Bab 2

1155 Words
“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.” Cahaya menoleh, tampak seorang lelaki setinggi kurang lebih seratus delapan puluh senti tengah berdiri. Kaos warna biru berkerah dikenakannya. Tatapan matanya tajam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Rambutnya dipotong plontos dengan kumis tipis menghiasi wajahnya. Satu kata untuk menyimpulkan sosok yang tengah berdiri itu yaitu gagah. “B—Bang Fajar?” Bibir Cahaya bergetar. Dia seoalah terhipnotis dan mematung kaku melihat sosok yang sudah lama menghilang itu. “Apa kabar kamu, Aya? Lama gak jumpa.” Bibirnya yang berwarna natural membuat lengkung indah. Sebuah senyuman yang sudah lama tak pernah dia lihat, tepatnya semenjak kelulusan sekolah menengah belasan tahun silam. “B--Baik, Bang.” “Maaf, Mas. Ini jadi dibungkus, gamisnya?” Penjaga toko menyela kecanggungan yang terjadi di antara keduanya. “Bungkus saja, Mbak.” “Gak usah, Mbak.” Cahaya dan lelaki itu mengucap bersamaan, lalu keduanya saling memandang dan tampak sekali kikuk dan canggung. Penjaga toko menggaruk-garuk kepala lalu nyengir kebingungan. “Duh, jadinya gimana ini, bungkus apa enggak?” Perempuan itu menatap Cahaya dan lelaki jangkung itu bergantian. “Enggak!” “Bungkus.” Lagi-lagi Keduanya bicara bersamaan. “Jangan halangi rejeki anak kamu, Aya. Aku tak ada maksud apa-apa. Anggap saja ini hadiah untuknya dariku.” “Ahm … maaf, Bang. Hanya saja aku beneran gak bisa terima itu, takutnya jadi fitnah. Aku permisi … mau cari di tempat lain saja.” Cahaya berjalan cepat dan lekas meninggalkan lelaki yang menatap punggungnya itu. Ada helaan napas yang dia hembuskan dan tatapan yang tak bisa diartikan. Cahaya tak menoleh lagi. Cerita indah itu sudah dikuburnya lama-lama. Semua sudah Cahaya lupakan. Tak ada lagi Fajar dalam kehidupannya setelah kehadiran Baskara. “Kenapa kamu harus datang lagi, Bang? Kita sudah selesai … Sudah lama selesai.” Cahaya memejamkan mata, menghalau rasa yang bercampur baur menjadi tak karuan. Dia berjalan menyusuri jalanan berdebu, terpaan angin dan hawa panas menyapu wajah. Satu toko lain kini menjadi pilihan. Banyak juga gamis-gamis anak yang ditawarkan di sana. Cahaya masuk, seperti biasa melihat-lihat bandrol harga lalu mengambil satu yang harganya tak terlalu mahal hanya seratus ribuan sudah dapat kerudungnya. Uangnya masih harus sisa agar besok masih bisa makan. “Yang warna peach saja, dibungkus satu ya, Mbak!” Cahaya memilih satu gamis. Senyum terukir pada bibir tipisnya. “Baik, Mbak. Yang importnya sekalian ini, Mbak. Dikasih murah, deh! Seratus enam puluh ribu saja.” Penjaga toko itu mengangsurkan gamis lainnya. Warnanya pink dengan aksen kartun yang lagi hits. “Enggak, Mbak. Ini saja. Uangnya gak cukup.” Cahaya tersenyum. “Oke, ditunggu sebentar, ya!” tukas penjaga toko itu dan segera berlalu. Cahaya berdiri menatap deretan baju gamis anak yang tampak lucu-lucu. Andai ada uang lebih, ingin rasanya membeli satu atau dua set. Baju Kirana sekarang sudah gak ada lagi yang pas. Semua rata-rata sudah di atas mata kaki. Pada saat dia tengah menunggu dari dalam toko seorang dengan dress selutut. Dia menatap remeh pada Cahaya. “Eh, ada mantan istri pengusaha. Belanja, Mbak Aya?” Suaranya terdengar sinis. “Iya, Mbak Rena. Mbak belanja juga, ya?” Cahaya berusaha tersenyum. Sudah biasa diperlakukan demikian. Terutama oleh orang-orang yang dulu sangat tidak menyukai pernikahannya dengan Mas Baska. “Iya, kebetulan kemarin Nikita baru beli lima baju gamis, biasanya kalau tiap lebaran itu sampe lebih dari sepuluh saya beli. Ya, namanya anak-anak Mbak, suka banget gonta-ganti baju gitu. Kirana beli berapa, Mbak?” “Alhamdulilah, beli satu saja, Mbak Rena.” Cahaya hanya tersenyum. Bingung juga mau menimpali apa, kalimat Rena hanya ingin menunjukkan kalau kini statusnya berada di atas Cahaya. Beruntung penjaga toko sudah datang dan memberikan barang pesanannya. “Ini, Mbak.” Suara itu membuat Cahaya mendongak. Perempuan dengan kerudung segi empat bermotif bunga yang menjaga toko itu mengangsurkan plastik berwarna hitam kepadanya. “Ini uangnya pas, ya, Mbak.” Cahaya mengangsurkan satu lembar merah miliknya. “Makasih, Mbak. Besok-besok jangan lupa belanja di sini lagi.” Penjaga toko tersenyum. Tangannya menangkup di depan d**a dan dia mengangguk sopan. “Dia itu dulu suaminya pengusaha, Mbak. Eh, sekarang kasihan banget, buat makan saja harus kuli cuci setrika. Ya, namanya gak sekolah, sih, emang susah. Istrinya itu gak bisa ngimbangin loh, Mbak. Ya gitu, deh … kasihan banget sekarang hidupnya. Coba dulu si Baska itu nikahnya sama adik saya, pasti gak bakal bangkrut kayak gini.” Cahaya masih mendengar ucapannya yang terkesan menyudutkan. Lagi-lagi karena Cahaya tak sekolah. Apakah salah jika pendidikannya hanya SMP lalu bersuamikan seorang sarjana? Lantas, apa semua kegagalan usaha suaminya menjadi tanggung jawabnya. Ada satu titik bening mengalir pada pipinya yang bahkan kini terlihat kusam. Namun, segera kesedihan itu dia tepis. Kini di tangan kanannya sudah menggenggam sebuah kebahagiaan. Cahaya tak sabar ingin segera tiba di rumah dan memberikan baju itu pada Kirana---putrinya. Senyum pada bibir Kirana adalah obat termanjur dari segala duka, obat paling mujarab untuk membuat semua kesulitan yang dialaminya saat ini menjadi lebih ringan. Cahaya berbelok dulu ke toko sembako. Dia membeli seliter beras, setengah potong tempe, sepotong pah* ayam, seikat kangkung dan juga satu perempat ikan asin, tak lupa membeli beberapa bumbu dapur juga yang sudah habis. Uangnya masih dia sisakan untuk besok lagi. “Kiran suka banget ayam goreng. Sudah lama sekali dia gak makan ayam.” Senyum pada bibirnya, sekali lagi mengembang. Lalu dia melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Langkah Cahaya melambat ketika dia melihat sebuah mobil berwarna putih terparkir di depan rumah kecilnya. Kedua matanya menyipit ketika tampak seorang lelaki yang tak asing baru saja keluar dari teras dan kembali masuk ke dalam mobil, lalu mobil itu melaju begitu saja dan menampakkan sosok Kirana yang tampak tengah tersenyum sambil memegang dua set gamis di tangannya. “Mama, makasih … bajunya bagus banget, Ma.” Kirana berhambur memburu Cahaya dan menunjukkan baju gamis yang tadi sempat ditaksir Cahaya di toko pertama. Ada juga satu model yang lainnya. Cahaya mematung, melihat Kirana yang tampak begitu bahagia membuatnya urung untuk mengatakan hal sebenarnya. Itu bukan Cahaya yang belikan. Uangnya tak cukup untuk membeli baju semahal itu. Namun, haruskah dia katakan pada Kirana dan membuat kebahagiaan gadis kecilnya patah? “Bang Fajar … kenapa kamu harus senekat ini …,” lirih Cahaya di dalam d**a. “Aku tak mungkin membuat Kiran sedih … lebih baik, nanti aku ganti saja uangnya kalau sudah ada.” Cahaya menatap wajah sumringah anak berusia enam tahun di depannya itu. “Si Om penjualnya baik banget, ya, Ma? Sampai dianterin ke rumah. Tadi aku suruh nyobain juga, katanya takut gak muat.” Dia tak henti bercerita. Cahaya hanya tersenyum dan mengelus pucuk kepala Kirana. Dia tak tahu ada sebuah kamera ponsel yang sejak tadi sibuk mengabadikan momen Kirana dengan lelaki itu. Seorang perempuan yang tengah berdiri dari balik pagar rumah yang berseberangan dengan rumah miliknya, kini tengah tersenyum dan menatap layar gawainya. “Kamu harus tahu, Baska … kalau istrimu yang selalu kamu banggakan itu, tak sebaik yang kamu pikirkan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD