Takut Suamimu

1938 Words
    Seorang lelaki berperawakan tinggi tengah duduk menghadap jendela ruang kerjanya. Ruangan ini biasanya gelap karena jendela itu jarang dibuka, meninggalkan sisa-sisa aroma kelembaban yang kuat. Lelaki itu menghisap cerutunya. Tatapan matanya setajam belati, rahangnya yang tegas memperkuat kesan antagonis di wajahnya.     Empat orang bodyguard berseragam serba hitam berdiri di sisi kiri dan kanan mejanya.     Di usianya yang sudah berumur, Zidan termasuk lelaki yang sangat memperhatikan penampilan. Selera berpakaian yang bagus, ditambah tubuh yang proporsional, menjadikannya terlihat seperti super model.     Namun sayang, Zidan tidaklah sebaik penampilannya.     Ia segera membalik kursinya ketika mendengar suara derap langkah. Seseorang baru saja memasuki ruangannya. Zidan tersenyum miring mengetahui itu adalah si Anak Baru.     "Gimana?"     "M-mereka ...." Anak baru itu terlihat ketakutan. "M-mereka akan membawa kasus ini ke jalur hukum."     "Jodi yang jadi pengacara mereka?"     "I-iya, Tuan."     Zidan mempertahankan senyumannya. Ia berdiri mendekati si Anak Baru. Zidan bergeming beberapa saat, sebelum akhirnya ia melayangkan pukulan ke wajah anak itu. Anak itu seketika tersungkur. Darah keluar dari sudut bibirnya.     Tanpa rasa iba, Zidan kembali memukul anak itu. Tanpa ampun, ia melayangkan pukulannya bertubi-tubi. Kini wajah anak itu sudah dipenuhi dengan darah.     Tapi apa salahnya? Kenapa ia dipukuli? Bukankah ia sudah melaksanakan tugasnya dengan baik?     Ya, anak itu memang tak bersalah. Ia hanyalah seorang korban. Korban dari emosi tuannya. Zidan memang orang yang seperti itu. Ia jarang terlihat marah. Ia selalu tersenyum. Ia ramah pada orang-orang di luar sana, termasuk rekan bisnis dan keluarganya. Tapi inilah Zidan yang sebenarnya.   ***       Alunan lagu Secondhand Serenade di handphone Theo mendadak berhenti. Theo kaget tentu saja. Padahal ia sedang menghayati, meresapi, dan menjiwainya.     Rupanya ini adalah perbuatan anak itu. Dari mana datangnya? Tiba-tiba ada di sini, seenaknya menghentikan playlist Theo.     "Duh, muka lo jangan ditekuk gitu! Nambah jelek lo!" Chico tertawa sambil menunjuk-nunjuk wajah Theo.     "Kenapa lo pause lagunya?"     "Elah, gitu doang ngambek!" Chico mengambil handphone-nya sendiri dari saku. "Emang lo aja yang bisa curhat lewat lagu? Gue juga bisa kali!"     Tak lama kemudian terdengar lagu yang nggak banget di telinga Theo. Tapi ya wajar, sih, kalau Chico yang suka. Seleranya kan memang begitu.     Inginku sms-an, wedi karo bojomu (inginku sms-an, takut pada suamimu)     Pengen telpon-telponan, wedi karo bojomu (ingin teleponan, takut pada suamimu)     Pengenku ngomong sayang, wedi karo bojomu (inginku bilang sayang, takut pada suamimu)     Pengenku ketemuan, wedi karo bojomu (inginku ketemuan, takut pada suamimu)     Pengen kangen-kangenan wedi karo bojomu (ingin kangen-kangenan, akut pada suamimu)     Pengenku ngomong sayang, wedi karo bojomu (inginku bilang sayang, takut pada suamimu)     Sakjane kangen iki ra keno di lereni (sebenarnya rindu ini tak bisa dihentikan)     Nanging aku wedi, wedi karo bojomu (tapi aku takut, takut pada suamimu)     Wedi karo bojomu, wedi karo bojomu (takut pada suamimu, takut pada suamimu)       Sebelum lagu itu habis dan semakin merusak telinganya, Theo segera meraih handphone Chico dari tangan pemiliknya, dan melemparkannya ke rumput lapangan, tak peduli jika di sana ada banyak tahi kadal.     "Woy, woy! Astaghfirullah, HP satu-satunya!" Chico berlari untuk mengambil handphone-nya kembali.     Bukannya marah, Chico datang lagi dengan cengengesan. Sementara Handphone-nya sudah aman di dalam saku.     "Ngapain lo senyum-senyum m***m gitu? Sorry, gue nggak doyan! Hoek, cuh!" Theo berlagak ingin muntah.     "Gue tahu, lo suka sama Bu Alila, kan?"     Satu detik, dua detik, tiga detik.     Theo berdiri dari peraduannya dan segera membungkam mulut Chico. Bagaimana bisa ia mengatakan sebuah rahasia besar dengan suara sekeras itu? Bagaimana jika ada yang dengar? Dan bagaimana Chico bisa tahu?     Chico meronta-ronta minta dilepaskan. Theo sama sekali tak berniat melepaskannya. Sampai Chico menggigit telapak tangannya.     Sialan! Sakit sekali. Seakan-akan kulit tangannya sudah mau copot. Tapi sebenarnya Theo lebih takut kalau ia sampai rabies sih.     "Nggak perlu nutup mulut gue kali, Sob! Haduh, tangan lo uuuuaaaasiiinnnn!" Chico melet-melet, berusaha menghilangkan sisa-sisa asin di mulutnya. "Lo pasti bertanya-tanya kan, kenapa gue bisa tahu perihal perasaan lo pada Bu Alila?"     Theo menatap sengit, Chico mengatakannya sekali lagi dengan suara yang masih cukup keras. Ingin sekali Theo membungkamnya lagi. Tapi ia juga penasaran bagaimana Chico bisa tahu?     "Gini-gini gue tuh perhatian sama temen, Yo. Gue sering lihat lo mager sambil liatin Bu Alila yang lagi jalan. Kadang gue juga lihat iler lo hampir netes."     Theo menempeleng kepala Chico.     "Aduh!" Chico mengusap-usap kepalanya. "Bercanda kali! Tapi emang bener, kan, kalo lo suka sama Bu Alila?"     "Y-ya emang bener! Tapi ngomongnya jangan keras-keras dong!"     Chico menutup mulutnya dengan telapak tangan, menyadari kesalahannya. "Tapi tenang, Yo, lo nggak sendiri."     "Maksud lo?"     "Gue nyetel lagu tadi, bukan tanpa alasan, ini semua karena ...." Chico kelihatan seperti mau menangis. "Pait rasanya, Yo! Pait!"     Theo meringis melihat wajah mewek Chico, antara kasihan sekaligus jijik.     "Lo masih mending, Bu Alila belum nikah. Nah gue? Gebetan gue udah nikah, sekarang malah udah punya anak!"     Theo mendelik. Jadi, Chico juga suka pada wanita yang lebih tua? Jangan bilang kalau ia juga jatuh cinta pada salah satu guru di sini!     "Emang lo suka sama siapa?"     "Dia bagaikan mentari di siang hari, bagaikan oase di padang pasir. Senyuman indahnya menggetarkan hatiku, menggemparkan jiwaku, membuat diriku merasakan sengatan listrik ribuan volt. Tiap kali melihatnya, banyak kupu-kupu berterbangan dalam perut, sensasi yang geli, namun menyenangkan. Saat dia ...."     "Weis, weis ... stop! Langsung ngomong lo suka sama siapa?" Theo sudah tidak tahan lagi mendengarkan ocehan Chico. Mau sampai kapan anak ini menjadi manusia ribet, yang selalu membuat penjelasan rumit dan ruwet, padahal to the point saja bisa.     "Bu Yulia."     Theo seketika terdiam. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kini ia bisa mengerti kenapa Chico memutar lagu tidak jelas seperti tadi. Ternyata itu alasannya. Ia ingin mendekati Bu Yulia, tapi takut pada suaminya. Kasihan sekali. Jauh lebih miris daripada kisah cintanya.     Theo jadi berpikir, apakah ia harus membuat sebuah grup bersama Chico? Grupnya akan dinamai Oedipus Complex Squad, sesuai dengan sindrom yang mereka alami. Dan mereka akan mencari anggota sebanyak-banyaknya, hanya untuk sekedar sharing pengalaman masing-masing.     "Ya sabar aja, deh!" Itulah yang akhirnya Theo ucapkan.     "Sebagai anak IPS, kita emang nggak pernah diajar Bu Yulia lagi semenjak kelas sepuluh. Saat kelas sepuluh dulu kita sekelas ya, Yo. Dan beruntung banget Bu Yulia yang ngajar Matematika. Saat itulah, benih-benih cinta mulai tumbuh.     "Gue suka saat Bu Yulia nempeleng kepala gue gara-gara nggak ngerjain PR, gue suka saat Bu Yulia manggil gue kebo gara-gara ketiduran pas pelajaran, gue suka saat Bu Yulia ngomel panjang karena gue terlambat. Gue suka banget, Yo. Suka banget!     "Hingga pas kita kelas sebelas, ada kabar Bu Yulia mau nikah. Gue sakit hati banget, Yo. Gue nangis sepanjang hari. Gue dateng ke pernikahannya, tapi gue nggak berani masuk. Gue cuman berdiri di depan, sambil makan pisang yang dicantolin di depan tenda resepsi.     "Dan saat Bu Yulia hamil muda, gue hobi ngikutin dia kemana-mana. Gue bawain semua barang-barangnya yang berat. Biarpun bayinya bukan anak gue, tapi gue merasa ikut bertanggung jawab, gue anggap bayi itu sebagai anak gue sendiri. Pas Bu Yulia hamil tua, perutnya gede banget, segini. Tapi dia masih kelihatan cantik. Pengen banget gue anter jemput dia setiap hari. Ke mana emang suaminya? Tega amat udah hamilin, eh, malah tiap hari dibiarin ke sekolah sendiri naik matic!"     "Suaminya juga kerja kali! Kerjanya kan di BI, berlawanan arah sama sekolah ini!" Theo menyela.     "Iya juga, sih! Tapi, kan, tetep aja. Gue pengen lakuin yang terbaik buat Bu Yulia."     Theo menepuk-nepuk pundak Chico. Kasihan juga lama-lama.     "Tapi, Yo ...." Chico menaikkan kaca matanya yang melorot. "Gue boleh ngomong sesuatu nggak?"     "Apaan?"     "Kisah cinta lo sama Bu Alila itu, anti-mainstream banget!"     "Maksud lo?"     "Biasanya kan ada yang kena friendzone, fanzone, atau zone-zone lain yang nggak ngenakin. Nah lo, malah brotherzone. Saingan sama kakak sendiri. HAHAHAHA!" Chico menunjuk-nunjuk wajah Theo lagi, sambil tertawa sekeras itu pula.     Terang saja Theo langsung naik pitam. Ia padahal sudah berbaik hati mendengarkan curhat panjang Chico, ia juga menenangkan Chico yang baper, eh, malah Chico menertawainya seperti ini. Sebel!     "Tapi gue saranin buat jangan nyerah, Yo! Bu Alila, tuh, sebenarnya nggak lihat umur dalam memilih pasangan. Yang penting dia nyaman."     Theo terheran-heran dengan pernyataan Chico.     "Meskipun sekarang hatinya udah tertambat pada Pak Yas, tapi nggak menutup kemungkinan kalau suatu saat hatinya akan terbuka, atau justru berpaling pada lo. Percaya, deh, sama gue!"     Theo semakin terheran-heran. Dari mana Chico tahu itu semua?     "Lo pasti heran, kan, kenapa gue bisa tahu sebanyak itu tentang Bu Alila?"     Theo segera mengangguk, sedangkan Chico tersenyum penuh kebanggan. Ia meng-kode Theo untuk mendekat padanya, dan Chico mulai membisikkan sesuatu di telinga Theo.     "HA?" Hanya itu reaksi Theo.     Chico mengangguk-angguk, meyakinkan Theo bahwa pernyataannya tadi memang benar, fakta, akurat dan tidak bisa diragukan adanya. Chico pun segera pergi, meninggalkan Theo sendiri, dengan segenap shocking experience dalam taraf ekstrem.   ***       Emosinya yang tertahan, ia lampiaskan pada bawahan-bawahannya. Terlebih pada anak baru seperti ini.     Orang-orang di sana hanya diam dan melihat. Bukannya tidak kasihan, mereka hanya berusaha melindungi diri sendiri. Jika mereka menghentikan aksi Zidan, bisa jadi merekalah yang akan menjadi korban selanjutnya.     Anak itu sudah pingsan saat Zidan berhenti memukulinya. Zidan tersenyum, meninggalkannya tergolek tak berdaya. Saat sudah berhenti seperti ini, barulah para bodyguard bergerak menolong si korban, dan membawanya ke ER.     Sekedar informasi, ER adalah sebuah tempat khusus di dalam mansion ini. singkatan dari Emergency Room, seperti UGD di rumah sakit, namun ini adalah milik pribadi, lebih tepatnya milik Zidan. Ia sengaja membangun ER untuk hal-hal seperti ini. Saat ia kalap memukuli mereka.     Tidak, bukan karena rasa peduli. Melainkan hanya untuk membuat dirinya sendiri aman. Jika anak buah yang terluka dibawa ke rumah sakit atau klinik, orang-orang lambat laun akan curiga dan mengetahui sikap Zidan yang suka berbuat kekerasan. Itu akan merusak image-nya. Zidan tak mau itu terjadi.     Dan lagi, tidak banyak orang yang mau menjadi anak buahnya. Saat mereka mendaftar, mereka akan dilatih sedemikian rupa. Banyak di antaranya yang memilih menyerah di tengah jalan. Mereka akan disumpah untuk tidak menyebarkan apapun ke dunia luar. Jika sampai rahasia sekecil apapun tersebar, Zidan tak akan ragu untuk membunuh mereka, berserta orang-orang yang sudah mengetahui rahasianya.     Hal itu sudah terbukti beberapa waktu lalu. Saat Zidan menghabisi seorang calon anak buah beserta semua anggota keluarganya.     Hanya beberapa orang saja yang sanggup untuk melanjutkan pelatihan, sampai mereka lolos seleksi, dan resmi menjadi anak buah Zidan yang baru. Pastinya semua terpaksa karena keadaan.     Jadi dengan jumlah anak buah yang tak terlalu banyak, Zidan tak akan membiarkan mereka mati karena ia pukuli. Tentu Zidan sendiri yang akan rugi nantinya.     "Sekali-sekali belajar mengendalikan diri!" seru seseorang yang baru saja masuk.     Tanpa melihat wajahnya pun, Zidan sudah tahu itu siapa. Wanita atau lebih tepatnya gadis yang selama beberapa tahun ini selalu menemaninya di sini. Umur gadis itu masih 20 tahun, separuh usia Zidan saat ini. Ia bukan istri Zidan. Istrinya tak tahu apapun di rumah mereka sana.     "Terus buat apa ER dibangun?" Zidan justru membubuhi sarkasme dalam pertanyaannya, tak menghiraukan sama sekali nasihat si lawan bicara.     "Bersyukur karena kamu bisa rekrut anak baru lagi. Dion itu hanya penakut, tapi dia cukup pintar. Gimana kalo nanti dia punya rencana buat hancurin kamu?"     Zidan hanya tertawa mendengarnya. Oh, jadi nama anak baru itu adalah Dion. Well, terserah wanitanya bicara apa. Zidan tidak peduli. Yang penting wanita itu memuaskannya di ranjang.     "Salah satu dari mereka adalah ...." Wulandari tidak melanjutkan kata-katanya, memilih menggantinya dengan gagasan lain. "Di tubuh kalian mengalir darah yang sama, kamu yakin untuk melanjutkan obsesi gila itu?"     Zidan tahu bahwa Wulandari sudah mengalihkan topik pembicaraan. Dan Zidan tak pernah suka tiap kali wanita itu membahas hal ini lagi.     "Tapi darah Ifan juga mengalir di tubuhnya. Apapun yang terjadi, semua keturunan Ifan harus hancur. Mereka semua harus mati. Bila tidak mati, minimal mereka akan menghabiskan hidup di rumah sakit jiwa."     "Jangan pernah melakukan apapun yang akan membuat kamu menyesal!"     "Sudah berapa ratus kali kamu membahas hal ini? Dan jawaban aku nggak bakal berubah, aku nggak akan pernah menyesal."   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD