuknya jadi mahasiswa kedokteran pun, lo masih sempet ngerjain hal-hal kayak gini. Kapan istirahatnya lo?” Tiana tertawa pelan. “Lebay ah. Ini nggk ribet kok, nggak banyak juga. Gue cuma nyari referensi aja, nggak seleksi juga. Jadi cuma ngumpulin doang.” “Ya tapi tetep harus dilihat relevan atau enggak kak sama topiknya. Lo emang suka merendah dari dulu.” “Biasa aja..” Nusa geleng-geleng. Jujur, semakin lama ia kenal Tiana semakin takjub ia pada gadis itu. Tiana seperti gambaran gadis cerdas, sederhana, dan cantik. Ia terlihat simple tapi sangat menarik. “Lo ngapain masih di kampus? Nggak balik ke rumah?” “Hah? Oh iya dua hari lagi. Masih ada kegiatan..” Tiana manggut-manggut. Pesanan mereka datang. Keduanya menikmati sambil berbincang seputar perkuliahan dan kehidupan kampus. Di tengah obrolan, mata Tiana menangkap sosok tinggi gagah berjalan menuju kafe yang sama di mana ia berada. Tak sendiri, pria itu tampak tengah berbincang dengan seorang gadis. Pintu dibuk, membawa keduanya masuk ke dalam kafe. Dan.. “Eh Djor.. Din..” “Hai..” Andini tersenyum manis menyapa Nusa. Ting! Tatapan Tiana dan Djorka bertemu. “Kayaknya masih pada di kampus ya, padahal udah libur..” ujar Andini. “Biasalah, kan ntar malam ada acara.” “Ini..?” Andini menatap lurus Tiana. “Tiana,” jawab Nusa lebih dulu. “Pacar lo?” Tebak Andini. Maunya sih begitu. Nusa berdehem pelan, menggeleng. “Teman baik,” Tiana menjawab, tersenyum ramah. Andini ikut tersenyun. “Gue sering lihat lo sama Ryuu. Dulu gue pikir pacar Ryuu. Eh apa iya pacar Ryuu?” Tiana menggeleng. “Bukan juga,” jawab Tiana lagi. “Eh sorry, nggak ada maksud,” Andini terlihat sungkan. “Santai aja..” “Eh Djor, apa kita gabung di sini aja?” “Mereka kayaknya lagi ada kerjaan,” jawab Djorka, melirik Tiana sebentar. “Nggak enak ganggu.” “Gue mah enggak. Tiana tuh lagi ada kerjaan. Biasa, anak Profesor Anuar.” Nusa menggoda. Tiana hanya geleng-geleng. Akhirnya Djorka dan Andini duduk di tempat lain. “Apakah Djorka akhirnya move on?” Alis Tiana terangkat. Ia ikuti arah pandang Nusa. Pria itu membuat ekspresi dramatis di wajahnya. “Andini cantik sih, tapi kayak bukan typenya Djorka. Tapi mana tau aja kan Djorka udah berubah typenya.” Tiana tak ambil pusing. Ia melanjutkan pekerjaannya, mengirim email pada sang dosen. “Lo nggak ada niat punya pacar, Ti?” “Kenapa nanya?” “Pengen tahu.” Suara Nusa terdengar agak serius. “Lo sendiri?” “Ada. Cuma—“ “Cuma?” Tiana mengangkat wajah, memandang Nusa. “Gue—“ “Tiana..” Sontak Tiana menoleh ke sumber suara. Refleks. Bukan perihal ia sangat hafal pada suara itu. “Gue mau ngomong bentar, bisa?” Tatapan Djorka tertuju lurus, mengunci manik milik Tiana. “Oh iya. Apa?” “Nggak di sini.” Tiana mengerjapkan matanya. “Ohh. Bentar ya, Sa..” Tiana bangkit dan berlalu bersama Djorka. Nusa menatap kedua punggung yang perlahan menjauh itu. Sejak kapan Djorka terlihat begitu serasi dengan Tiana? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD