Chapter 2 : Luka Pertama Part 2

1004 Words
“Bangun dan bersihkan tubuhmu, Emily. Cepat! Sebelum Aaron melihatmu dalam keadaan seperti ini,” seru Clara. Sambil menangis terisak, Emily menjawab, “Mom, mengapa? Aku kesakitan, kupikir aku tidak dapat berjalan.” “Jangan manja dan kuperintahkan kau untuk bangun, segera bersihkan dirimu di kamar mandi, Cepat!” seru Clara sambil menarik tangan Emily. Emily terjatuh dari tempat tidurnya dan dengan tubuh gemetar serta berusaha menahan sakit di area genitalnya, ia merangkak perlahan keluar dari kamar tidurnya menuju ke kamar mandi. Apartemen keluarga Emily merupakan sebuah apartemen sederhana yang memiliki dua kamar mandi, satu terletak di dalam kamar tidur Alfred dan Clara, sementara kamar mandi yang satunya lagi terletak di tengah-tengah antara kamar tidur Aaron dengan Emily. Dengan tertatih-tatih, Emily mencoba bangkit berdiri dan sambil berpegangan pada kusen pintu kamar mandi. Lalu, berjalan masuk ke dalamnya sambil tangan satunya menyentuh dan menekan area genitalnya untuk sekedar mengurangi rasa sakitnya. Akhirnya, ia sampai di hadapan sebuah wadah besar yang seluruhnya berisi air bersih, kemudian ia mengambil air dan mengarahkannya pada area genitalnya. Saat ia menengok ke bawah, berusaha melihat area genitalnya, ia meihat cucuran darah. Jantungnya berdegup kencang dan rasa takut langsung memenuhi perasaannya saat itu. Emily terus membersihkan area genitalnya hingga ia merasa cucuran darah itu sudah tidak keluar lagi. Setelah itu, ia juga membersihkan tubuhnya, kemudian menarik handuk bersih yang tergantung di rak atas kamar mandi. Rasa sakit masih ia rasakan, dengan tertatih ia berjalan keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam kamar tidurnya. Ia melihat sang ibu yang masih sibuk mengganti seprei tempat tidurnya dengan seprei yang baru. “Mom, mengapa kau lakukan ini padaku? Bukankah aku anak kandungmu?” tanya Emily memelas. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Sekarang pergilah tidur dan simpan hal ini rapat-rapat, mengerti?” ucap sang ibu. “Aku sungguh tidak mengerti. Paman Drake telah menyakitiku, Mom,” jawab Emily sambil menahan sakit. “Lama-lama kau pun akan terbiasa juga, lagipula apa bedanya b******a dengan Paman Drake atau dengan pacar masa depanmu suatu saat nanti? Semua sama saja,” jawab sang ibu. “Aku tidak mengerti apa yang Mom bicarakan,” sahut Emily yang masih belum dapat menangkap inti dari penjelasan sang ibu. “Kau hanya perlu patuh padaku dan sekarang pergilah tidur, besok kau masih harus bersekolah,” ucap sang ibu. Dengan tertatih, Emily mengambil pakaian tidurnya yang baru, kemudian memakainya. Lalu, ia naik ke atas tempat tidurnya dan berbaring. Tanpa mengucapkan sekedar selamat malam atau selamat tidur kepada gadis itu, sang ibu langsung pergi meninggalkannya. Kamar tidur yang berukuran tidak terlalu besar itu, dengan dekorasi khas anak perempuan yang dipenuhi lukisan peri-peri kecil. ditambah boneka-boneka imut yang tertata rapi di lemari khusus boneka. Belum lagi meja belajar, lemari pakaian dan tempat tidur Emily yang berwarna senada yaitu merah muda telah menjadi saksi saat perbuatan biadab itu terjadi. Malam itu, Emily masih belum dapat memejamkan mata, air mata kembali menetes membasahi selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ia kembali menangis terisak seraya memanggil-manggil nama sang ayah, “Dad ... dad, aku rindu. Daddy, pulanglah cepat!” Gadis kecil berhidung mancung, berkulit putih bersih, matanya yang lebar dan jernih yang disertai dengan bulu mata lentiknya semakin menambah kecantikannya yang alami. Tubuhnya tidak gemuk, tetapi juga tidak kurus, kembali menangis terisak malam itu seraya terus memanggil sang ayah. Sementara itu, di tempat kerjanya, Alfred merasa tidak tenang dan jantungnya berdegup kencang. Tetapi, dia tidak tahu alasan mengapa hati dan perasaannya terasa resah dan tidak tenang. Saat itu, dia tengah memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat bersama dengan teman kerjanya. Alfred melamun memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi pada keluarganya, saat melamun itulah gelas kopi yang berada dalam genggaman tangan Alfred terjatuh dan pecah berkeping-keping. “Gosh, apa yang kau pikirkan, Buddy?” tanya teman kerja Alfred. “Entahlah, hatiku terasa risau dan tidak tenang. Aku tiba-tiba memikirkan Emily,” jawab Alfred cemas. “Jika kau mencemaskan mereka, mengapa kau tidak menelepon istrimu saja?” “Ya, kau benar. Tetapi, kupikir mungkin sekarang mereka sedang tidur, aku tidak ingin mengganggu mereka.” “Kalau begitu, mari kita kembali bekerja. Sepertinya pelanggan yang akan masuk ke dalam toko kita seorang billionaire. Lihatlah mobil yang mereka tumpangi dan pakaian yang mereka kenakan.” “Orang kaya dengan penampilannya yang kaya. Berhenti mengangumi dan kembali bekerja,” ucap Alfred. Sementara itu, Emily masih terjaga semalaman. Malam itu, hujan deras mengguyur Kota New York, petir dan guntur saling bersahut-sahutan. Angin kencang ikut mewarnai suasana. Emily sudah terbiasa mendengar suara jendela kamarnya yang bergetar terkena terpaan angin kencang dan suara petir yang menggelegar, tetapi malam itu ia tidak dapat memejamkan mata karena bayangan Drake dan apa yang diperbuat pria itu kepadanya tergambar dengan jelas di ingatannya. Ia menggaruk tangannya dan berusaha menghilangkan rasa jijik dari tubuhnya, sementara rasa sakit masih bersarang di area genitalnya. Tetapi, lama kelamaan akibat terlalu lelah, akhirnya ia tertidur. Keesokan paginya, Emily merasa seseorang berlutut di sampingnya dan sepertinya sedang memintanya bangun. “Emily Sayang, bangunlah. Saatnya sekolah,” ujar sang ayah. Emily membuka matanya perlahan dan menoleh ke asal sumber suara, dilihatnya sang ayah yang sedang berlutut di samping tempat tidurnya. Hatinya seketika menjadi gembira, bagaikan melihat sesosok malaikat yang datang menghampiri dirinya. Ia langsung memeluk erat sang ayah dan tidak melepasnya. Alfred yang merasa khawatir pada keadaan anak perempuan kesayangannya, lantas membelai lembut punggung Emily. “Emily, apa semua baik-baik saja? Kau tidak seperti biasanya?” Emily tidak menjawab, perkataan Drake tengiang-ngiang di telinganya. Tidak lama kemudian, ia menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Aku tidak apa-apa, Dad. I love you.”  Air mata Emily kembali menetes, kali ini membasahi pakaian kerja sang ayah. Alfred yang merasa pakaiannya basah, lantas melepaskan pelukan gadis itu dan menatap mata sang anak. “Emily, katakan pada Ayah, benarkah tidak terjadi apa-apa?” tanyanya penasaran. Sekali lagi Emily hanya menganggukkan kepalanya dan mulai terisak. Alfred semakin cemas dan berusaha mengorek keterangan dari gadis itu. “Emily Sayang, jangan takut, katakanlah ada apa? Apa teman-temanmu mengganggumu?” “Tidak. Mereka semua baik dan dekat denganku,” jawab Emily singkat. “Bagaimana dengan guru-gurumu? Apakah mereka menyulitkanmu?” tanya sang ayah penasaran. “Tidak. Mereka juga sangat ramah dan sayang padaku,” jawab Emily sambil menundukkan wajahnya. “Lalu, mengapa kau menangis? Apakah kau tidak bahagia melihat Daddy pulang ke rumah?” “Daddy, bisakah berhenti bekerja atau bekerjalah di pagi hingga sore hari? Sehingga Daddy bisa menemani aku dan Aaron pada malam hari.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD