Pratama Devano

1045 Words
Sekolah sudah sangat sepi dan mungkin aku adalah satu-satunya orang yang masih berada di sini karena membantu ibu kantin untuk membereskan dagangannya. Inilah kegiatanku seusai jam pelajaran, upah lelah membereskan dagangan lain lagi dengan yang tadi siang aku dapatkan. “Ge, terima kasih ya. Ibu sangat terbantu sekali dengan adanya kamu di sekolah ini, semoga rezekinya lancar dan jadi anak yang sukses kelak, tetap belajar yang rajin ya,” ucap Bu Siti yang tampak puas dengan pekerjaanku, terbukti dengan wajahnya yang sangat gembira. “Sama-sama, Bu. Gea pulang duluan ya, takut mama cariin,” kata Gea kemudian salim dengan Bu Siti dan beranjak meninggalkan area kantin. Aku berjalan perlahan meninggalkan sekolah yang sangat aku benci itu. Setidaknya satu hari telah berlalu di sekolah yang hanya berisi anak-anak mami. “Gea, ayo bareng!” ucap Devan yang menghentikan motornya tepat di sampingku berdiri. Motor ninja mengkilapnya itu sering membuatku berandai-andai untuk menaiki itu, seumur hidupku aku tidak pernah menaiki motor semewah motor milik Devan bahkan untuk sekedar menaiki motor butut pun aku belum pernah. “Aku boleh naik motor ini?” tanyaku sambil menunjuk pada motor Devan, Devan mengangguk cepat dengan senyuman yang seringkali membuatku salah tingkah. “Naiklah, aku kebetulan lewat sekolah lagi setelah pulang sekolah tadi, untung saja aku lewat sini kalau tidak kamu pasti berjalan lagi,” ucap Devan dengan cengengesan, aku belum pernah melihat Devan bersikap seperti ini di depan teman-teman maupun anak sekolah itu. “Devan,” panggilku dengan pelan, sebenarnya aku tidak ingin menanyakan hal itu karena aku tahu setiap orang punya privasi. Namun, tetap saja sikap Devan yang berbeda seperti itu membuatku bertanya-tanya pada pemuda yang terkenal sangat dingin itu. Devan tampak terdiam dan tidak menjawabku cukup lama sampai akhirnya ia membawaku sampai rumah. “Orang seperti kita tidak akan pernah bisa melawan mereka dan aku muak melihat kesombongan anak-anak yang masih minta duit orang tua saja tapi sombongnya selangit. Sungguh itu sangatlah menjijikkan,” ungkap Devan dengan sorot mata yang penuh amarah. Aku sedikit bingung juga karena Devan mengatakan “Orang seperti kita” setahu aku Devan adalah anak orang kaya dan tentu saja dirinya tidak akan bisa disamakan denganku, sungguh kalimatnya membuatku sedikit bingung, tapi kali ini aku tidak ingin bertanya lagi karena tentu saja itu sangatlah tidak etis. “Iya benar. Terima kasih ya sudah mengantarkanku,” ucapku dengan sopan kemudian masuk ke rumah yang bisa dibilang seperti gubuk derita, biar saja salah satu teman sekolahku tahu bahwa rumahku seperti gubuk derita. Aku salim dengan ibuku yang sedang merajut, wajahnya terlihat lesuh pastilah ibu belum makan saat ini. “Aku membawakan nasi bungkus dengan lauk ayam, ibu kantin membuatkannya untuk ibu katanya ini masih ada sisa dari jualannya,” ucapku memberitahu ibu yang sepertinya kelaparan. Beliau mengangguk senang dan mengucapkan terima kasih seperti aku baru saja memberikan sebongkahan berlian. “Terima kasih Gea, ibu beruntung punya anak seperti kamu, tapi maafkan ibu bila kamu tidak beruntung mempunyai ibu seperti saya,” ucap ibuku dengan sesegukan, aku tahu bahwa ibuku selalu memikirkan aku yang sudah beranjak dewasa dan masih saja dalam keadaan melarat seperti ini. “Tidak perlu berkata seperti itu, lagi pula Gea juga beruntung punya ibu seperti ibu karena dengan didikan ibu aku juga memiliki karakter yang baik dan tidak seperti teman-temanku yang orang tuanya berkelimpahan harta, tapi tidak mempunyai karakter yang baik,” ucapku seraya mengambilkan piring untuk ibuku. Ibuku hanya diam, disisi lain kesulitan ini aku harus merasa beruntung karena aku memiliki sikap yang bagus dari pada teman-temanku yang tidak mempunyai attitude. Di dalam rumah ini aku selalu merasa nyaman dan aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku akan membuat ibuku bahagia dengan hasil kerja kerasku semoga saja Tuhan selalu berkenan kepada jalan lurus yang aku tempuh. Sepulang sekolah aku harus membantu ibu merajut anyaman untuk dijual, belum lagi nanti malam aku harus belajar dengan keras walaupun tubuhku sudah sangat lelah. Begitulah aku sehari-hari, namun bagaimana pun aku tetap bersyukur karena aku tumbuh sebagai anak yang bermental baja dari pada teman-temanku yang hanya mengandalkan orang tua kaya raya. “Belajar saja biar ibu yang mengerjakan ini, kamu sudah cukup lelah setiap hari maafkan ibu karena tidak bisa membuatmu menjadi seperti anak lain yang bisa les di tempat mahal dan mencoba makan-makanan mahal serta hanya fokus pada pelajaran tidak perlu memikirkan bagaimana uang akan mengalir ke dompetmu,” ucap ibuku, lagi-lagi dengan nada sedih ibuku berkata seperti itu. “Bu, jangan terus meminta maaf, ini bukan salah ibu atau siapa pun, tapi ini sudah menjadi takdir agar aku bisa bangkit berdasarkan keringatku sendiri. Belum tentu jika aku lahir dari oraang tua yang kaya raya aku bisa seperti sekarang yang bermental baja dan tidak sombong,” kata aku dengan kesal, aku tidak suka jika ibu merasa bersalah dan merasa gagal menjadi orang tua. “Ibu adalah orang tua terbaik, bagaimana pun aku harusnya bersyukur karena lahir dari rahim ibu. Ibu bisa membuatku jadi manusia berguna dan tidak sombong, andai saja Gea lahir dari rahim salah satu orang tua temanku, mungkin aku akan seperti anak-anak itu yang tidak baik. Ibu sudah beramal banyak karena mendidikku dengan baik, ibu akan mendapatkan balasan atas kebaikan ibu suatu hari nanti.” Aku memegang tangan ibuku yang terasa berkeriput. Aku melihat ibuku yang menangis mendengar perkataanku, aku hanya menyampaikan uneg-unegku yang selalu bersyukur dalam segala hal. Prinsip itu yang selalu membuatku merasa cukup. Aku tidak perlu barang-barang mewah namun ibuku tidak ada, aku hanya perlu ibuku untuk hidup di dunia ini. Persoalan uang aku percaya suatu saat nanti aku bisa meraih itu semua walaupun tidak akan sama seperti teman-temanku. “Terima kasih sudah berkata begitu, ibu sayang sama kamu. Tetap jadi anak yang baik dan bisa menjadi kebanggaan ibu ya, Nak.” Ibuku mengelus rambut halusku dengan lembut dan menenangkan. Tangan yang semakin renta itu kini mempunyai satu harapan di dalam diriku. Menjadi anak tunggal dan hanya memiliki seorang ibu bukanlah suatu hal yang mudah untukku, aku sering kali merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi kebutuhan ibuku pada usia sekarang. Aku sering merasa iri pada anak-anak yang sukses di usia muda dan bisa membanggakan kedua orang tuanya, sementara diriku hanyalah seorang anak yang belum bisa membahagiakan ibuku, bahkan untuk membahagiakan diri saja masih merasa kesulitan, dengan masuk SMA Global aku harap aku bisa mempunyai masa depan yang cerah kemudian hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD