2. AEROPHOBIA

1171 Words
Adel mengarahkan pandangannya pada Gio, sedangkan Gio sendiri masih menatap Rea heran. “Heh, maksud kamu apa?” Adel menggerakkan tangannya di depan wajah Rea. Rea terkesiap mendengar suara Adel “Hah? bukan apa-apa kak Adel, Rea tadi lagi eror.” Rea kembali pada posisi duduknya semula, ia memasang sabuk pengaman dan menatap keluar jendela. Adel mengangkat bahunya sambil menatap Gio, agar pria itu tidak bertanya lagi. Rea menyentuh dadanya, ia merasakan sesuatu yang aneh dan belum pernah ia rasakan sama sekali. Pandangannya lurus ke depan dan beberapa kali mengarah pada luar jendela. Pramugari sedang melakukan peragaan keselamatan dan tentu saja Rea tidak fokus melihatnya. Ia sudah hafal dengan semua instruksi yang di berikan. Cucu dari pengusaha terkenal membuatnya bisa pergi ke luar kota atau keluar negeri dengan mudah. Rea jarang pergi dengan papanya sejak mama Rea meninggal dunia. Putra lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya dan enggan untuk memiliki istri kembali. Padahal Rea dengan ikhlas merelakan papanya menikahi kembali. Ia sedih jika papanya terus terpuruk dengan kesedihan akibat kehilangan istrinya. Saat pesawat mulai lepas landas meninggalkan Indonesia, tangan Rea mencengkeram tangan Adel dengan kuat. Adel menyentuh punggung tangan adiknya, ia tahu Rea memiliki ketakutan terhadap ketinggian. “Tenang Rea, every thing is okey.” Adel menenangkan Rea yang tengah duduk di sebelahnya. Saat pesawat sudah berada di ketinggian yang semestinya, Rea segera menutup matanya. Penerbangan malam membuatnya mengantuk dan memilih untuk tidur. Ia bahkan melewatkan makan malamnya karena Adel tidak ingin membangunkan Rea. Adel sangat paham, adik sepupunya memang phobia dengan ketinggian. Setiap mereka berpergian dengan pesawat, Rea akan mengalami kecemasan sebelum pesawat lepas landas. Rea mengejapkan matanya saat merasakan pesawat bergetar cukup keras. Adel melihat Rea terbangun dengan wajah yang ketakutan. “Tenang Rea, nggak ada apa-apa kok,” Adel memegang tangan Rea. Rea yang merasakan guncangan semakin keras, menutup matanya dan mencengkeram tangan Adel dengan kuat. Setelah beberapa saat akhirnya semua berjalan normal kembali. “Udah selesai Rea. Kamu mau makan atau minum?” “Nggak kak, Rea mau ke toilet dulu ya.” Rea berdiri sedikit menunduk dan melewati Adel. Ia berjalan menuju toilet karena merasa kantung kemihnya sudah penuh. Dalam perjalanan, Rea berpapasan dengan pria yang duduk di sebelah Gio. Ia tertegun ketika pria itu melangkah mendekatinya. Pria dengan tubuh tegap dan raut wajah yang tenang, melirik ke arah Rea. Tidak ada senyuman namun entah mengapa membuat dadanya bergemuruh. Saat pria itu melewatinya, tercium aroma parfum yang membuat pikiran Rea berkelana entah ke mana. Lamunan Rea buyar saat seorang pramugari menghampirinya “Ada yang bisa saya bantu?” Rea menggeleng cepat “Saya mau ke toilet,” diakhiri dengan senyum ramah. Rea melanjutkan langkahnya dan segera masuk ke dalam toilet, saat kantung kemihnya kembali berontak meminta untuk di kosongkan. Pesawat yang membawa mereka ke Paris, harus transit terlebih dahulu di Istambul. Waktu transit lebih dari dua jam, namum rombongan memilih untuk berkeliling di area bandara. Rea terlihat sedikit pucat, membuat para saudaranya cemas. “Rea, kamu baik-baik aja kan?” tanya Anya. Rea tersenyum ke arah Anya “Rea baik kok kak, cuma capek plus ngantuk.” “Mau kakak beliin kopi atau makanan?” tawar Gery. Rea menggeleng, “Rea mau rebahan aja boleh nggak?” Gio menepuk kursi tunggu yang ada di sebelahnya. “Sini Rea, sama aku aja.” Senyum mengembang Rea terlihat seperti anak kecil yang berhasil mendapatkan mainan impiannya. Rea tidur di pangkuan Gio, terlihat mesra jika orang lain tidak tahu mereka saudara. Rea menutup matanya, perlahan melanjutkan tidurnya yang tertunda. Gio asik dengan ponselnya tanpa terganggu dengan Rea yang sedang tertidur pulas. Gio terkejut ketika tubuh Rea tersentak seperti sedang terkejut. “Rea, kamu kenapa?” tanya Gio cemas. Rea terbangun dari tidurny “Mimpi jatuh dari ketinggian,” jawabnya lemas. Kakaknya yang lain tidak menyadari apa yang terjadi pada Rea. Mereka sedang sibuk dengan ponselnya sambil sesekali mengobrol. Posisi Gio dan Rea juga terpisah dari yang lain. “Astaga, kelewatan banget phobia kamu Re. Sampai keringetan begitu.” Rea bangun dari tidurnya, merapikan posisi duduk dan menyisir rambutnya yang berantakan. “Rea ke toilet dulu deh kak, mau cuci muka. Kalau tidur, pasti mimpi aneh lagi.” “Aku antar ya?” “Nggak usah. Rea bisa sendiri kok.” “..” Gio mengangguk, membiarkan adiknya pergi untuk menyegarkan wajahnya. Rea berjalan sedikit terhuyung, kepalanya sedikit pusing akibat mimpi buruk tadi. Karena kurang hati-hati, ia menubruk tubuh seseorang cukup keras hingga membuatnya terpental. “Sory Sir,” ucapnya dengan panik. Rea masih terduduk, merasakan sakit pada pantatnya. Pria itu mengulurkan tangannya sambil menatap Rea khawatir “Are you okey?” Rea mendongak saat tangannya menerima uluran dari pria tersebut. Seketika Rea terdiam, tubuhnya ringan sampai rasanya ia tidak sanggup untuk berdiri. “Hei, kamu baik-baik saja?” Pria itu melambaikan tangannya ke wajah Rea. Rea tersentak dan membungkukkan tubuhnya. “Maaf, saya kurang hati-hati.” Belum sempat pria itu menjawab, Rea lari dengan cepat ke arah toilet tanpa peduli dengan pra tersebut. “...” pria itu menggeleng tersenyum melihat tingkah Rea. Rea sangat bersyukur di toilet tidak ada orang. Melihat ke arah cermin, wajahnya merah seperti kepiting rebus. “Arggghh, bisa nggak jangan ceroboh, Rea. Malu kan lo kalau dia lihat wajah merah lo sekarang,” gumamnya. Rea segera membasuh wajahnya, berharap semuanya kembali normal. Degub jantungnya membuat Rea tidak nyaman, bahkan perutnya terasa mual. Ia mengeringkan wajah dengan tisu dan menata sedikit riasan wajahnya. Rea mencoba mengartikan apa yang terjadi padanya. Namun bukanya menemukan jawaban, justru ia semakin bingung. Ia mendengar ponselnya berdering yang di simpan dalam tas gendongnya. Gio, nama yang terpampang jelas pada layar ponselnya. “Halo kak, Rea masih di toilet,” jawabnya. “Cepet Re, udah waktunya masuk ke pesawat.” Gio sedikit gusar. “Iya iya, sekarang Rea ke sana.” Rea memutuskan panggilan telepon dari Gio dan segera berlari ke tempat semula. “Kok sepi? Yang lain mana kak?” Rea bingung melihat saudaranya yang lain sudah tidak ada. “Udah pada duluan Re. Mana mungkin aku ninggalin kamu, bisa-bisa nangis kejer.” Rea menampilkan cengiran khasnya, “Maaf ya kakak Gio, tadi Rea kebelet jadi agak lama. Yuk jalan.” Rea menggandeng tangan Gio dan menyusul saudaranya yang lain. Rea mengedarkan pandangannya sebelum kembali ke kursinya, mencari sosok yang membuat dirinya merasakan hal yang tidak biasa. “Rea, lama banget sih?” protes Adel yang sudah duduk di tempatnya. “..” Rea belum menyadari kekesalan kakak sepupunya. “Rea, kamu denger aku ngomong nggak? Lihat apa emangnya?” tanya Adel gemas. Rea tersenyum memperlihatkan deretan giginya “Maaf kak Adel, tadi Rea kebelet makanya lama,” jawabnya sambil menjatuhkan tubuhnya di sebelah Adel. “Sebaiknya kamu jangan tidur Re, nikmati penerbangannya. Lagi pula, dari sini ke Paris jaraknya nggak terlalu jauh,” ujar Adel. “Iya kak, semoga aja nggak ada turbulensi lagi. Sumpah ya, sampai ke bawa mimpi.” Adel hanya tersenyum dengan ucapan Rea. Aerofobia yang dialami Rea akibat trauma masa lalu. Phobianya pada ketinggian membuatnya sulit untuk nyaman dalam perjalanan menggunakan pesawat terbang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD