Kehidupan Terus Berjalan

1344 Words
Sudah hampir jam enam pagi Azki baru tiba di Rumah Sakit, sudah tahu hari ini dia harus visit pasien dulu sebelum ikut Operasi dokter Satria, sekarang malah telat datang. Semalam dia tidak bisa tidur, pikirannya masih ke Dea mengingat itu hari Minggu dan Dea dibawa ke rumah Rezi, tentu saja membuat Azki menebak - nebak apa yang terjadi disana, itu sangat menganggu pikirannya. Wajar dia bangun kesiangan hari ini. "Rif lo dimana?" Azki sedang online dengan Arif rekan satu grupnya. "Di ruang Mawar." "Gue nyusul abis absen," jawab Azki setengah berlari. Kalau laporan setelah visit tidak lengkap, alamat hukuman akan menanti, padahal saat ini dia sedang tidak mood untuk di hukum. "Pagi Sus" sapa Azki pada suster yang masih bertugas pagi ini, sebentar lagi mereka akan bertukar dengan shift pagi. "Pagi mas, tumben terlambat, teman - temannya sudah visit ke dalam." "Iya, saya baru mau nyusul," jawab Azki yang langsung memakai sneli nya lalu melihat rekam medik pasien yang hendak di datanginya sebentar lagi. Azki mengambil papan jalan berikut kertas untuk mencatat. Dia langsung masuk ke dalam ruang perawatan menyusul teman - temannya. Ternyata Arif dan Rosi sudah ada di ruangan kelas tiga yang berisi pasien yang sudah selesai operasi usus buntu dan yang satu lagi akan operasi batu empedu jam sembilan nanti. Setelah itu mereka akan lanjut ke pasien yang akan menjalani operasi yang mengalami pendarahan di kepala oleh dr. Satria SpBs. Arif sedang mewawancarai pasien usus buntu, Rosi mencatat dan Azki menyusul mencatat. Selanjutnya mereka bertiga mewawancarai pasien batu empedu yang dalam persiapan operasi dan pasien yang akan menjalani bedah syaraf. Setelah menyelesaikan visit pasien, Azki menyelesaikan dengan cepat membuat catatan laporan kondisi pasien, supaya kalau nanti di tanya - tanya dokter Satria dia bisa menjawab karena dokter Satria suka kasih pertanyaan soal pasien secara mendadak. "Gue ada ujian sama dokter Satria nih," ucap Azki pada dua temannya Arif dan Rosi, mereka bertiga satu grup dan sedang di stase yang sama yaitu di stase bedah. "Udah bilang ke dokter Satria?" tanya Rosi. "Belum, nanti gue tanya dia bisanya kapan... lo berdua sama siapa?" "Gue sama dokter Ilham, Arif sama dokter Diana." "Dokter Satria katanya galak ki," ucap Arif. Dia bukan sedang menakut - nakuti Azki tapi dokter Satria memang terkenal sangat galak dengan anak koas yang sedang dalam pengawasannya. "Anak grup lain ada yang diancam mau dilempar termos waktu itu," tambah Rosi. "Siapa?" Rosi menyebutkan nama ucok dan itu membuat Azki tertawa. "Emang dia aja bego, jangan dokter Satria, gue aja pengen ngelempar bom molotov buat dia." Arif dan Rosi ikut tertawa mendengar ucapan Azki. "Ya tapi lo harus tetap hati - hati." "Iya, kalo gitu kita sarapan dulu yuk, gue nggak sempat sarapan tadi," ajak Azki. "Tumben, biasanya kalo nggak sarapan di rumah, lo bawa bekal." "Gue kesiangan tadi, buru - buru semua, nyokap mau bawain makanan aja sampe nggak keburu karena gue udah kabur duluan, untung belum macet." "Ayo deh, kalo nanti di ruang Operasi dokter Satria pengen lempar gunting ke kita, paling nggak kita punya tenaga buat ngeles," jawab Arif. Mereka langsung ke Kantin Rumah Sakit, Azki memesan nasi goreng dan air putih. Arif dan Rosi satu universitas tapi bukan genk Azki, jadi pembicaraan tidak terlalu akrab hanya sebatas soal koas dan Rumah Sakit, mereka berdua itu hanya merasakan ada yang berbeda dari Azki, tapi tidak enak untuk bertanya. Setelah selesai sarapan kilat, mereka bertiga bersiap ke ruang Oka sebelum dokter Satria datang. "Woe bro..." sapa ucok dan grupnya ketika mereka berselisih jalan di depan kantin dengan grup Azki. "Makan lo?" "Iya, buru - buru amat sih lo," ucok memegang tangan Azki agar dia tidak usah keluar dari kantin. "Mau ke Oka, lo ikut yuk... gue butuh bumper kalo dokter Satria ngamuk." "Kampret lo." Azki tertawa diikuti yang lain, ternyata cerita ucok sudah tersebar. "Lo mau ke Oka Ki?" tanya memet begitu Azki memanggilnya, nama sebenarnya Mathew si cindo berkacamata teman satu angkatannya, yang lain memanggilnya Math atau mathew, hanya Azki yang memanggilnya Memet dan mathew sudah lelah mengkoreksinya tapi diabaikan Azki. "Iya." "Gue lihat tadi dokter Satria udah jalan ke Oka." "Eh serius lo? Gue cabut dulu," pamit terburu - buru sambil mengejar Arif dan Rosi yang meninggalkannya. Sesampainya di ruang Operasi, mereka bertiga langsung mengganti sneli dengan baju khusus di ruang Oka. Ternyata Matthew membohongi Azki karena dokter Satria belum tiba di ruang Operasi. Pasien yang tadi pagi mereka periksa juga sudah standby di ruang pre- Op. "Selamat pagi," sapa dokter Satria yang baru saja masuk. "Pagi dok," jawab mereka. Azki langsung menghampiri dokter Satria yang langsung duduk di mejanya dan membuka status pasien. "Dok, kami boleh ikut operasi pagi ini?" "Ya boleh," jawabnya singkat tanpa mendongak sedikitpun dan tetap menulis. "Khusus saya ada jadwal tes sama dokter Satria," tambah Azki. Baru dia mendongak. "Nama kamu siapa?" "Azkiasa Mahendra." Dia mengangguk, tapi diam sambil melanjutkan menulis. Azki sudah mulai gerah, dia berharap dokter Satria menangapinya lagi. "Tunggu saya di ruang operasi," akhirnya keluar juga ucapan dokter Satria sambil berdiri. "Baik dok." Mereka bertiga masuk ruang operasi yang sangat dingin itu sudah dalam keadaan steril. "Azkiasa Mahendra." "Saya dok." "Kamu ujian sama saya kan..., ini bahannya untuk ujian, tolong di perhatikan dengan seksama, setelah ini buat ringkasannya," ucapnya dan membuat Azki tegang . Kepala mumet, hati berantakan dan sekarang harus memberi perhatian lebih pada pasien yang akan di operasi. Arif melirik Azki, mungkin dia sambil berdoa semoga Azki bisa menjawab pertanyaan dadakan yang suka dilontarkan supaya dia tidak dibedah gratis oleh dokter Satria. Dua jam kemudian di ruangan dokter... "Boleh juga anak koas tadi, nggak gugup waktu ditanya," ucap dokter Anastesi yang tadi mendampingi dokter Satria. "Pernah dengar dokter Aris Pratomo? Dokter senior bedah syaraf yang punya rumah sakit Royal?" "Iya tahu, anaknya dokter Nino Mahendra kakak tingkat saya ppds dulu dok. Sekarang dia yang jadi direktur Royal." "Dokter Aris dosen saya dulu, anak koas tadi cucunya, anak dokter Nino Mahendra." "Ooh anaknya dokter Nino. Keluarga dokter ternyata, jangan - jangan lagi makan siang aja ngomongin soal penyakit dan obat ya dok," ucap dokter Zefri spesialis anastesi sambil tertawa. "Mungkin aja ... selain berbakat, anak itu juga pintar, cuma orangnya cuek." "Jangan - jangan penerus pemegang Royal itu dok." "Pasti lah... saya duluan ya dok, mau lanjut praktek dulu," pamit dokter Satria. "Silahlan dok, saya masih nunggu operasi dokter Ema." * Sepulang dari Rumah Sakit menjelang maghrib, Azki tiba di rumah. Semua sudah ada di rumah. "Capek banget kayaknya mas," sapa mama Sarah ketika melihat Azki baru masuk ruang tengah. "Biasa aja ma." "Mandi dulu mas, abis itu kita makan sama - sama." "Aku nggak makan deh ma," ucap Azki. "Eh...kenapa nggak makan?" "Nggak laper." "Jangan macem - macem deh." "Ada apa?" papa Nino keluar dari kamar. "Ini mas nggak mau makan malam katanya." "Kenapa?" "Males makan doang kok pa." "Kok alasannya malas makan, kalo kenyang tuh boleh. Gimana Koas hari ini?" "Baik - baik aja, tadi ikut operasi dokter Satria." "Satria Kusnadi?" "Iya, jangan bilang itu teman papa." "Nggak, tapi kenal aja. Kenapa..?" "Ujian dadakan tadi, waktu lagi operasi." "Bisa nggak?" "Ya bisa lah." Nino mengangguk. "Jangan malu - maluin." Azki mencebik. "Udah sana mandi dulu mas, nanti mama panggil makan," perintah mama Sarah dan membuat Azki berdiri lalu hendak naik ke kamarnya. "Assalamualaikum," suara abang terdengar dari luar. Azki yang masih berdiri didekat pintu samping langsung membuka pintu itu. "Eh udah pulang Ki?" "Udah bang." "Om No..." panggil abang Wika. "Kenapa?" " Mau nanya dong." "Nanya apa?" Tiba - tiba hape Nino berdering dan dia hendak menerima telpon dulu. "Sebentar ya bang," pamitnya masuk ke ruang kerja nya untuk menerima telpon. Mama Sarah pun pamit mengecek persiapan makan malam yang sedang disiapkan ART nya. "Tumben pulang cepat Ki." "Jam tiga udah selesai, abis bikin laporan langsung pulang aja." "Masih di Bedah ya?" "Iya." Jeda sebentar... "Gimana Dea sama Rezi bang, jadi dibawa ke orangtuanya kemarin?" Tampak Wika agak kaget. "Kok tau?" "Ckk...kan aku anter Dea pulang kemarin." "O iya, Dea cerita ya?" "Iya." Padahal bukan begitu ceritanya. "Sudah dikenalin kata Rezi tadi." "Trus?" tanya Azki antusias dan membuat Wika mengerutkan keningnya. "Emang kenapa Ki?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD