Sedikit Berkorban

2634 Words
    "Kasarannya, meskipun Oom pinjemin semua tabungan yang ada, itu tetep belum cukup untuk melunasi semuanya."     "Tenang, Yas, tenang!" kata Oom Junot lagi-lagi.     "Gimana aku bisa tenang, Oom? Dari mana kami bisa dapetin uang sebanyak itu hanya dalam waktu satu bulan?"     "Jangan gegabah! Kita pikirin dulu semuanya bareng-bareng. Kita cari uang sama-sama, sembari mencari solusi lain yang lebih tepat."     Yas akhirnya diam. Oom Junot benar bahwa ia tak boleh gegabah, atau nanti justru mengakibatkan hal yang lebih buruk.     Ia memandangi kedua adiknya satu per satu. Mereka sedari tadi juga diam. Namun bukan berarti mereka tidak kalut.     Mereka diam karena juga tidak tahu harus bagaimana.   ***       Elang membuka pintu kamar Yas. Kakaknya itu sedang menidurkan Namira. Terlihat dari raut wajah Yas bahwa masalah ini sangat membebaninya. Meskipun Yas memberi Elang senyuman, tapi itu hanyalah kamuflase belaka.     Yas kemudian meletakkan Namira ke dalam box-nya setelah anak itu tertidur.     "Apa itu?" tanya Yas begitu menyadari bahwa Elang membawa sesuatu di tangannya.     "I-ini hasil jual laptop gue." Elang menyerahkan amplop putih itu pada Yas.     Jemari Yas mengulur pelan, menerima pemberian Elang. Ia menunduk memandangi amplop itu. Susah payah ia menahan semuanya. Ia berusaha terlihat tegar untuk adik-adiknya. Tapi semuanya sia-sia sekarang. Air matanya mengalir begitu saja.     Elang memegangi kedua lengan Yas. "Lo jangan nangis!"     "Maafin, Mas."     "Kenapa lo minta maaf? Itu adalah hutang Papa kita, jadi semuanya harus kita tanggung sama-sama."     "T-tapi ...."     "Lagian gue nggak jual semuanya kok. Gue masih nyisain satu. Dan asal lo tahu aja, ternyata hasil survey gue selama ini lumayan banyak. Hampir lima ratus dolar. Udah gue tarik dari paypal sekalian. Dua hari lagi pasti udah ready di rekening gue."     Mendengar hal itu isakkan Yas semakin terdengar keras. Elang menggigit bibir bawahnya, mengerti perasaan kakaknya saat ini. Tanpa ragu ia segera merengkuh tubuh Yas dalam pelukannya.   ***       Tante Keke meletakkan s**u cokelat hangat di atas meja. Ia tahu dengan jelas bahwa minuman ini adalah kesukaan Theo. Biasanya anak itu akan segera meminum s**u pemberiannya dalam waktu singkat. Tapi tidak dengan siang ini. Anak itu masih diam dan menunduk.     Tante Keke menarik napas dalam. Suaminya sudah menceritakan semuanya. Ia merasa prihatin tentu saja. Tapi jujur, ia juga tak tahu harus bagaimana.     "Diminum, dong!" serunya.     Theo menggeleng.     "Terus mau kamu apa? Ayo cepetan ngomong! Tante jadi serba salah."     Theo mengangkat kepalanya. "Aku udah mikirin semuanya semalem."     "Mikirin apa?"     "T-tante ...."     "Iya?"     "A-aku ...."     "Kamu kenapa?"     "A-aku mau jadi model tante lagi."   ***       Wanita itu berjalan mengendap-ngendap memasuki pekarangan rumah besar bak istana. Ia mengaduh kala kakinya menyandung sebuah balok kayu di atas rumput. Pasti ini adalah sisa material bangunan baru yang sedang ia lewati. Ia merasa aneh karena tidak ada tukang yang meneruskan menggarap bangunan ini.     Ia mengetuk pintu berukir indah nan megah di hadapannya. Karena tidak ada yang membuka, ia menekan bel di samping pintu. Ia sudah hendak menekan bel lagi, tapi tidak jadi karena seseorang sudah membukakan pintu untuknya.     "Bu Alila?" Yas terlihat terkejut.     Wanita itu tersenyum lebar. "Siang, Pak Yas!"     "S-siang. Silakan masuk!"     Bu Alila memandang sekeliling rumah. Rumahnya di kampung mungkin tak ada seperempat dari keseluruhan bangunan ini. Tapi ia berusaha tidak minder. Ia yakin dengan berbuat baik, itu sudah cukup untuk mendapatkan hati Pak Yas, menjadi ibu dari Namira, dan juga anak-anak Yas yang lain di masa depan.     "Bu Alila mau minum apa?"     "Terserah Pak Yas aja." Lagi-lagi wanita itu tersenyum. Tapi ia mengernyit saat melihat wajah Yas yang tak seperti biasanya. Wajahnya terlihat sembab dan matanya juga bengkak.     "Pak Yas kenapa?"     Belum sempat Yas menjawab, fokus mereka teralih karena ada seseorang yang berjalan menuruni tangga. Ternyata Elang. Elang sendiri kaget dengan kedatangan Bu Alila ke rumahnya.     Di saat yang bersamaan, Theo juga baru saja memasuki rumah. Ia baru pulang dari rumah Oom Junot, setelah bicara empat mata dengan Tante Keke.     Theo tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya melihat sang Pujaan Hati ada di sini. Rasanya seperti mendapat pelipur lara secara cuma-cuma. Senyumnya merekah lebar. Akhirnya setelah semua kejadian buruk, ada juga seseorang yang membuatnya senang seperti ini.     "Nun- ...." Belum selesai Theo bicara, Bu Alila segera membungkamnya.     Kali ini apa lagi salahnya? Waktu itu Bu Alila membungkamnya karena ia memanggilnya Bu di luar sekolah, dan Bu Alila minta dipanggil Nuna sebagai gantinya, untuk menyalurkan fantasi liarnya tentang drama Korea.     Dan sekarang, Theo sedang berusaha patuh. Ini pun di luar sekolah, kan? Tentu saja karena ini adalah rumahnya. Sesuai permintaan Bu Alila, Theo memanggilnya Nuna. Tapi anehnya ia malah dibungkam juga.     "Ada Pak Yas, tuh! Malu! Nanti kalo nggak ada Pak Yas, kamu harus panggil saya Nuna lagi, ngerti?" bisik Bu Alila tepat di telinga Theo.     Theo akhirnya mengerti di mana letak kesalahannya. Memahami wanita--bukan hanya Bu Alila, ini berlaku untuk semua manusia berjenis kelamin perempuan di seluruh dunia--nyatanya memang sebuah rumus paling rumit yang pernah ada. Bahkan rumus-rumus statistik yang ada ratusan itu, tidak ada apa-apanya dibanding rumitnya rumus memahami wanita.     Elang dan Yas mengernyit heran melihat kelakuan Bu Alila dan Theo. Karena gerak-gerik mereka aneh sekali.     Untuk Yas, ia aman.     Sedangkan Elang? Ia hanya belum tahu, bahwa nanti jika sedang tidak ada Yas di sekitar sini, ia juga akan bernasib sama dengan Theo, yaitu harus memanggil Bu Alila dengan sebutan Nuna. Alasannya masih sama, karena ini di luar sekolah.     Setelah melepaskan bungkamannya dari mulut Theo, Bu Alila kembali bersikap seperti semula. Sebelumnya tadi ia sudah memberi tahu Theo untuk mengulang kata-katanya.     "Bu Alila!" seru Theo ceria—lengkap dengan revisinya.     "Iya, ini saya, Theo!" jawab Bu Alila dengan nada yang dimanis-maniskan, sebagai salah satu usaha mendapatkan hati Yas.     Sedangkan Theo menganggap bahwa nada manis dalam kalimat Bu Alila adalah tulus untuknya. Makannya saat ini ia sedang tersenyum dengan semburat merah di pipi.     Namun ....     "Ngapain Bu Alila ke sini?" Pertanyaan dari Elang sukses merusak hujan sakura yang barusaja turun deras di hati Theo.     "Lo ngomongnya yang sopan dong, Lang!" Theo segera memarahinya.     "Gue tadi udah sopan kali!" Elang tidak terima.     Memangnya seperti apa gambaran sopan menurut Theo? Apa iya Elang harus menye-menye seperti adegan dalam sinetron kesukaan Theo?     "Sudah-sudah! Aduh ... kalian ini kebiasaan, deh!" Bu Alila segera melerai mereka.     "Elang, bicara kamu sudah sopan, tapi nadanya yang kurang baik. Ketinggian!" Bu Alila memberi tahu Elang letak kesalahannya.     "Theo, Elang bicaranya memang kurang tepat, tapi kamu ngasih tahunya jangan nyolot, dia jadi emosi, kan?" Bu Alila juga menjelaskan hal yang sama pada Theo.     "Tujuan saya datang ke mari adalah karena saya khawatir. Baik Pak Yas ataupun kalian berdua, semuanya nggak dateng ke sekolah hari ini. Saya takut kalo Pak Yas sakit lagi seperti waktu itu. Tapi karena nyatanya Pak Yas dan kalian berdua sehat-sehat saja, saya jadi lega." Bu Alila menjelaskan maksud kedatangannya secara detail, dan lagi-lagi diakhiri dengan sebuah senyuman.     "Wah, Bu Alila perhatian banget, sih!" celetuk Theo.     Bu Alila mengangguk-angguk. "Tapi saya lihat muka kalian semuanya sedikit aneh. Wajah kalian sembab dan mata kalian bengkak, kenapa?"     Mereka bertiga saling berpandangan. Yas sebagai yang tertua merasa bahwa ini adalah tanggung jawabnya. Maka ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu.     "Nggak ada apa-apa kok, Bu. Maaf karena udah bikin khawatir. Semalem ada acara keluarga gitu. Terus kita pulang larut, jadilah hari ini kita kesiangan, bolos semuanya, deh!"     Kali ini Theo dan Elang yang saling berpandangan. Jadi, Yas memutuskan untuk menutupi hal ini dari orang lain? Baiklah, jika itu keputusan Yas.     Tapi kalau dipikir-pikir memang lebih baik seperti itu. Tidak baik jika urusan seperti ini diketahui banyak orang.     "Saya sampai lupa tadi mau bikinin minum!" Yas segera berbalik menuju dapur.     "Eh, Pak Yas, Pak Yas!" Bu Alila menghentikan langkah Yas. "Saya ikut! Saya bawa banyak bahan, buat makan malem kita semua." Bu Alila membuka tas kresek yang dibawanya, isinya sayur mayur dan juga daging ayam.     "Bu Alila kok repot-repot, sih!"     "Nggak repot kok, Pak Yas, nggak repot!" Bu Alila ngibrit mengikuti Yas menuju ke dapur.     Theo dan Elang juga melangkah di belakang Yas dan Bu Alila, tapi mereka tidak lanjut sampai ke dapur. Mereka berhenti di meja makan. Duduk manis menunggu makanan matang.     Bu Alila berbinar-binar menatap Yas memotong bawang layaknya seorang chef profesional. Ia saja yang perempuan tidak bisa memotong bawang secepat dan serapi itu.     "Pak Yas bohong, ih! Waktu itu bilang nggak bisa masak, nyatanya ini gape banget!" protes Bu Alila.     "Emang nggak bisa kok, Bu. Saya bisanya cuman yang sederhana saja."     "Tapi cara motong bawang Pak Yas sama sekali nggak sederhana, lho! istimewa! Seperti perasaan saya pada Pak Yas, istimewa!" Bu Alila terkikik pelan setelah mengatakannya.     Yas hanya tersenyum garing. Dulu saat pertama bertemu, Yas cukup kaget dengan bagaimana cara Bu Alila memperlakukan dirinya. Tapi sekarang, ia sudah cukup beradaptasi.     Berbeda dengan Theo dan Elang yang baru tahu sekarang. Ya, mereka memang sudah tahu kalau Bu Alila jatuh cinta setengah mati pada Yas. Karena berita itu sudah tersebar seantero sekolah. Murid-murid setiap hari membicarakan mereka, khususnya para murid wanita.     Mereka menganggap Bu Alila sebagai saingan, karena mereka juga mengelu-elukan Yas.     Meskipun Theo dan Elang sudah tahu kalau Bu Alila suka pada Yas, tapi mereka tak pernah tahu kalau wanita itu menunjukkan semuanya sefrontal ini.     "Guru lo udah gila!" Elang akhirnya mengatakan uneg-uneg yang tertahan.     Elang sempat menganggap bahwa Theo akan mengutarakan kalimat ejekan yang lebih pedas. Tapi kenyataannya melenceng. Theo hanya diam, tak menanggapi celetukannya sama sekali.     "Kalo gitu saya bantuin motong ayam sama sayurnya aja, ya! Pak Yas nanti yang masak semuanya. Saya bener-bener pengen nyobain masakan Pak Yas."     Yas hanya mengangguk sekilas. Ia memasukkan potongan bawang pada wajan kecil yang sudah diberi minyak sayur. Dalam waktu singkat aroma bawang goreng segera menguar.     "Ya ampun, harum banget aroma masakannya Pak Yas!" puji Bu Alila lagi-lagi.     Yas menggeleng-geleng tak habis pikir. Bahkan ini baru menggoreng bawang. Bagaimana nanti kalau masakannya sudah jadi?     "Ngomong-ngomong kenapa lounge Bapak nggak digarap hari ini?"     Yas tertegun karena Bu Alila membahas hal itu lagi. "Tukangnya diliburkan untuk sementara waktu, Bu."     "Lhoh, emangnya kenapa?"     "Karena kami belum ada uang."     Bu Alila ber-oh ria sembari mengangguk mengerti. "Terus nanti misal lounge-nya sudah jadi, Pak Yas mau bikin apa buat menu utamanya?"     Yas kembali tertegun. Jangankan memikirkan menu utama, bahkan jadi atau tidak pembangunan lounge, masih dipertanyakan untuk sekarang ini.     "Pak Yas, kok diem?"     "Uhm ... sponge cake mungkin," jawab Yas sekenanya.     "Wah, kebetulan banget!"     "Kebetulan kenapa memangnya, Bu?"     "Saya dulu setelah SMA nggak langsung kuliah. Saya ikut kursus tata boga di bidang pembuatan dessert. Dan salah satu yang saya pelajari adalah membuat sponge cake. Jadi, nanti saya bisa ajarin Pak Yas, kalau mau."     Yas kemudian mengangguk sembari memberikan bonus berupa senyuman tipis pada Bu Alila. Jadilah wanita itu kegirangan setengah mati.     Selesai berjingkrak kegirangan, Bu Alila melanjutkan acaranya semula. Yaitu menonton Yas yang sedang memasak. Bu Alila tak pernah tahu bahwa ada orang yang terlihat begitu mempesona saat memasak. Ia bahkan nyaris tak berkedip sama sekali, saking terpesonanya.   ***       Untung Yas bisa menyelesaikan semua masakannya dalam waktu singkat. Jadi, Theo dan Elang tak perlu kejang-kejang mendengarkan segala gombalan yang diberikan Bu Alila pada Yas.     Seperti inikah perwujudan wanita masa kini?     Apakah Namira nanti juga akan jadi seperti itu?     "Capcay Cinta dan Ayam Goreng Kasmaran ala Pak Yas dan Bu Alila, sudah siap!" Bu Alila membawa dua nampan makanan yang baru saja dimasak oleh Yas.     Sekali lagi, dimasak oleh Yas. Bu Alila hanya berperan dalam memotong sayur dan ayam. Tapi ia percaya diri sekali mencantumkan namanya seperti itu.     Tidak apa-apa, deh! Hitung-hitung sebagai ganti membeli bahan-bahan.     "Bu, bisa nggak ngasih nama yang normal aja? Capcay Cinta? Ayam Goreng Kasmaran?" Elang mulai nyerocos lagi.     "Lhoh, kisah cinta saya dengan Pak Yas kan memang sedang kasmaran, Lang?"     "Kisah cinta apaan? Orang si Yas biasa aja gitu!"     "Kamu ini cerewet, kayak anak perawan!" balas Bu Alila.     Seketika Theo tertawa. Nyatanya tak hanya Theo yang menganggap Elang itu seperti anak perawan. Bahkan gebetannya pun sependapat.     Elang ingin sekali membalas ucapan Bu Alila, tapi ia takut dikatai anak perawan lagi. Meskipun cerewet, tapi ia adalah lelaki tulen yang manly.     Enak saja mengatai orang sembarangan. Elang pun hanya bisa menahan.     Begitu Yas bergabung bersama mereka di meja makan, Bu Alila segera mengutarakan rentetan gombalannya lagi. "Pak Yas tuh ternyata suka merendah, ya. Padahal Pak Yas jago masak gini, tapi bilangnya nggak bisa masak. Duh ... saya jadi makin cinta."     Yas tersenyum garing lagi seperti yang sudah-sudah.     "Bu, ini cuman Capcay dan Ayam Goreng, jangan lebay dong!" Elang kembali menyerang Bu Alila. Ia tidak tahan lagi.     "Ini mulut saya, terserah dong, saya mau ngomong apa!"     Elang semakin kesal dengan kelakuan-kelakuan Bu Alila. Dan ia sama sekali tak mendapat bantuan dari Theo.     Aneh sekali si Theo sore ini. Padahal biasanya mereka selalu kompak saat adu mulut dengan Tante Keke. Lalu kenapa Theo tidak mau membantunya beradu mulut dengan Bu Alila?     Tiba-tiba terdengar suara tangisan yang sangat keras. Namira pasti terbangun. Yas sudah hendak beranjak, tapi Bu Alila menghentikannya.     "Sudah-sudah, Pak Yas makan aja, biar saya yang ke atas."     Terang saja tiga orang lelaki di sini mendelik kaget.     "T-tapi, Bu ...."     "Nggak apa-apa, Pak Yas. Beneran! Hitung-hitung latihan, sebagai calon ibunya Nami." Bu Alila terkikik sebelum benar-benar pergi menjalankan niatnya.     Yas segera meneguk air putih di hadapannya. Hari ini makanan terasa sulit ditelan karena semua masalah yang sedang terjadi. Dan menjadi semakin sulit dengan segala kelakuan Bu Alila sore ini.     "Sabar ya, Yas!" ucap Elang sembari mengambil nasi lagi.     Dalam waktu sekejap, suara tangis Namira sudah berhenti. Entah apa yang dilakukan Bu Alila di atas sana. Yang jelas apapun yang dilakukannya, itu benar-benar menakjubkan. Bahkan Yas sendiri belum mampu mendiamkan anaknya dalam waktu sesingkat itu.     "Woah, gue akui aksinya kali ini emang keren. Kelakuan ajaibnya ada gunanya juga ternyata," puji Elang tulus. "Ngomong-ngomong ...." Elang menjeda perkataannya sejenak, pandangannya fokus pada Yas. "Lo nggak ada rencana buat nikah, Yas?"     "Uhuk ... uhuk ...." Yas langsung tersedak mendengar pertanyaan Elang.     Elang segera kelabakan mengambilkan Yas minum lagi. "Sorry-sorry, pertanyaan gue ngagetin banget, ya? Tapi gue serius nanya."     "Nggak tahu lah, Lang. Mas masih belum bisa mikir. Masalah yang sekarang aja belum ketemu solusinya."     "Iya gue ngerti. Tapi setidaknya kalo lo nikah, bakal ada yang bantuin lo ngurusin Nami, bakal ada yang bisa lo curhatin semua keluh kesah lo, pokoknya semua beban lo bakal lebih ringan gitu."     Yas terdiam mendengarkan kata-kata adiknya. Semuanya benar. Ia juga pernah memikirkan untuk menikah beberapa kali. Tapi pernikahan bukanlah sesuatu yang sederhana. Perlu komitmen yang kuat antara ia dan calon istrinya. Apalagi di sini posisinya ia sudah memiliki anak, dan dengan kondisi ekonomi yang tidak jelas.     Lagipula, sampai sekarang Yas masih belum bisa melupakan wanita itu--ibunya Namira.     "Gue udah selesai." Theo mendadak beranjak dari sana.     "Tumben lo makan dikit?" komentar Elang.     "Iya, kenapa hari ini kamu nggak selera makan?" lanjut Yas.     "Nggak apa-apa kok," jawab Theo singkat. Bukannya naik ke atas, Theo justru menuju ke pintu depan.     "Mau ke mana kamu?" tanya Yas lagi.     "Keluar bentar cari angin." Theo mempercepat langkahnya hingga ia benar-benar menghilang di balik pintu.     "Kamu tahu dia kenapa?" Yas kebingungan.     Elang mengangkat bahunya. "Nggak tahu gue. Tapi dari tadi dia emang aneh, sih."   ***       Tante Keke menenggelamkan dirinya di dalam selimut. Tubuhnya bergeser pelan mendekati suaminya. Ia berbaring miring menghadap punggung suaminya. Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di sepanjang punggung itu, berharap suaminya mau bicara lagi. Dan nyatanya berhasil. Tante Keke tersenyum penuh kemenangan.     "Emang Mommy nggak punya solusi lain?"     "Mommy udah mikir sampek pusing, dan itu solusi satu-satunya yang Mommy dapet. Emang Daddy punya solusi lain?"     Oom Junot memutar tubuhnya menghadap sang istri. Mereka sama-sama bergelung di dalam selimut.     Tante Keke menangkap siratan kebingungan di wajah Oom Junot. Ya, ia tahu kenapa suaminya bersikap seperti ini. Tapi sekali lagi, hanya ini solusi satu-satunya.     "Aku ngerti ini nggak adil dan nggak mudah buat kamu. Tapi ini demi mereka. Kasihan mereka, masalah yang satu belum selesai, udah muncul masalah lain. Kamu sayang sama mereka, kan?"     Oom Junot mencerna penjelasan istrinya dengan baik.     Dengan solusi ini memang akan mengorbankan perasaannya. Tapi benar apa yang dikatakan sang Istri, bahwa ini memanglah solusi satu-satunya.     Mungkin ia memang harus berkorban sedikit, demi keponakan-keponakannya.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD