Misi dan Osmond

1796 Words
"Bodoh! Bodoh!" umpat Edbert kepada dirinya sendiri usai berteleportasi menuju kamarnya. Bangunan setinggi lima lantai tersebut berada di sayap utara terpisah dari mansion Uruthama yang merupakan tempat tinggal Roland, dan meski areanya terbukti sangat luas, bangunan itu tetap disebut kamar. Tempat tidur Edbert berada di lantai paling atas—lantai ternyaman dengan seluruh tembok marmernya dialiri energi sihir sehingga bisa berubah hangat ketika dingin atau berubah sejuk ketika cuaca panas.  Edbert merebahkan diri di ranjang, karena melesatkan mantra sihir sebenarnya cukup melelahkan, apalagi sihir teleportasi. Semakin tinggi tingkatan mantra sihir itu, lebih banyak juga energi yang dibutuhkan. Selain lelah dan lapar, Edbert juga kesal memikirkan betapa ramalan Cassandra telah berakibat buruk pada dirinya.   Tak bisa ia bayangkan apa jadinya jika semua Yurza tahu bahwa dirinya baru saja melesatkan sihir salah sasaran. "Tidak! Tidak boleh terjadi!" tegas Edbert meyakinkan diri sendiri. Jangankan semua Yurza, membayangkan Ayahnya tahu saja, sudah mengerikan. Roland paling tidak suka apabila putranya gagal melakukan segala sesuatu dengan benar. Terlebih kalau sampai melakukan kesalahan yang mencoreng reputasinya sebagai pemimpin Yurza. Kadang hal itu juga yang membuat Edbert bertanya-tanya.  Benarkah Roland memang peduli padanya? Atau ... Roland hanya sedang berusaha menjaga reputasinya saja? Entahlah. Edbert menoleh ke arah jendela kamarnya yang terbuka. Tirai sutra berwarna hitam yang seharusnya menutupi bingkai jendela itu berkibaran karena tertiup angin dari luar. Edbert mengerjap, membiarkan embusan angin tersebut menyapu wajahnya.  Embusan yang terasa dingin, tetapi lembut. Hampir saja sapuan angin itu membuat Edbert terlelap, hingga kemudian ia memutuskan bangkit dari ranjang dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ia menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan begitu berdiri di sana. Aroma pantai Ambert, begitulah aroma khas udara malam di pulau Tannin. Banyak Yurza mengatakan aroma itu bisa menenangkan pikiran, tetapi sepertinya tidak berlaku untuk Edbert malam ini.   Embusan angin yang awalnya lembut, perlahan mulai terasa kasar, hingga membuat rambut Edbert yang hitam pekat berkibar, menari-nari di atas sorot matanya yang kelam dan menyimpan kesepian. Edbert hanya mengerjap untuk mengabaikannya, lantas bersiul tiga kali. Tanpa butuh waktu lama, dan hanya dalam hitungan detik, datanglah seekor burung gagak berwarna hitam terbang mendekat dari arah kegelapan sana. Semakin mendekat ... hingga kemudian dengan sangat mulus mendarat di pembatas balkon. Burung gagak itu menundukkan kepala sebagai tanda hormat sebelum menyapa Tuannya. "Selamat malam, Tuan!" Edbert membalas dengan anggukan. Burung gagak yang dapat berbicara itu adalah pelayan setianya. Namanya Alcott. Awalnya Alcott adalah seorang manusia. Lebih tepatnya seorang pelayan yang tampan dan kekar. Tapi itu dulu. Mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu sebelum Alcott terpilih menjadi pelayan setia Edbert, lalu setelahnya ia pun disumpah. Sesuai tradisi, pemimpin Yurza yang menguasai sihir transformasi permanen, lalu menyihirnya menjadi burung gagak yang bertugas melayani Edbert seumur hidup. "Bagaimana situasi hari ini di pulau Tannin?" tanya Edbert. "Tidak ada berita khusus, Tuan. Satu-satunya berita hangat yang masih diperbincangkan adalah tentang pernikahan Anda." Alcott menyampaikan tugas utamanya sebagai pelayan yang mencari dan mengirim pesan. "Membosankan." Edbert menghela napas. Sementara di sebelahnya, Alcott hanya menatap prihatin melalui sepasang manik merahnya.  "Apa ada sesuatu yang sedang Anda butuhkan, Tuan Muda?" "Ya. Aku lapar," kata Edbert tanpa basa-basi. "Baik. Kalau begitu saya akan menyiapkan makan malam Anda." "Ah! Saat ini aku sedang tidak ingin bertemu dengan Ayah. Jadi jangan sampai kepulanganku diketahui siapa pun." "Anda tidak perlu khawatir, Tuan Muda. Saya mendapat informasi, kebetulan malam ini Yang Mulia Roland sedang menghadiri pertemuan Yurza di kerajaan Ealdas dan kabarnya akan menginap di sana. Tetapi sesuai permintaan Anda, saya akan tetap membuat hidangan makan malam Anda diam-diam. Apa ada menu spesial yang sedang Anda inginkan?" "Hmm. Menu spesial, ya?" Edbert mulai mengetuk-ngetuk ujung jarinya pada pembatas balkon. "Ya. Tiba-tiba aku ingin makan daging domba." Mendengar permintaan itu, leher Alcott menegang. "Da-daging domba?" "Aku tidak ingin mengulangnya, Alcott," kata Edbert, sengaja menghindari kontak mata untuk mengabaikan ekspresi burung itu yang sedang terkejut.  "Anu, Tuan."  "Ada apa? Jangan katakan kau tidak bisa membuatnya." "Bukan begitu, Tuan. Sebagai pelayan dengan masakan terenak di pulau Tannin, dan jam terbang saya yang sudah tinggi, tentu saja membuat hidangan daging domba bukan hal sulit." "Lalu kenapa kau ragu?" "Stok daging domba di penyimpanan kebetulan sedang habis, Tuan." "Itu bukan urusanku. Kau bisa menangkap lagi di peternakan." Edbert menoleh pada Alcott yang tidak menyahutnya. "Kenapa melamun? Kau takut pada para monster yang menjaga peternakan itu?" Secepatnya Alcott mengangguk. "Para monster serigala berkepala dua itu suka memangsa burung, Tuan. Termasuk burung hasil transformasi seperti saya. Bagaimana jika sebagai gantinya, saya akan membuatkan hidangan ikan kesukaan Anda?" "Tidak!" tolak Edbert, tajam. "Saat ini aku tidak ingin makan selain hidangan daging domba." "Ba-baiklah, Tuan. Jika memang begitu keinginan Anda, akan segera saya laksanakan." Akhirnya Alcott menyanggupi walau belum terpikirkan bagaimana cara ia akan menangkap domba itu.  "Jangan lupa, Alcott. Selalu jaga kebersihan. Jika aku sampai menemukan sedikit debu atau kotoran di makananku ... sebagai gantinya kau yang akan kujadikan burung panggang." "Iya, Tuan. Saya mengerti. Kalau begitu, saya undur diri dan akan segera datang kembali mengantarkan pesanan Anda," tutur Alcott patuh. "Sebentar." Alcott menoleh pada Edbert yang berbalik untuk mengambil sesuatu dari dalam kamar, lalu memberi botol kecil padanya. Ia mengamati botol itu, yang berisi cairan obat. "Tuan, bukankah ini obat penyembuh luka?" "Ya." "Untuk saya?" Edbert berdeham. "Jangan terlalu percaya diri. Aku memberikannya padamu hanya karena lemari penyimpanan obatku sedang penuh. Jadi daripada membuangnya, kupikir kau akan lebih membutuhkan kalau monster serigala membuatmu terluka." Mata Alcott menyipit, yang artinya ia sedang tersenyum. Ia telah melayani Edbert selama sepuluh tahun, dan itu bukan waktu yang sebentar. Alcott tahu Edbert memang begitu. Mungkin Edbert terkesan angkuh dan sulit mengakui kerja keras orang lain, tetapi sebenarnya Edbert Kinsey adalah sosok yang perhatian. "Terima kasih, Tuan Muda."  Sebelum pergi, Alcott memberi hormat. Kemudian bau belerang tercium bersamaan dengan terbangnya burung itu meninggalkan balkon kamar Edbert. Begitulah ciri khusus yang dimiliki semua burung gagak milik penyihir. Kepakan sayap mereka memang hampir tak terdengar, tetapi kedatangan dan kepergiannya selalu meninggalkan jejak bau belerang yang khas. Edbert kembali masuk ke dalam kamarnya yang gelap namun sangat nyaman itu. Ia belum bisa melepas lega. Tapi setidaknya, saat ini ia masih bisa makan dan tidur dengan tenang. *** Ayam jago berkokok merespon cahaya terang yang hadir di alam. Domba-domba tak berhenti mengembik karena memanggil Tuannya. Harry bergegas datang membawa sebuah keranjang bambu dipenuhi rumput segar. Ellyora duduk menyilangkan kaki di atas tikar rotan yang Elena bentangkan di lantai dapur. Elena mengambil labu kuning, buah naga, dan daun pandan hasil dari kebun mereka. Keluarga Bright hidup berkecukupan dengan berkebun dan beternak. Mereka memanfaatkan lahan gembur hutan Camden yang merupakan warisan turun temurun selama beratus-ratus tahun. "Ell, tolong kupas labunya, Nak." Elena menyodorkan labu yang telah dibelah menjadi empat bagian. Ellyora mengangguk dan mengambil labu kuning yang telah Elena siapkan di tembikar. Shira duduk di samping Ellyora membantu mengupas labu meski kupasannya sedikit berantakan. "Ibu? Labu ini akan dimasak apa?" tanya Ellyora. Elena yang sedang mengambil gerabah tanah liat untuk diisi beras pun menoleh, lalu tersenyum lembut. "Kue pelangi kesukaan kalian." "Asyik!" pekik Shira kegirangan. Alih-alih senang seperti Shira, Ellyora justru terdiam. Kue pelangi? Kue dengan lapisan merah, kuning, dan hijau buatan Elena memang paling lezat. Tetapi kini bukan bayangan kue itu yang muncul di pikiran Ellyora, melainkan sosok warna-warni yang mengintip di balik pohon pinus tadi malam. Apakah mereka benar-benar Yurza? Jika iya, berarti dirinya sedang terancam sekarang. Usianya sudah 19 tahun, dan seperti yang ia tahu, Yurza sangat menginginkan darah remaja suku Albara yang berumur 19 tahun. Ellyora bergidik ngeri membayangkan dirinya dijadikan tumbal ritual para penyihir hitam itu. "Ell, ada apa? Kau sudah tidak suka kue buatan Ibu?" tanya Elena karena melihat putrinya melamun. "Ah, ti—tidak." Ellyora mendadak gagap. "Tentu saja kue buatan Ibu selalu menjadi kesukaanku." Elena tertawa melihat ekspresi putrinya yang semakin terlihat menggemaskan. "Syukurlah kalau begitu. Hati-hati. Mengupas labunya jangan sambil melamun, ya?" "Iya, Ibu." Ellyora meringis, lalu kembali mengupas labu di tangannya. Meski begitu, ia tak bisa berhenti berpikir. Ia harus melakukan sesuatu tanpa membuat orang tuanya khawatir. Meminta keluarganya untuk pindah? Rasanya tidak mungkin. Ladang dan peternakan bagaimana? Tidak semua tanah di hutan Camden subur. Osmond? Mata Ellyora melebar. Ya, benar. Mungkin tidak masalah untuk membujuk Elena agar mengirimnya ke tempat itu. "Ibu, kapan kira-kira aku akan berangkat ke Osmond?" Shira segera menoleh. "Apa kau benar-benar akan ke Osmond?" Elena terlebih dulu menjawab pertanyaan Shira dengan lembut. "Betul sayang. Ayah dan Ibu memang memiliki rencana untuk mengirim kakakmu ke Osmond. Tapi kita tunggu dulu keputusan Ayah, ya?" Wajah Ellyora penuh harap. Osmond menjadi peluang jalan keluar terbesarnya sekarang. Selama dua ratus tahun lebih, Osmond telah terbukti menjadi tempat perlindungan teraman bagi remaja Albara sampai melewati usia 19 tahun. Sayangnya tidak semua remaja Albara bisa beruntung sampai ke Osmond. Untuk menuju ke sana membutuhkan perjalanan yang tidak mudah. Keluarga Bright tidak memiliki kuda, mungkin akan membutuhkan tujuh hari lebih jika berjalan kaki menyusuri gunung, lembah, hutan, dan sungai agar sampai ke sana. Sampai saat ini belum ada Yurza yang bisa menemukan Osmond. Penyebabnya bukan karena di Osmond tinggal keluarga pemimpin bangsa kesatria, bukan pula karena markas besar pasukan The Keepers juga ada di sana dan selalu menjaga ketat Osmond. Melainkan, Ellyora pernah mendengar dari neneknya bahwa di tengah bangunan Osmond tumbuh pohon Zipthus. Seperti apa bentuknya, Ellyora tidak tahu. Tapi yang jelas, kata neneknya pohon itu mampu melemahkan indera serta kemampuan sihir Yurza. Nenek Ellyora yang pernah tinggal di Osmond sebagai peramu juga mengatakan bahwa pohon Zipthus hanya tersisa satu di dunia. Beberapa suku Albara mencoba mengembangbiakkan pohon itu. Sayangnya sampai berpuluh-puluh tahun lebih mereka belum berhasil. Ellyora menekuk bibir. Mungkin ia perlu bernegosiasi dengan Elena. "Ibu, apakah bisa jika aku berangkat ke Osmond minggu ini?" Pertanyaan Ellyora membuat alis Elena menukik curam. Ia meletakkan beras yang sedang dicucinya di pancuran lalu menatap keheranan. "Ada apa? Sebelumnya kau justru tidak ingin cepat-cepat berangkat ke sana?" Belum sampai Ellyora menjawab, Harry tiba-tiba datang dengan enam ikan segar di tangan kanannya. "Siapa di sini yang suka ikan?" *** Dexter terbangun merasakan kepalanya yang terasa pening. Salah satu tangannya terangkat hendak menyentuh kepala, tapi tangan itu kini tidak bisa diajak kerja sama. Lemas. Ia mendongak. Pantas saja, ia telah jatuh ke jurang yang mungkin setinggi sepuluh kali tubuhnya. KRUUUK Dexter mendengar bunyi aneh yang selama ini tidak pernah datang dari perutnya. Entah mengapa indera penciumannya juga menjadi lebih tajam sekarang. Dexter mengerjap. Perutnya semakin meronta setelah ia mencium bau sedap mirip ikan goreng. Ia lapar dan haus. Dengan tubuh yang masih terbaring di atas batu sungai, Dexter melihat sekeliling. Aneh sekali. Pohon-pohon hutan Camden di pagi hari ukurannya nampak lebih besar dari pada semalam. Dexter menggerakkan kakinya dan mencoba bangkit. Ah, syukurlah ia bisa menegakkan keempat kakinya. Tunggu! Empat kaki? Dexter melihat dua kaki mulusnya telah berubah menjadi empat kaki yang dipenuhi bulu lebat berwarna hitam. Benar-benar sepenuhnya hitam. Lantas ia teringat sesuatu, sebelum akhirnya berteriak memanggil Edbert sekencang-kencangnya. "MEEEEOOOOOONG!!!" ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD