Gencatan Senjata

1049 Words
    Theo mematikan kran wastafel. Sebelum pergi ia memastikan tak ada darah yang tersisa. Ia juga memperhatikan seragamnya dengan cermat, siapa tahu ada darah yang menetes di sana. Cermin itu cukup membantu ternyata.     Sial sekali, padahal ia tadi sudah rapi, malah mimisan lagi. Kenapa si Mimisan tidak tahu waktu sekali? Padahal sekarang sudah mepet jam masuk sekolah.     Theo keluar dari kamar mandi. Barulah ia mendengar bahwa ternyata handphone-nya berbunyi di atas ranjang. Telepon dari Tante Keke.     "Kenapa, Tan?"     "Lama banget angkatnya! Baru bangun, ya, kamu?"     "Astaghfirullah, suudzon muluk, sih! Tante pikir ini jam berapa? Enak aja baru bangun! Barusan dari kamar mandi aku, tuh."     Tante Keke tertawa di sana. "Habis makan apa kamu, kok boker-nya lama banget?"     Theo memutar bola matanya kesal, dalam pembicaraan yang bahkan belum berlangsung selama satu menit, ia sudah di-suudzon-i sebanyak dua kali. "Udah buruan ngomong ada apa? Udah telat ini!"     Tante Keke terkikik lagi. "Besok ke studionya Chandra, ya! Ada job."     "Oke."     "Tapi ...."     "Tapi kenapa, Tan?"     "Sebenernya Tante butuh dua model, Yo. Dari klien mintanya gitu. Kamu tolong bujuk Elang dong!"     "Ya elah, percuma, pasti dia nggak bakal mau, Tan."     "Coba dulu, deh! Ntar Tante juga bantu bujuk dia."     Theo terdiam beberapa saat. "Iya, deh."     Setelah sambungan diputus, Theo segera duduk di depan bupet. Ia membuka laci untuk mengambil tablet vitamin dan tambah darah. Theo hampir terjungkal saat seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar.     Tentu saja Theo kaget, karena ia tidak memberitahu siapapun perihal mimisan yang ia alami dan juga tablet-tablet yang ia konsumsi setiap hari. Kalau sampai ketahuan, kan, bisa gawat!     "Kalo mau masuk, ketok pintu dulu!" omelnya.     Elang malah tertawa. "Sejak kapan ada aturan macem itu di rumah ini?"     "Pokoknya habis ini lo nggak boleh gitu lagi!"     Elang menaikkan sebelah alis, heran dengan sikap Theo yang aneh. "Yaudah, buruan turun! Belom sarapan kita, nih! Mau berangkat jam berapa ntar?"     "Iya-iya, Bawel!"     Begitu Elang pergi, Theo segera mengambil kembali tablet-tablet yang tadi sempat terlempar. Ia segera menelan semuanya sebelum ada yang tiba-tiba masuk lagi ke sini.   ***       Saat Theo datang, Yas dan Elang sedang asyik ngobrol. Entah apa yang mereka bicarakan, Theo tak terlalu tertarik. Ia segera mengambil piring, dan akhirnya mereka bertiga mulai makan.     Yas menatap Theo lekat, sampai adiknya itu merasa terganggu.     "Lo kenapa, sih? Takut gue!" sindirnya.     "Mas perhatiin kamu kok kurusan," jujur Yas.     "Perasaan lo aja kali!"     Theo melirik Elang di sampingnya. Si Kakak Kembar tak berkomentar apapun. Tapi terlihat jelas bahwa Elang setuju dengan pernyataan Yas barusan. Dan sebenarnya dalam hati, Theo mengakuinya. Berat badannya memang turun.     "Kalo lagi ada pemotretan kamu makan nggak, sih?"     "Makan, lah."     "Mulai sekarang ditambahin porsi makannya! Kalo udah capek, istirahat!"     "Elah, mau ditambah seberapa? Ini piring gue udah nggak kelihatan gini!" Theo mengangkat piringnya yang penuh makanan.     Yas menggaruk tengkuknya. "Mas, tuh, heran. Kalian berdua makannya porsi kuli semua, tapi kok pada nggak ada perubahan di badan. Tetep kurus semua. Padahal Mas beneran ngasih makan kalian tiap hari. Takutnya orang-orang nyangka Mas nggak kasih kalian makan."     "Gue juga heran kok, Yas, sumpah," jawab Elang.     Theo hanya diam. Namun kemudian, ia teringat sesuatu. "Eh, Lang, tadi Tante Keke nelepon gue." Theo bimbang ingin menyampaikan hal ini pada Elang atau tidak, karena kemungkinan besar jawabannya adalah tidak. Tapi demi kemaslahatan umat, Theo memilih untuk bertanya. "Pemotretan besok butuh dua model, lo ...."     "Nggak!"     'Tuh, kan!'     "Gue belum selesai ngomong." Theo belum menyerah ternyata.     "Tapi gue udah nangkep arah pembicaraan lo."     'Skak mat!'     "Beneran nggak mau?" Theo masih berusaha membujuknya.     "Nggak. Gue emang lagi cari kerja part time, tapi kalo model ... no!"     "Kenapa, sih? Mau aja, lah!" Ujung-ujungnya Theo jadi memaksa.     "No! Big NO! Yas aja, tuh!"     Yas langsung tersedak makanannya sendiri. Kedua adik kembarnya dengan kompak menyodorkan air putih.     "Lo kagetan amat, sih!?"     "Iya bener, heran gue."     Yas meneguk habis kedua gelar air putih di hadapannya, karena tidak mau salah satu dari mereka merasa iri. Tapi ngomong-ngomong tentang pernyataan Elang tadi--pernyataan yang sampai membuatnya tersedak.     Ia tak menyangka bahwa usulan seperti itu akan muncul. Ia sudah merelakan profesi modelnya. Butuh waktu lama untuk merasa benar-benar rela. Ia tak yakin akan sanggup berkecimpung di dunia permodelan lagi. Semua berawal dari penyakitnya, operasi itu, dan bekas lukanya, yang telah menghancurkan karir yang sudah ia rintis dari bawah.     Jadi lebih tepatnya, Yas merelakan profesi itu, bukan karena tak mau melanjutkan atau memulai lagi, tapi lebih karena trauma. Ia tak siap menerima penolakan-penolakan lain, hanya karena sebab yang menurutnya sepele.     Lagipula dunia modeling akan membuat Yas selalu mengingatnya.     "M-Mas, sih, nggak masalah. Tapi gimana sama Tante Keke? Konsepnya juga belum tentu sesuai sama umur Mas sekarang. Dan lagi, waktunya jam berapa? Mas siang ngajar, malem ke pabrik." Alibi yang cukup bagus dari Yas.     "Nah, si Yas juga nggak bisa. Yang sabar, ya!" Bukannya membantu Elang malah begitu. Seandainya tak ada Yas, pasti Theo sudah memukulnya.     Tinggallah Theo yang berpikir keras sekarang. Kalau bukan Yas atau Elang, lalu siapa yang akan menjadi partner-nya untuk job besok? Aish, biarlah ini jadi urusan Tante Keke saja, lah. Kenapa jadi Theo yang repot?     "Yas, nambah, nih! Lo harus makan banyak, biar kuat menghadapi kenyataan nanti siang!" Elang mengambilkan satu centong nasi beserta lauk pauknya pada piring Yas.     Maksud Elang dengan menghadapi kenyataan nanti siang adalah sidang pertama masalah hutang Papa.     Theo mencebik, Elang selalu cari perhatian pada Yas akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti Theo tak peduli tentang sidang, lho, ya. Ia peduli, juga merasa gugup dan takut. Ia juga ingin memberi semangat pada Yas seperti apa yang dilakukan oleh Elang barusan. Tapi bukan begitu caranya. Karena menurut Theo, cara Elang itu terlalu ... iyuh!     Theo benar-benar tak suka. Karena ia sangat tahu dan mengerti, bahwa ada maksud tersembunyi di baliknya. Kalau peribahasanya sih, ada udang di balik bakwan.     Jadi, Elang sudah memulai gencatan senjatanya? Iya, gencatan senjata.     Elang sedang memulai aksinya untuk menjadi mak comblang antara Yas dan Bu Alila. Ia benar-benar berniat menjadikan Bu Alila sebagai calon istri Yas. Makanya ia bersikap sok manis begitu, agar si Sulung tak kuasa menolak, jika sewaktu-waktu Elang merancang sebuah kencan buta untuknya dan Bu Alila.     Asumsi Theo akhirnya terbukti akurat, kala Elang meliriknya dan tersenyum mengejek.     Licik sekali, kan, si Elang itu? Awas saja nanti!     Biarkan si Kakak Kembar merasa menang untuk sesaat. Ia hanya belum tahu saja, bahwa Theo sudah memiliki senjata yang lebih ampuh dan tentu saja ... lebih licik.   ***   TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD