Theo Sakit

2293 Words
    "Jadi semalem kamu nggak makan?" Yas membawa nasi goreng yang barusaja dibuatnya ke atas meja.     "Ya gitu, deh," jawab Theo sekenanya.     "Padahal udah gue kasih tahu tinggal manasin!" Elang membela diri.     "Rencananya, gue mau makan, orang gue kelaperan," terang Theo. "Tapi gue mau merem dulu bentar aja, eh, kebablasan!" Theo menjelaskan kronologinya.     "Jangan dibiasain gitu! Makan, tuh, yang teratur!" omel Yas.     Theo hanya mengangguk-angguk, sembari mengambil nasi goreng banyak sekali. Sebagai balas dendam karena melewatkan makan malam.     "Tadi pagi gue baru lihat, ada missed call dari Oom Junot banyak banget." Elang membuka topik pembicaraan lain.     Theo berdecak. "Gara-gara lo nggak angkat telepon, tuh! Oom Junot jadi nelepon ke gue." Theo menatap Elang sengit.     "Gue, kan, lagi konsentrasi nugas. Dimaklumin, dong!" Elang membela diri lagi.     Yas mencoba menengahi. "Emang kenapa Oom Junot telepon?"     "Itu ... hari Minggu gue sama Elang dimintain tolong buat jemput temennya ke Surabaya."     "Anjiiir, gue juga?" Sama halnya dengan Theo, Elang enggan menjalankan permintaan tolong ini.     Tapi lagi-lagi karena ini permintaan Oom Junot, ia tak kuasa menolak. Hanya bisa menahan. Karena Oom Junot sudah terlalu baik pada mereka. Mereka tak sejahat itu, dengan membalas air s**u dengan air tuba.     "Yaudah, lah, sekalian refreshing. Udah lama kalian nggak jalan-jalan, kan?" Yas mengambil sisi positif di balik hal-hal yang dikonotasikan negatif oleh si Kembar.     Untungnya Theo dan Elang tidak protes lagi. Mereka asyik mengunyah sarapan masing-masing.   ***       "Berangkat lo supirin dulu, ya! Ntar pulangnya gue." Elang melemparkan kunci mobil Oom Junot yang akan mereka gunakan ke Surabaya.     "Lo, tuh, nggak peka banget! Gue barusan pulang, udah disuruh-suruh aja." Theo tidak mau menerima kunci mobil yang dilemparkan Elang.     Kasihan sekali, kuncinya terjatuh dan teronggok di rumput. Theo kesal, padahal ia baru pulang pemotretan. Tapi lagi-lagi kakaknya ini benar-benar tidak peka.     "Ya udah, jadi berangkatnya gue, ntar pulangnya lo." Elang memungut kunci itu kembali.     Theo ingin protes lagi sebenarnya. Tapi ia malas. "Terserah lo aja."     Kali ini saja ia ingin Elang peka. Ia ingin Elang mengerti kalau ia sedang butuh istirahat. Singkatnya, ia sebenarnya ingin Elang saja yang menyetir, baik perjalanan pergi atau pulang nanti.     Tapi sepertinya memang percuma berharap terlalu banyak pada Elang.     Katanya setiap orang yang dilahirkan kembar memiliki kontak batin yang kuat, karena mereka dihubungkan oleh sesuatu bernama telepati.     Tapi sepertinya untuk kasus Theo dan Elang ... tidak sama sekali. Bisa jadi karena mereka kembar fraternal alias tidak identik.     "Yas, berangkat dulu!" seru Elang.     Theo menunggu dalam diam di mobil, ia terlihat malas melakukan apapun.     Yas berlari dari dalam rumah. Seperti biasa hari libur begini ia sibuk memanjakan anaknya yang sudah mirip tahu bulat, semakin hari semakin menggendut, membulat, dan melebar.     "Hati-hati, jangan ngebut! Perjalanan jauh, lho. Kalo capek, ya istirahat dulu." Yas menyampaikan rentetan pesan-pesannya.     "Iya, Mamahhh!" jawab Elang. "Bye, Namindut!" Elang melambai-lambai dari balik jendela mobil.     Meskipun masih malas, Theo sepertinya tak bisa menolak pesona bulat-bulat gemes keponakannya. Ia ikut melambaikan tangannya pada Namira.     Yas terlihat menggerakkan lengan Namira untuk melambai balik pada kedua oom-nya.   ***       Sudah dua jam mereka menungggu di bandara. Tapi orang itu belum kelihatan batang hidungnya. Ini semua karena penerbangan dari Jakarta delay. Menyebalkan sekali. Padahal itu hanya penerbangan dalam negeri.     Si Kembar kebosanan setengah mati. Theo bahkan beberapa kali menguap. Ia benar-benar ingin segera pulang dan tidur selama mungkin.     Nyatanya dalam perjalanan berangkat tadi, Theo sama sekali tidak bisa tidur. Karena Elang butuh teman bicara agar tidak mengantuk. Kalau si Supir mengantuk kan bisa fatal akibatnya.     "Berapa lama lagi, sih?" Elang mulai protes.     "Lo tanya gue, gue tanya siapa?" Theo malah balik bertanya.     Mereka benar-benar sudah bosan. Handphone yang sedari tadi mereka mainkan tak lagi menarik. Padahal biasanya benda itulah yang paling ampuh untuk mengusir kebosanan.     "Ngomong-ngomong siapa tadi nama temennya Oom Junot?" Elang mengambil sebuah kertas dan spidol dari tasnya.     "Uhm ... Jo ... Jo ... Jodi!?" celetuk Theo.     Elang menganguk-angguk. Ia kemudian menuliskan nama Jodi dalam huruf kapital yang sengaja dibuat besar-besar agar kelihatan.     "Buat apaan, sih?"     "Ini biar orangnya tahu kalo kita yang jemput dia, Bego!"     Ingin sekali Theo menempeleng kepala Elang sekarang juga. Ia tadi bertanya baik-baik, tapi Elang menjawabnya dengan nada tinggi. Sudah begitu juga mengatainya bego. Siapa yang tidak kesal?     Sebuah pemberitahuan muncul di layar, bahwa penerbangan dari Jakarta baru saja landing. Mereka pun segera mengemasi barang masing-masing.     Theo dan Elang berdiri di antara kerumunan penjemput lain. Elang senantiasa membawa kertas hasil kreasinya dengan nama Jodi. Supaya empunya nama segera menemukan mereka.     "Theo dan Elang, bukan?" tanya sebuah suara.     Mereka segera menoleh, mengikuti suara si Penanya yang datang dari arah samping.     Seorang lelaki—yang sama tingginya dengan Theo—menghampiri mereka. Masih muda, seumuran dengan Yas dan Tante Keke. Orang itu memiliki kulit yang eksotis. Kesan maskulin menguar dengan bebasnya. Ia tersenyum lebar sembari merapikan rambutnya yang tersibak.     "Om Jodi?" Elang memastikan.     "Iya, saya Jodi. Nggak nyangka saya akhirnya bisa kembali ke sini, dan bakal ketemu sama Junot dan Kejora lagi."     Theo dan Elang saling berpandangan. Merasa aneh karena selama ini jarang ada orang yang memanggil Tante Keke dengan nama aslinya—Kejora.     Mereka bertiga kemudian saling berjabat tangan sebagai salam perkenalan. Orang ini sepertinya cukup ramah, dan perlu dicatat bahwa ia cukup banyak bicara. Sedari tadi ia bertanya ini itu pada Theo dan Elang, sampai mereka lelah menjawab.     Untung Jodi orangnya peka. Ia tahu bahwa Theo ataupun Elang sudah lapar luar biasa karena terlalu lama menunggu. Makanya sebelum perjalanan kembali ke Kediri, Jodi mengajak mereka makan dulu di Food Hall Juanda.   ***       Senin, oh, Senin!     Rata-rata manusia tidak menyukai hari Senin. Tidak perlulah dijelaskan alasannya. Karena semua pernah merasakan bagaimana menjengkelkannya hari Senin itu.     Termasuk para penghuni rumah ini. Sudah jam setengah tujuh, tapi mereka masih belum memulai sarapan. Baru ada Elang yang duduk manis di meja makan. Yas juga barusaja selesai membuat sarapan ala kadarnya, yang penting perut terisi.     "Theo mana?"     "Udah gue panggil tadi. Bentar katanya." Elang menunjuk Theo yang sedang menuju ke mari."Nah, itu orangnya!"     Tak seperti biasanya, hari ini Theo terlihat kusut. Ia sepertinya malas berdandan. Bahkan mungkin rambutnya itu tidak disisir.     "Kenapa kamu?" tanya Yas segera.     "Nggak enak badan." Theo menjawab apa adanya.     "Pusing?"     Theo menggeleng. "Perut gue nggak enak."     "Nggak enak gimana? Sakit banget apa nggak? Kira-kira kuat ke sekolah nggak hari ini?" Yas bertanya panjang lebar.     Belum juga Theo menjawab, Elang sudah ikut nimbrung. "Pengaruh perjalanan jauh kemarin mungkin. Mabuk darat kali!"     "Bisa jadi, sih." Theo tidak tahu harus setuju atau tidak dengan pendapat Elang.     Tapi memang bisa jadi begitu. Tapi bisa juga tidak.   ***       Theo menyesal karena tidak menuruti nasihat Yas untuk istirahat di rumah. Ia tadi pagi sok kuat karena diejek manja oleh Elang. Memang Elang sialan! Sekarang Theo jadi menderita begini. Perutnya melilit, perih, sakit. Dan ia juga mual, ingin muntah.     Tadi pagi kepalanya tidak pusing, tapi sekarang pusing tujuh keliling. Pelipisnya terasa cenat-cenut tak karuan.     Sialnya—saat sakit seperti ini—ia harus menghadapi pelajaran Pak Yusuf yang sungguh sangat membosankan. Waktu berjalan lambat seperti kura-kura. Kapan datangnya irama Surga itu? Eh, maksudnya suara bel istirahat.     Kurang lima menit. Semangat!     Akhirnya irama yang ditunggu-tunggu pun datang. Theo segera merebahkan kepalanya di atas meja. Tak peduli dengan Pak Yusuf yang masih mengoceh ini itu di depan sana.     Sekarang, kan, sudah jam istirahat, jadi siswa sudah berhak bertindak semaunya, termasuk apa yang dilakukan Theo sekarang.     Lagi-lagi Theo rindu kasurnya. Berbaring di sana pasti jauh lebih nyaman. Tapi tak apalah, meja kayu ini sudah lebih dari cukup sekarang.     "Ada apa?" Pak Yusuf sedang berbicara dengan Chico yang baru masuk ke kelas ini. "Anu, langsung pada intinya saja!" peringatnya sebelum Chico kembali membuat penjelasan berbelit-belit dan membuat partner bicaranya memutar otak secara ekstrem.     Syukurlah Chico mengerti dengan kekhawatiran Pak Yusuf. Ia berusaha sebaik mungkin menyusun kata-kata yang efisien di dalam otak, kemudian mulai menjelaskan pada beliau.     "Oh, iya-iya. Terima kasih infonya!" ungkap Pak Yusuf, sebelum Chico menunduk dan berpamitan pergi dari sini.     Sepeninggal Chico, Pak Yusuf segera mencari-cari di mana gerangan anak itu.     "Theo!" serunya begitu menemukan targetnya.     "THEO!" serunya lebih keras karena si pemilik nama tak kunjung menyahut.     Theo perlahan mengangkat kepalanya. Sensasi berputar diikuti cenat-cenut yang mengganggu kembali menyerang kepalanya. "Kenapa, Pak?"     "Itu ... kamu dipanggil sama Bu Mina ke ruang BK."     "Astaghfirullohaladzim!" Theo langsung beristighfar ria.     Anak itu beranjak dari bangkunya. Pak Yusuf dan murid-murid lain kini memandang heran pada Theo. Tumben anak itu sama sekali tidak protes--langsung menurut--bahkan sampai menyebut.   ***       "Enak, lho. Kamu nggak makan?" Elang sibuk mengunyah bento yang dibawakan oleh Luna. Mereka berdua sedang duduk di bangku panjang yang menempel dengan dinding depan kelas.     "Aaaaa." Luna membuka mulutnya sok imut.     Elang hanya tersenyum kemudian menyuapkan satu sendok bento padanya. Tidak peduli dengan sorakan dari teman-temannya. Mereka sudah kebal.     Mereka selalu diperlakukan seperti ini semenjak Elang memutuskan untuk membuka hatinya. Dan seperti inilah hubungan mereka sekarang. Tidak pacaran, tapi terlalu mesra untuk disebut teman.     "Itu ada adek kamu!" seru Luna saat melihat Theo hendak melewati mereka.     "Ke mana lo?" tanya Elang segera.     "Ke akhirat." Theo rupanya masih kesal pada Elang.     Gara-gara Elang ia masuk sekolah saat sakit begini. Eh, Elang malah enak-enakan bermesraan dengan Luna, menikmati sarapan kedua.     "Kenapa, sih, dia?" Luna kebingungan.     "Emang gitu dia, tuh. Biasalah, anak bontot suka manja!" Elang melanjutkan memakan bento-nya.   ***       Bu Mina sedang merapikan berkas-berkas saat Theo sampai di ruang BK. Tanpa dipersilakan, Theo segera masuk dan nyelonong berbaring di sofa panjang.     Terang saja Bu Mina kebingungan."Kenapa, sih, kamu?"     "Saya, tuh, lagi sakit, Bu Mina! Masih tega aja manggil-manggil ke sini!" ungkap Theo.     Bu Mina meletakkan semua berkasnya di atas meja. Ia kemudian berjalan menghampiri Theo, sekedar memastikan anak itu benar-benar sakit atau hanya sedang beralibi.     Bu Mina memekik melihat wajah Theo yang pucat dan berkeringat. Bu Mina meletakkan telapak tangannya di kening Theo, suhu tubuhnya lumayan tinggi.     "Ya maaf," sesalnya. "Kan saya nggak tahu kamu lagi sakit. Lagian, udah tahu sakit, kok masuk sekolah!?"     Theo memutuskan untuk tidak menjawab. Ia sudah bosan membahas ini. Pokoknya semua gara-gara Elang!     Jelas-jelas ia sakit, tinggal istirahat di rumah, beres. Malah dikatai manja. Dan yang lebih aneh, Theo tidak terima, justru memaksakan diri masuk sekolah.     "Yaudah, kamu ke UKS aja sana!"     Theo rasanya sudah mau menangis.     Tadi ia sudah enak rebahan di bangku, eh, disuruh ke sini. Begitu sudah nyaman berbaring di sofa, eh, disuruh ke UKS.     "Peka dong, Bu, peka!"     Bu Mina kebingungan. Tapi ia kasihan juga dengan murid langganannya ini. "Yaudah, yuk, saya anterin." Bu Mina membantu Theo bangun. "Bisa jalan sendiri nggak?"     Tak ada jawaban, hanya sebuah anggukan.     Sepanjang perjalanan Bu Mina siap siaga berada di sekitar Theo, jaga-jaga kalau sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan.     Saat melewati tempat guru piket, Bu Mina kesal sekali karena melihat Bu Alila di sana. Dari tujuh hari dalam satu minggu, kenapa Theo harus sakit di hari Bu Alila sedang piket, sih?     Teringat kata-kata yang pernah disampaikan Bu Alila dulu, bahwa segala urusan Yas sudah menjadi urusannya. Karena Theo adalah adik dari Yas, makanya ia pasti menganggap bahwa ini juga merupakan urusannya.     Seperti yang sudah Bu Mina duga, Bu Alila sekarang sedang berlari kecil menghampiri mereka.   ***       Baru saja bel masuk berbunyi. Murid dan guru lain segera memasuki kelas dan melaksanakan kewajiban masing-masing. Tapi tidak dengan sepasang murid dan guru ini. Mereka sedang berada di dalam UKS.     Theo bersyukur karena Bu Mina harus mengurus murid bermasalah lain, jadilah ia harus kembali ke ruang BK secepatnya. Theo jadi bisa berduaan saja dengan Bu Alila seperti ini.     Bu Alila menaikkan posisi selimut hingga sebatas d**a muridnya itu. Theo tersenyum, merasa senang karena Bu Alila mengurusnya dengan begitu baik.     "Kenapa kamu kok senyum-senyum?" tanya Bu Alila sembari duduk di tepian ranjang.     "Bu Alila wangi," jawab Theo jujur.     Bu Alila langsung tertawa. Kasihan anak ini, sakitnya pasti serius, otaknya jadi ikut korslet. "Nakal, ya! Tapi ngomong-ngomong, beneran kamu nggak mau dipanggilin Pak Yas?"     Theo menggeleng. "Ntar aja. Dia udah kebanyakan izin satu semester ini. Nanti kalo dipecat, kan, berabe, Bu."     Yas memang sudah terlalu banyak izin karena ulah Theo dan Elang di masa lalu. Kalau Yas sampai benar-benar dipecat, bagaimana nasib keluarga mereka nanti? Keuangan mereka pasti akan semakin terpuruk.     Lagipula ia juga sudah berada di UKS, jadi ia bisa istirahat dengan nyaman dan tenang, tanpa harus memanggil Yas.     "Yaudah. Diinget-inget pesen dokter tadi! Makan yang teratur, tidur yang cukup, dan jangan terlalu banyak pikiran!" nasihat Bu Alila. "Saya sebenarnya heran, emang kamu kebanyakan mikirin apa, sampai sakit begini?"     Bu Alila antara benar-benar ingin tahu dan memang heran. Karena setahunya Theo ini bukan tipe orang yang terlalu memikirkan sekolah. Buktinya saja ia jarang mengerjakan tugas, yang membuatnya menjadi langganan Bu Mina di ruang BK.     Theo memang beda sekali dengan saudara kembarnya yang rajin nugas. Jadi, pasti ada hal lain di luar urusan sekolah yang menjadi beban pikirannya.     "Saya terlalu banyak mikirin Ibuk. Sampek sakit begini." Theo malah menggombal.     Terang saja Bu Alila jadi gemas. Ia mencubit lengan Theo dengan keras. Theo sampai meringis-ringis. Tak peduli Theo sedang sakit, kalau ia nakal ya harus diberi pelajaran.     "Kamu, tuh, ya," omelnya lagi. "Ngomong-ngomong saya sebenernya masih pengen nemenin kamu di sini. Tapi saya udah kelamaan telat. Saya juga harus ngajar."     "Oh, nggak apa-apa, kok. Bu Alila ke kelas aja!" tulus Theo. Meskipun dalam hati, sebenarnya ia masih enggan melepas kepergian sang Pujaan Hati.     "Yaudah saya pergi dulu, ya. Inget, istirahat! Jangan mainan HP!"     "Iya."     Senyum Theo belum menghilang bahkan sampai wanita itu pergi. Ia senang tentu saja. Kapan lagi diperhatikan oleh Bu Alila seperti tadi? Meskipun di saat yang bersamaan, dalam hati kecil Theo menyadari, bahwa Bu Alila merawatnya bukan karena sesuatu yang berkaitan antara hubungan seorang perempuan dan laki-laki. Melainkan karena Bu Alila menganggapnya adik. Adik dari orang yang dicintainya.     Tiba-tiba Theo merasakan sesuatu yang mengalir dari hidungnya. Karena posisinya berbaring, cairan itu mulai menuruni pipinya. Sebelum sampai mengotori bantal dan selimut, ia segera meraih beberapa helai tisu di atas nakas.     Terjadi lagi. Pagi tadi saat bangun tidur ia juga mimisan. Tapi untungnya sekarang tidak terlalu parah.   ***    TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD