Ketan Tobat

1354 Words
    "Malem itu Yas sama Oom langsung ke rumah untuk mencegah perbuatan Papa kalian. Tapi terlambat. Saat kami sampai sana, rumah kalian sudah ramai dengan orang-orang yang datang untuk mengurus jenazah Mas Riefan. Kami melihat semuanya dari luar. Benar-benar semuanya—termasuk kalian. Kalian pasti shock banget waktu itu, setelah menemukan Mas Riefan dalam keadaan ...." Junot sengaja tidak meneruskan kata-katanya.     "Yas pengin banget nyamperin kalian, tapi waktu itu dia masih belum berani. Dia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Papa kalian adalah kesalahannya lagi. Dia merasa nggak berhasil meyakinkan Papa kalian untuk menghentikan niatnya.     “Setelah ibu kandungnya, Mama kalian, dan juga ... Mas Riefan. Dia menyalahkan dirinya sendiri untuk itu semua. Keesokan harinya saat Papa kalian dimakamkan, Yas juga hadir. Dia lihat semua prosesinya dari jauh. Dia juga bangga dan salut sama kalian yang sama-sama berusaha menutupi penyebab meninggalnya Mas Riefan."     Junot mendengar isakan-isakan kecil. Lelaki itu mendelik. Apa Theo dan Elang menangis? Junot berusaha mengintip wajah keduanya. Agak sulit, karena mereka tengah menunduk dalam.     Tapi Junot yakin, mereka memang sedang menangis. Buktinya ada tetesan-tetesan air yang terjatuh. Entah itu air mata atau ingus, faktanya mereka memang menangis.     Junot segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju salah satu counter  di kafetaria ini.     "Punya tisu, Mbak?"     "Ada, Pak. Tapi tinggal tisu gulung, lainnya habis," jawab Mbak Counter, dengan wajah penuh penyesalan.     "Astaga! Ya udah, nggak apa-apa itu aja.” Junot pasrah. Lebih baik tisu gulung, daripada tidak ada sama sekali.     Junot segera memberikan tisu itu pada Theo dan Elang. Mereka bergantian mengambil, mengelap air mata, kemudian meletakkan helaian tisu di hidung mereka.     Seketika bunyi srooooot srooooot  terdengar nyaring. Beberapa pasang mata di cafeteria  segera menatap heran. Junot bergegas memberi senyum terindahnya pada orang-orang itu. Secara tersirat, ia juga memohon pada mereka untuk maklum.     Butuh sekitar lima belas menit, barulah Theo dan Elang bisa tenang. Junot hampir tak bisa menahan tawa begitu melihat wajah mereka yang basah dan sembab, tapi ia tahan sebisanya.     Seberapa pun liarnya, ternyata mereka tetaplah anak-anak. Mereka masih dua orang bayi besar yang sama seperti dulu, yang sensitif dan cengeng.     Dan yang paling penting, itu semua menandakan bahwa mereka masih punya hati. Mereka tak sepenuhnya berandal busuk.     "Makanya Yas, tuh, pengin banget wujudin keinginan terakhir Papa kalian." Oom Junot melanjutkan penjelasan bak pidatonya.     "Keinginan apa, Oom?"     "Papa kalian pengin bikin semacam bisnis rumahan, semacem rumah makan gitu, lah. Makanya Yas berusaha mempertahankan rumah kalian. Apa pun yang terjadi, rumah itu nggak akan dijual. Alhasil, mobil-mobil tersisalah yang digadaikan. Kalian selama ini juga pasti bertanya-tanya, ke mana perginya uang hasil gadaiin mobil, kan? Karena kalian nggak percaya Yas bilang itu buat tabungan. Betul apa betul?"     Theo dan Elang menunduk lagi karena pertanyaan Junot.     "Menurut Papa kalian, bisnis rumahan kecil risikonya. Setidaknya, dia nggak akan dimanfaatkan orang, seperti apa yang dilakukan oleh rekan-rekan bisnisnya selama ini. Di saat Papa kalian terpuruk, mereka bukannya membantu, malah menjatuhkannya sampai ke dasar.     “Mereka kemudian pergi setelah Papa kalian bangkrut. Sayangnya, Papa kalian urung mewujudkan keinginannya itu. Karena dia sama sekali belum berani ngomong ke kalian tentang kebangkrutannya. Makanya, sekarang Yas pengin mewujudkan mimpi itu bareng-bareng sama kalian."     Elang mengambil sehelai tisu lagi. "Habisnya si Yas nggak ngomong, sih."     "Hooh. Kita jadi nuduh macem-macem," tambah Theo.     "Ya gimana mau ngomong? Kalian aja nggak pernah bisa diajak ngobrol sama sekali. Setiap kali ketemu Yas, kerjaan kalian cuman berdebat dan ngata-ngatain dia. Iya, kan?" Junot kembali melihat raut penyesalan di wajah mereka. "Lagian Oom yakin kok, kalau sebenernya Yas udah berusaha ngomong masalah itu ke kalian. Coba diinget-inget, deh!"     Theo dan Elang memutar otak, mencoba mengingat beberapa waktu ke belakang. Saat Yas meminta mereka untuk mematuhi jadwal piket yang dibuat olehnya—hanya untuk bergantian menyapu dan mengepel rumah—tapi mereka tidak mau.     "Gaji Mas tuh cuman cukup buat biaya sekolah kalian, biaya makan, sama bayar listrik. Buat susunya Nami aja Mas harus kerja lagi di tempat Oom Junot."     "Terus duit hasil gadaiin mobil buat apa? Udah itu aja buat bayar pembantu! Daripada capek-capek bikin jadwal kayak gitu."     "Uangnya buat nyicil hutangnya Papa. Sisanya ditabung. Kan Mas juga udah bilang waktu itu ke kalian. Lagian Mas juga mau bi- ...."     Theo menyela. "Ck … omongan lo nggak ada yang bisa dipegang! Semakin sering lihat muka lo, apalagi sering denger omongan busuk lo, semakin bikin gue pengen muntah. Apa pun yang terjadi, gue ogah jalanin jadwal piket bego lo itu."     "Gue idem lagi." Elang mengacungkan tangan lagi.     Pasti saat itu Yas berniat untuk memberitahu mereka alasan yang sebenarnya, tapi seperti yang dikatakan oleh Junot, mereka tak pernah mau mendengarkan. Mereka terlalu disibukkan dengan rasa benci dan kecewa atas kepergian Yas dulu.     "Yas sama Oom udah merencanakan semuanya. Setidaknya uang hasil gadaiin mobil itu, ditambah hasil jual apartemen Yas, sementara bisa digunakan untuk menutup biaya hidup sehari-hari kalian semua. Buat bayar listrik, biaya makan, nyicil hutang, obatnya Yas, keperluan Namira, dan lain-lain.     “Seiring berjalannya waktu, keperluan sehari-hari kalian akan ditutup dengan gajinya Yas. Dan sisa uang di bank, bisa mulai digunakan untuk membeli hal-hal yang diperlukan untuk bisnis yang akan kalian jalankan bersama."     "Jadi, si Yas udah bener-bener merelakan profesi modelnya, Oom? Dia sama sekali nggak pengen lanjut lagi?"     Junot mengangguk. "Yas udah rela. Toh dia juga udah sakit hati karena banyak brand  yang menolak kerja sama, cuman karena bekas luka operasinya. Lagian, dia juga pengen wujudin cita-citanya jadi guru." Junot melihat jam analognya. Cukup terkejut dengan angka yang ditunjuk oleh jarum-jarum di sana.     "Udah jam segini. Kalian pulang aja sana, istirahat! Besok, kan, kalian harus sekolah, sekalian ngizinin Yas." Junot merogoh sakunya. "Nih, pakek mobil Oom!"     "Tapi, Oom ...." Mereka terlihat enggan pergi dari sini.     "Udah, Yas juga belum tentu bangun malem ini. Denger sendiri, kan, kata dokter tadi? Dia sengaja dikasih obat tidur, biar bisa istirahat total. Kalian nggak usah khawatir! Biar Oom yang jagain dia sekarang. Besok gantian kalian."     Theo dan Elang terlihat mematung, sebelum akhirnya mengangguk setuju dengan keputusan Junot. Mereka bergantian bersalaman, mencium tangan pamannya itu, sebelum benar-benar pulang.   ***       Terdengar bunyi berisik dari arah belakang rumah. Karena takut, Theo jadi mengendap-endap. Ini baru jam empat pagi, sedangkan di rumah hanya ada dirinya dan Elang. Si Elang tidak mungkin main-main di belakang jam segini. Apalagi di sini sangat gelap.     Bisa jadi suara berisik itu adalah kelakuan maling. Tapi bisa jadi juga itu bukan maling, melainkan ... hantu? Theo meraba tengkuknya. Ia jadi merinding.     "ARRGHHHHHHHHH!" Mereka berteriak bersamaan.     Tak terlalu lama intensitas teriakan keduanya. Karena teriakan itu segera terhenti, begitu tahu siapa sumber dari ketakutan yang sama-sama mereka rasakan.     "Astogeh, jantung gue udah mau copot!" Elang mengomel.     "Ngapain lo pagi-pagi buta di sini?" Theo emosi.     "Lo sendiri ngapain di sini? Biasanya juga masih ngiler di kasur lo!"     "Lo sendiri juga sama, Kakakku!" balas Theo. "Masih mending gue ngiler doang. Nah elo? Pakek ada ngoroknya segala!"     Elang langsung diam. Kata-kata adiknya benar-benar menohok. Jujur, Elang juga tidak suka—dan sangat terganggu—dengan kebiasaan tidurnya yang tidak elit. Ia ingin berhenti ngorok dan ngiler, tapi tidak tahu bagaimana caranya.     Ia sudah browsing, namun cara-cara di internet tak ada yang manjur. Tiap kali ada yang mengungkit-ungkit masalah tidurnya, hati dan sanubari Elang akan sangat tersakiti.     Elang memutar otak, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Sekarang jujur, lo mau ngapain ke sini?"     Theo seketika terkesiap. "G-gue ... gue ...." Theo terlihat bingung. "Gue mau ngambil sapu sama pel!" Theo akhirnya jujur. "Puas lo?"     Elang melotot. Rasa-rasanya, tak percaya dengan apa yang barusaja dikatakan oleh Theo.     "Ngapain lo melototin gue? Gue nggak tanggung jawab, ya, kalo bola mata lo sampek copot!" ancam Theo sembarangan.     "G-gue ... gue ...." Elang tergagap sama seperti Theo tadi. "Gue juga mau ambil pel sama sapu!" ungkapnya cepat.     Reaksi Theo, tak jauh-jauh dari Elang sebelumnya. Ia juga melotot tak percaya. Sadar bahwa tujuan mereka sama, mereka jadi tengsin  sendiri. Rasanya seperti barusaja tertangkap basah mencuri mangga tetangga.     "Lo mau nyapu, apa ngepel?" tawar Elang akhirnya.     "Uhm ... ngepel aja."     "Yaudah, berarti sekarang lo mandi! Biar gue nyapu dulu. Abis itu gantian gue mandi, dan giliran lo ngepel. Call?"     "Call."     Ketan telah berjanji pada diri mereka sendiri bahwa mereka akan mulai berubah. Mereka akan mulai hidup baik dengan menjalankan aturan-aturan dari Yas. Mulai detik ini, Ketan sudah bertaubat nasuha.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD