Planning

1756 Words
Baju sudah rapi, sudah cantik, sudah wangi, tas, buku, dan semua peralatan yang harus dia bawa hari ini sudah dia tata dengan rapi. "Oke!" serunya semangat setelah selesai mengikat tali sepatunya. Mengambil tas, lalu menyandangnya di bahu kanan. "Ayo, Reta! Hari ini In Syaa Allah bakal lebih baik dari yang kemarin," ucapnya sembari melangkah ke depan pintu kamar. "Bismillahirramanirrahim," ucapnya tersenyum lalu menarik gagang pintu untuk membuka si papan kayu yang keras itu. Menuruni anak tangga dengan langkah riang, senyum manis sejak pagi tak pernah luntur dari bibir berpoles lip-balm berwarna merah muda itu, bahkan, setiap langkah ceria itu diiringi oleh senandung kecil yang keluar dari mulutnya. Sampai di meja makan, ada mamanya yang tengah menata makanan, juga ayah yang terlihat berjalan menuju meja makan dengan sebuah koran terlipat di tangannya. Tumben sekali ayah belum rapi jam segini, biasanya pria tampan yang sudah berumur itu sudah siap dengan mobilnya yang sedang dipanaskan. "Ayah nggak ke kantor?" Reta bertanya seraya mengoles selai pada roti panggang yang baru saja mamanya siapkan. Areta menoleh sekilas, melihat ayahnya yang sudah duduk santai dan bersiap akan menyeruput teh lemon hangat buatan mama. "Harusnya Ayah yang nanya, kamu mau ke mana rapi begitu?" Lantas, Areta menghentikan kunyahan di mulutnya, menatap bingung pada ayah yang kembali serius membaca koran. Ditelan makanan itu, lalu menyuruput minuman hangat berwarna coklat di depannya, "Kok malah nanya gitu? Ke kampus lah, Yah. Reta ada jadwal hari ini," ucapnya melirik jam cantik di pergelangan tangannya. Namun sejenak Areta terdiam, dia memang kadang lupa akan jadwalnya. Maka segera saja dia buka ponselnya, melihat jadwalnya di sana. Scroll beberapa detik dan membaca dengan teliti, dia benar, hari ini tepat pada jam 8.30 nanti, jadwalnya mengajar di kelas D program perfilman. "Kata siapa kamu bakal ke kampus hari ini?" Mama mulai ikut masuk ke dalam pembicaraan seraya mendudukkan diri di kursi meja makan. "Mama 'kan udah bilang semalam, hari ini, calon kamu bakal datang, jadi, kamu stay di rumah. Siap-siap, dandan yang cantik," lanjutnya. Uhuk! Uhuk! Tersedak. Areta langsung meminum minumannya, lalu melotot menatap ayah dan mamanya bergantian, "Apaan!" pekiknya setelah berhasil mencerna dengan baik ucapan sang mama. Areta menggeleng kuat sementara kedua orang tuanya masih memasang raut santai di sana, "Nggak bisa, nggak bisa! Mama bohong ya? Emangnya kapan Mama bilang gitu? Nggak! Nggak! Reta nggak mau pokoknya!" bantahnya keras, melipat kedua tangannya garang sebagai bentuk rasa kesalnya. Mendengar itu, mama mendelik. "Nggak bisa gitu dong!" protesnya tak kalah sengit membuat ayah yang ada di ujung meja menghela nafas lelah. Areta dan istrinya sama-sama keras kepala dalam mempertahankan argumen, akan sulit membuat mereka berhenti mengoceh. "Semalam, Mama udah bilang sama Anze buat bilang sama kamu. Dan Anze bilang kamu setuju dan mau ketemu hari ini, ya bukan salah mama lagi kalau gitu," ketusnya tak terima dikatai bohong oleh putrinya yang menjengkelkan ini. Alis Areta bertaut bingung, "Emangnya kapan Anze bil--" ucapnnya terputus, tepatnya, dia yang menghentikannya. Dia mengerti sekarang. Si laki-laki bungsu di keluarganya itu memang sudah tak tertolong lagi sifat jahilnya. Dan yang sangat membuat Areta ingin segera menguburnya adalah, jahilnya itu hanya pada Areta. "Mana playboy cap kaki badak itu?" tanya Areta menggeram kesal. Baru saja suara ayah akan menyaut, suara teriakan ceria dari atas tangga lebih dulu terdengar, "Pagi keluargaku yang harmonis! Pagi yang cerah hari ini!" teriaknya dengan tas berwarna hitam tersampir di bahu kanannya. Berpose terlebih dahulu di anak tangga terakhir, lalu menyisir rambutnya ke atas, "Sambutlah Pangeran Praja yang tampan mempesona ini. Beri tepukan yang gemuruh!" hebohnya lagi bertepuk tangan bak orang gila. "Mati aja lo Jambul Jarjit!" teriak Areta berlari ke arah Anze dengan pisau selai di tangannya. "Mamaaaa ...!" *** Di tempat lain, di sebuah rumah besar lainnya, seorang wanita sedang heboh sendiri menyiapkan segala hal yang memang harus dia siapkan. Berbeda dengan dua lelaki di keluarga itu, mereka hanya memandang penuh maklum pada si ibu rumah tangga. Sedari pagi, wanita yang mereka panggil mommy itu, tak ada hentinya berjalan ke sana ke mari, menghubungi semua relasi yang dapat menunjang kelancaran acaranya hari ini. Padahal, masih ada dua belas jam lebih sebelum acara di mulai. "Oke, saya tunggu jam lima sore nanti ya," ucapnya pada seseorang di seberang sana. Entah sudah berapa orang yang wanita cantik itu hubungi dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Mematikan sambungan telepon, lalu mengambil tempat duduk tepat di samping sang anak yang masih sibuk dengan laptop miliknya. Dirinya melarang Arza untuk ke kantor hari ini, begitupun dengan sang suami. Maka, tak ada pilihan bagi mereka berdua untuk tidak membawa pekerjaan ke ruang keluarga ini. "Aduh! Kok Mama yang nggak sabar ya! Duh! Duh! Gemes banget Mama tuh!" pekiknya meremat bantal sofa dengan tatapan tak lepas dari Arza yang tampak tak memberikan respon berarti. Megalihkan tatapan berbinar pada sang suami. "Pa, kita pergi sekarang aja yok!" Uhuk! Uhuk! Papa yang tengah menyeruput kopi pahit miliknya, tentu terbatuk mendengar seruan semangat sang istri. Celana bahan yang dia pakai bahkan ikut kotor terkena semburan kopi, pun Arza yang ikut menoleh dengan tatapan horor. Menghela nafas lebih dulu, Arza memilih kembali fokus pada layar laptop di depan. "Jangan becanda, Mom," katanya kelewat datar. Mama cemberut, sedangkan papa masih sibuk membersihkan cairan hitam di celananya sambil geleng-geleng kepala. Istrinya itu kalau sudah antusias, susah untuk di tahan. Tipe perempuan yang akan hilang di pasar malam jika kita lengah menjaganya. "Sabar, Ma. Kita nggak bisa datang gitu aja dong. 'Kan udah bikin janji, tunggu aja," ucap papa sembari memasukkan satu biskuit ke dalam mulutnya. Mama semakin mengerucutkan bibir. Dia tau itu, tapi 'kan dia tidak sesabar itu untuk menunggu sampai jam makan malam. Dia ingin segera bertemu dengan calon menantunya. Ah, apa dia langsung membicarakan cucu saja nanti dengan calon besannya? Mama terkikik geli dengan pemikirannya sendiri. Sepertinya bagus juga untuk dicoba, siapa tau sang besan juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. Menepis pikirannya tentang cucu, mama memutar duduknya hingga menyamping menatap Arza, kemudian bertanya, "Kira-kira Areta masih ingat kamu nggak ya, Za? Kalau ingat, gimana ya reaksi dia nanti?" Pertanyaan yang membuat ketikan Arza pada benda persegi itu terhenti. Menatap jauh pada layar laptop sembari perlahan ujung bibirnya terangkat sedikit tanpa disadari oleh kedua orangtuanya. "Kalau dia ingat, itu bagus," jawabnya diangguki setuju oleh mamanya. "Lebih bagus lagi kalau tidak ingat," lanjutnya dalam hati. Arza memilih tuli dengan semua keantusiasan mamanya. Sengaja menyibukkan diri sebagai alibi hanya untuk menyusun semua rencana yang akan dia lakukan ke depannya. Rencana matang yang akan menjadi cerita di tujuan hidupnya yang baru. Hah! Sungguh, dia juga sama tidak sabarnya dengan sang mama, yang tentu saja dalam konteks yang berbeda. Kini dia bertanya, andai mamanya tau, bagaimana reaksinya? *** Seperti kebiasaan wanita pada umumnya, semua yang dia rasakan, yang dia alami, akan ada satu tempat di mana dia percayakan untuk semua itu tertuang di sana tanpa melimpah ke manapun. Dan itu yang yang sedang Areta lakukan. Memilih sahabatnya untuk tempat berbagi cerita dan semua keluh kesah yang dia rasakan saat ini. "Jadi, lo terima?" tanya Nia, terlihat serius menanyakannya dari layar laptop Areta. Dokter muda itu tampak tak terganggu karena sang sahabat yang ingin melimpahkan segala bebannya padanya. Tampak, Nia tetap menanggapi dengan sungguh-sungguh mendengarkan dan menanggapi setiap cerita Areta meski sesekali dia alihkan pandangan pada layar laptop yang masih menyala. Areta mengerang, suaranya sedikit tertahan saat kepalanya terbenam pada bantal. "Terpaksa, Ya. Gue mana mau dijodohin kayak gitu. Gue harus gimana dong? Gue nggak mau pokoknya! Huaaa ..! Yaya! Gue nggak mau ....!" Nia meringis mendengar teriakan berikut rengekan itu, mengecilkan volume saat beberapa suster beralih menatapnya karena suara melengking milik Areta. "Bisa biasa aja nggak? Nggak usah pake seriosa gitu, pecah telinga suster gue," tegurnya yang membuat rengekan Areta makin kencang yang akhirnya mengharuskan Nia mengambil jalan untuk memasang headset saja. Susah memang memiliki sahabat modelan Areta ini. "Oh, atau gue kabur aja kali ya?" celetuk Areta tiba-tiba yang membuat Nia langsung melotot menatapnya. Mengambil ponsel yang sedari tadi dia senderkan pada tumpukan buku, di dekatkan ponsel itu agar leluasa menatap sang sahabat. "Lo mau, gue digoreng Tante Ji? Bad idea tau nggak!" ketusnya secara terang-terangan tidak menyetujui usul Areta. Alis Areta menyatu bingung. "Kenapa lo yang digoreng? Lagian nyokap gue nggak semenyeramkan itu ya buat goreng anak orang. Ada-ada aja lo," balas Areta yang disambut dengusan pelan dari Nia. "Lo kehujanan aja, gue yang ditanyain, apa kabar kalau ntar lo kabur. Nggak ada! Lagian 'kan baru mau ketemu, lo bisa aja batalin. Mungkin aja calon lo juga nggak setuju sama perjodohan ini," ucap Nia seraya menyeruput cappuccino yang tadi dia pesan pada asistennya. Areta mendelik kala mendengar kata calon yang sahabatnya katakan. Terdengar sangsi di telinganya. "Kalau dia setuju, gue gimana dong?" tanya Areta lagi. Kali ini Nia yang mendelik. "Kepedean banget lo kalau dia bakal nerima," ucapnya terkekeh kala Areta semakin merengek. Memperbaiki posisi duduknya, memasang wajah serius di sana sebelum kembali berkata, "Kalau menurut gue, mending lo liat dulu aja deh. Kalau lo pikir dia cocok dan masuk kriteria lo, ya, jalanin aja. Kalau nggak, lo tinggal nolak. Semua keputusan ada ditangan lo, Ta. Keluarga calon lo nggak bakal maksa lah kalau lo nggak mau," ucap Nia memberikan solusi pada Areta. Areta terdiam sejenak, sebelum kemudian wajahnya kembali memasang ekspresi suram dengan bibir mengerucut. "Kenapa lagi, Ta? Lo takut?" tanya Nia yang seketika membuat Areta menegakkan kepala. "Kok lo tau?" tanyanya dengan tampang polos. Nia kadang bertanya-tanya, apa sahabatnya ini memiliki kepribadian ganda? Kadang tingkahnya akan sangat dewasa, kadang juga akan kekanakan. Dia bahkan sering memikirkan, apa semua muridnya tau dengan sifat dosen mereka yang satu ini? "Nggak penting," ucap Nia sekilas. "Emangnya apa yang bikin lo takut? Orang tua lo?" tanyanya lagi. Areta mengangguk. "Gimana kalau mereka kecewa sama keputusan gue? Apalagi Mama kayaknya antusias banget sama perjodohan ini," ucapnya dengan nada murung. Nia menggaruk pelipisnya yang tak gatal, sedikit pusing dengan masalah sang sahabat. "Gini ya, Ta. Yang mau jalanin hidup 'kan, lo. Gue yakin kok, Tante sama Om nggak bakal maksain kehendak mereka kalau lo nggak bahagia. Udah, mendingan, lo temuin dulu nanti calon lo, lo bicarin gimananya sama orang tua lo, baru ambil keputusan. Menurut gue, jangan ambil keputusan tergesa-gesa. Dan gue bakal terus dukung lo apapun keputusan lo," tukasnya panjang lebar seraya menampilkan senyum manis di akhir kalimatnya. Senyum itu menular, Areta yang sedari tadi lengkungan bibir ke bawah, kini simpul itu perlahan tertarik ke atas membentuk sabit sempurna. Nia memang mengerti dirinya. "Tumben banget lo bijak, Ya. Cappuccino lo nggak dicampur duri landak, 'kan?" tanya Areta yang sontak menghapus total senyum manis Nia. "a*u lo!" umpat Nia disambut tawa Areta yang menggelegar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD