Emosi Elang

1005 Words
“Ke mana, sih, tuh anak? Pergi nggak pamit, HP juga nggak aktif!” Elang menggerutu melewati lorong menuju kelasnya. "Minggu depan aku ngadain pesta ulang tahun. Kamu dateng, ya!" Luna menyerahkan amplop kecil berwarna pink dengan motif Hello Kitty. "Gue nggak janji." Elang berlalu masuk kelas, tanpa menerima undangan Luna. "Ini kamu terima, dong! Ntar kamu lupa lagi!" Luna kembali menyerahkan undangannya pada Elang. "Lun, udah mau bel. Lo nggak ada niat balik ke kelas?" Elang sarkastik. Luna malah terkikik. "Ini kamu terima dulu. Baru ntar aku balik ke kelas." "Sorry, tadi gue salah ngomong. Seharusnya bukan gue nggak janji, tapi gue nggak bakal dateng." Senyum Luna seketika hilang. Selama ini ia selalu kebal dengan segala penolakan Elang. Tapi nyatanya setelah ditolak secara terang-terangan, rasanya berbeda. "T-tapi kenapa, Lang?" "Apa harus gue pertegas?" Elang menatap Luna tajam. Gadis itu tak menjawab pertanyaannya. Aturannya masih sama, kan? Bahwa diam berarti setuju. Elang pun melanjutkan. "Karena kita nggak ada hubungan apa-apa. Hubungan apa emangnya? Temen aja bukan. Masalah perasaan lo ke gue, itu urusan lo. Nggak ada hubungannya sama gue sama sekali. Gue harap, otak jongkok lo itu, sekarang bisa ngerti." *** "Ya sudah, gitu aja. Maaf hari ini saya nggak bisa ngajar." "Iya, Pak." Hanya itu jawaban ketua kelas. Sayang, gema dari jawabannya tak sesingkat itu. Siswi-siswi saling menyeru mencegah Yas untuk tidak absen. Aneh sekali mereka, biasanya tiap jam kosong, mereka girang setengah mati. Eh, sekarang malah sedih. Belum selesai deretan duka cita ter ucap, Yas kembali mencuri perhatian. Jika saja Yas bicara pada murid lain, mungkin efek sampingnya tak akan seheboh ini. Tapi ia bicara pada Elang. Elang si murid super cuek—sekaligus raja tega—yang tadi pagi baru saja mematahkan hati anak gadis orang. Murid-murid mulai berspekulasi. Meskipun apa yang Yas dan Elang bicarakan tak terdengar, tapi dari cara mereka berinteraksi, sepertinya dua orang itu cukup dekat. "Nanti kalau Mas belum pulang, makan malemnya manasin sayur yang di kulkas aja." "Iya," jawab Elang singkat. Yas tersenyum lega karena Elang langsung setuju dengan ucapannya. Sikap Elang memang mulai membaik padanya akhir-akhir ini. Elang menatap kepergian Yas sampai kakaknya itu tak terlihat lagi. Meskipun tidak bilang secara gamblang, tapi Elang tahu Yas izin untuk mencari Theo. Elang mengakui, belakangan ia tak lagi terlalu menentang Yas. Mungkin ia sudah mulai nyaman dengan keberadaannya—meskipun rasa kesal masih tetap ada. Dan harus diakui, bahwa setelah Yas datang, hidupnya menjadi jauh lebih baik. Setidaknya ia tak harus memusingkan masalah uang. Seakan kehebohan di kelas ini tak ada akhirnya. Kala ada siswi dari IPA-2 yang tergopoh-gopoh mendatangi Elang. Elang tahu gadis itu adalah sahabat Luna, namanya Lyla. "Lang, lo harus tolongin Luna, Lang!" Napas gadis itu tersengal. "Emang dia kenapa?" "Luna dia ... dia mau bunuh diri!" *** Elang berlari secepat yang ia bisa. Gerombolan murid lain membuntut. Sial sekali sekolah ini tidak punya lift. Sehingga mereka harus berlari, terengah-engah menuju ke rooftop yang ada di lantai empat. Napas Elang tak beraturan ketika sampai. Matanya menelisik ke setiap sudut. Lengang. Tak ada siapa pun. "Lang, di sini!" Elang mengikuti arah suara itu. Ia akhirnya melihat seseorang. Lyla yang tadi mendatanginya, tengah berlutut di samping sosok yang tergeletak. Elang melangkah pelan. Namun belum juga sampai, Elang justru berhenti, tak berani mendekat lagi. Elang mematung. Jantungnya berdetak sangat cepat. Semua orang terdiam, tak ada yang berani mendekat. Hening. Hanya terdengar isak tangis Lyla. Ada botol dengan pil putih berserakan di lantai. Luna tak sadarkan diri, nampak sangat pucat, dengan buih putih yang mengalir dari sudut bibirnya. Murid-murid mulai berani mendekat. Mereka mengerumuni Luna. Tapi tidak dengan Elang. Ia takut. Sangat takut. "Lang, ini semua salah lo!" seru salah satu dari mereka. Semua pasang mata segera tertuju pada Elang berkat seruan itu. Sorot mata mereka melucuti Elang, menghakiminya. Kedua kaki Elang seakan kehilangan kekuatan, hingga gagal menopang tubuhnya. Elang jatuh bersimpuh. Napasnya tercekat dan sesak. Air matanya mengalir begitu saja tanpa kontrol. Mereka semua bingung kenapa Elang seperti itu. Elang juga sangat ketakutan. Namun rasa benci mereka pada Elang jauh lebih besar. Gara-gara Elang, Luna sampai memgambil jalan pintas. Jadi mereka pikir, Elang hanya merasa bersalah karena sudah membuat Luna celaka. “Apa kurangnya Luna, sih, Lang? Dia cantik, baik, pinter, berkelas, dan cinta banget sama lo!” Penghakiman melalui lisan pun dimulai. “Iya, Lang. Apa salahnya, sih, nerima cintanya? Kalian bisa berhubungan baik kok meskipun lo nggak cinta sama dia!” “Tapi lo selalu nolak dia tanpa asalan yang jelas.” “Dan pagi tadi yang paling parah. Lo kasar banget. Gue aja sampai sakit hati dengernya!” “Pasti Luna udah nggak tahan sama semua sikap buruk lo selama ini!” Murid-murid itu terus memberondong Elang dengan kalimat bernada tinggi serta kasar. *** Di luar jangkauan penglihatan Elang, Lyla tengah mengguncangkan tubuh Luna. "Bangun lo! Si Elang nangis, tuh." Luna segera membuka matanya. "Nangis?" Gadis itu kemudian bangkit dari pembaringannya. Semua orang segera riuh. Mereka tak percaya … Luna hanya pura-pura? Padahal baru saja mereka membela Luna habis-habisan dan menyalahkan Elang. Tapi sekarang mereka tahu … Luna sama busuknya dengan Elang. "Gila, ya, lo!" Mereka satu per satu mulai menghakimi Luna. “Gue lari ke sini sampai ngos-ngosan demi pastiin keadaan lo. Lo ternyata cuman akting?” “Mana total banget pakek bawa obat sama bikin busa di mulut.” “Dasar gila! Wajar si Elang nolak lo! Elang geram karena sudah dibohongi habis-habisan. Elang seketika mendapatkan kekuatannya kembali. Ia segera berdiri. Tatapannya pada Luna penuh amarah dan kebencian. "Lang!" Luna berusaha mencegah kepergian Elang. Luna berlari meraih lengan cowok itu. Namun Elang segera menepis tangan Luna. "Lang, maafin aku." Amarah Elang sudah memuncak. Tapi ia berusaha menahannya. Ia tak ingin sampai berbuat nekat. "So, you think it's funny?" "Maafin aku. Aku nggak bermaksud bohongin kamu. Aku cuman pengen kamu nerima undanganku. Aku cuman pengin buktiin kalau kamu nggak sepenuhnya cuek sama aku." Luna menjelaskannya dalam satu tarikan napas. Ia kemudian tersenyum. "Dan semua itu terbukti sekarang. Nyatanya kamu nggak sepenuhnya cuek sama aku, kan? Kamu bahkan nangis tadi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD