Dasar Playboy!

1031 Words
Kring… Kring….   Aish, menyebalkan. Suara alarm itu merusak mimpi indahku. Eh, gak deng. Itu adalah mimpi buruk. Bagaimana mungkin aku menganggap menikah dengan Diko adalah mimpi yang indah. Yang ada itu adalah mimpi buruh. Iyyuh, semoga saja tidak kejadian. Aku tidak mau menjadi salah satu bonekanya.   Sudahlah. Memikirkannya akan membuat otak menjadi panas, jantung berdebar, dan emosi meningkat. Dia yang dulu dengan dia yang sekarang, tidak jauh berbeda. Bahkan kini penyakitnya semakin menjamur. Iya, penyakit play boy. Dasar player!.   Aku menyingkap selimut yang sangat aku sayangi dan cintai karena motifnya yaitu doraemon. Aduh, bahkan aku lebih rela untuk menjadi suami doraemon daripada menjadi pasangan seorang Diko Pratyaksa, seorang CEO tempatku bekerja sekaligus seorang teman dari SMA. Aduh, please. Jangan mengungkit dia lagi. Lebih baik aku membersihkan badanku yang kemarin belum sempat aku bersihkan gara-gara menyelesaikan setumpuk tugas yang seharusnya pria itu kerjakan. Memang dasar menyebalkan!. Tapi itulah tugasku sebagai sekretarisnya. Terkadang, aku juga bingung mengapa aku yang terpilih menjadi sekretarisnya. Padahal dulu saat wawancara, akulah yang mempunyai nilai bahasa inggris paling rendah. Dulu, yang menjadi nilai terpenting adalah bahasa inggris karena perusahaan ini banyak sekali menerima tamu dari luar, makanya sekretaris yang mampu berbahasa inggris adalah kandidat yang di utamakan. Atau jangan-jangan, alasannya memilihku dulu karena sudah terlalu bergantung sama aku. Karena dulu, saat SMA aku juga sering menyelesaikan tugasnya. Bukan hanya karena dia kencan dengan pacarnya, tapi juga karena dengan dalih kalau aku adalah wakilnya dulu ketika menjadi ketua OSIS. Tapi, itu kan dulu!. Ingat, itu DULU!. Astaga, mengingatnya membuat darahku mendidih. Sudahlah, ayo lupakan perlakuan menyebalkannya dan siap-siap bekerja demi sesuap nasi. Aish, lebay kali!.   ***   Hmm… memang aku ditakdirkan untuk tidak tenang. Baru saja aku masuk ke dalam lobi kantor, aku sudah melihat beberapa wanita dengan pakaian ketat dan dandanan yang tebal. Mengalahkan dandanan para waria yang nangkring di persimpangan. Tanpa perlu bertanya lagi, aku sudah tahu siapa mereka.   “Kalian mencari Diko?” Tanyaku pada beberapa wanita itu. Saat mendengar nama Diko disebut olehku, mereka langsung melihat ke arahku dan dari raut wajahnya terlihat sangat senang. Seperti baru saja mendapat suatu solusi dari masalah yang terasa sangat berat. Astaga, apa lagi yang laki-laki itu lakukan.   “Iya. Kami mencari Diko. Kamu sekretarisnya, kan? Kemarin aku melihatmu duduk di depan ruang kerja Diko” Ujar salah satu diantara mereka. Sepintas, mereka terlihat sangat cantik sampai membuatku tidak tega melihat mereka di permainkan oleh Diko. Kecantikan mereka melebihi kecantikanku. Sudahlah, cantik itu relatif dan setiap perempuan punya sisi cantiknya masing-masing.   Aku mengangguk mendengar keputus-asaan mereka. Aku beranjak ke resepsionis dan menanyakan kehadiran Diko. Untung saja buaya itu sudah berada di kantor. “Ayo, iku aku. Diko sudah ada di ruangannya dan aku mendukung kalian” Ujarku semangat.   Kelima perempuan itu mengangguk semangat, melebihi semangatku melihat Diko yang sebentar lagi mengalami nasib buruk. Aku mengawal mereka menuju lift khusus ke ruangan Diko, ruanganku juga. Sampai di sana, mereka berlari mendahuluiku.   “Stop!. Tahan kerinduan kalian. Aku tahu pesona Diko memang sangat sulit di takhlukan, tapi aku mohon, tahan. Kalau kalian langsung membuka ruang kerja Diko, itu percuma. Hanya aku dan Diko yang tahu passwordnya. Dan ingat, aku berada di sisi kalian” Ujarku menghentikan mereka. Memang benar, hanya aku dan Diko yang tahu password ruang kerja pria itu dan aku rasa mereka juga mengetahuinya, jika memang mereka telah diajak langsung masuk ke dalam.   Sepertinya mereka menyetujui ucapanku, mereka mempersilahkanku untuk berjalan lebih dulu. Astaga, merek polos sekali. Pantas di permainkan. Semoga aku tidak menjadi salah satu diantara mereka.   Saat sampai di depan ruangan Diko, aku berhenti dan tidak langsung memencet password. “Jadi, kalau kalian sangat ingin bertemu dengan Diko, saranku kalan harus sabar dulu. Aku akan masuk terlebih dahulu karena memang seperti itulah rutinitas pagiku. Itu juga supaya Diko tidak curiga. Setelah aku membacakan kegiatan yang harus buaya itu lakukan hari ini, aku akan keluar dan mempersilahkan kalian masuk. Apapun yang kalian lakukan pada pria itu, bukanlah urusanku. Dan ingat satu hal, bahwa aku mendukung kalian” Ujarku pada mereka. Mereka hanya mengangguk saja mendengar arahanku. Astaga, benar-benar polos.   Huft… saatnya beraksi. Aku masuk ke dalam ruangan kerja Diko dan sontak pria itu melihat ke arahku dengan senyuman manis. Aduh, jujur saja senyumannya sangat manis. Namun sayang, sebentar lagi akan menjadi sulit untuk tersenyum. Aku pastikan itu.   “Halo, selamat pagi pak” Ujarku berusaha professional.   “Selamat pagi juga, sekretaris cantikku, Nabila Karista”Ujarnya terdengar manis. Tahan, tahan.   Aku mengeluarkan iPad dan membacakan kegiatan pria itu. “Sekian. Jika boleh memberikan saran, aku rasa bapak tidak perlu menghadiri rapat dengan Moccasizo Group”   “Lah, kenapa? Bukankah bekerja sama dengan mereka akan memberikan banyak profit dan benefit” Ujarnya kebingungan. Dia hanya tidak tahu kejadian apa yang akan menimpanya sebentar lagi.   “Saya hanya menyarankan. Sekian, saya kembali ke tempat. Jika bapak membutuhkan saya, bapak bisa tekan tombol 3 dan saya akan mengangkatnya. Terima kasih” Ujarku dan balik badan. Sumpah, ini sungguh menggelikan. Apalagi saat melihat ekspresi kebingungannya. Astaga, sekarang malah aku yang tidak tega melihatnya menjadi bahan samsak para betina yang menunggu di luar.   Aku membuka pintu dan langsung berhadapan dengan ekspresi tidak sabar dari mereka. “Sabar. Intinya, kalian harus sabar dan aku mendukung kalian”   Astaga. Aku tidak ingat sudah berapa kali aku menyebut kalau aku mendukung mereka. Dan memang benar, mereka pantas di dukung karena kebejatan lelaki yang mungkin saja masih kebingungan di dalam.   Aku kembali membuka pintu dan membuat Diko kebingungan, sekaligus penasaran.   “Ada apa lagi? Aku rasa kamu tidak meninggalkan apapun di ruanganku” Ujarnya jujur. Aku menggeleng.   “Bukan aku yang meninggalkan sesuatu, tapi Anda”   Diko bingung. Astaga, lucu sekali ekspresinya.   “Masuklah!”   Satu persatu perempuan itu masuk, dan lihatlah. Ekspresi Diko berubah drastis. Dari yang kebingungan sekaligus penasaran, berubah menjadi ketakutan seperti dihadapkan dengan singa betina yang siap menerkamnya kapan saja.   “Anda ketinggalan ini, pak. Selamat bersenang-senang” Ujarku dan mundur.   Sampai di luar, aku tertawa puas. Sempat beberapa kali aku mendengar ia meneriaki namaku, dan aku tidak menghiraukannya. Beberapa kali juga aku mendengar dering telepon dari meja kerjaku. Sepertinya pria itu memang benar-benar dalam masalah. Tapi, pria itu juga harus di ingatkan bahwa perempuan itu tidak boleh di permainkan. Enak saja,  dia mempermainkan kaum perempuan. Sebagai kaum perempuan, hasrat untuk saling mendukung semakin menggelora di jiwaku. Dan untuk yang kesekian kalinya, aku mendukung mereka yang di jadikan mainan belaka oleh para lelaki. Apalagi lelaki yang mempermainkan itu adalah orang yang ku kenal.   Semoga dengan kejadian ini membuat Diko jera dan pensiun dari ke-playboy-an nya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD