Hari Pertunangan

2379 Words
"Lia, ikut Papa ke ruang kerja," ujar Thomas.  "Iya Pap." Amel berjalan mengikuti kedua orang tuanya ke ruang kerja Thomas. Thomas dan Laras duduk di sofa ruang kerja. Amel mengikuti orang tuanya duduk di sofa tunggal di ruangan itu. "Papa mau ngomong apa? Kok perasaan Amel jadi nggak enak," ujar Amel setelah duduk. Amel memandangi wajah kedua orang tuanya. Mereka terlihat tegang dan gugup. "Pap, Mam, tolong bilang sama Amel ada apa? Jangan bikin Amel takut." Thomas menundukkan wajahnya dan menghela napas. "Maafkan Papa Lia," ujar Thomas dengan suara berat. Laras yang duduk di samping suaminya mengelus pundak Thomas sambil menangis. "Mam, tolong kamu aja yang cerita. Papa nggak sanggup," pinta Thomas pada istrinya. "Mama sama Papa minta maaf sama kamu Lia. Tapi kami sudah tidak punya jalan keluar yang lain." Laras membuka pembicaraan dengan Amel. "Mam, tolong jangan bikin Amel takut."  Sekarang Amel benar-benar takut untuk mendengar apa yang akan dibicarakan. Telapak tangan dan kakinya mulai terasa dingin, padahal AC tidak menyala. "Begini Lia …, Papa terancam bangkrut karena uang perusahaan dan juga uang pinjaman dari bank dibawa kabur sama rekan bisnis Papa kamu. Dan pihak bank sudah menagih berkali-kali, tetapi dananya tidak ada. Dan kemarin pihak bank memberikan ultimatum untuk melunasi hutang dalam waktu satu bulan. Jika tidak dapat membayar, maka seluruh aset Papa akan disita." Sekujur tubuh Amel mendadak mati rasa. Tidak percaya dengan penjelasan Mama. "Hubungannya sama Amel apa Mam?" tanya Amel dengan suara bergetar. "Ada rekan bisnis Papa yang akan memberikan suntikan dana sehingga Papa dapat membayar semua hutang pada bank." Thomas gantian menjelaskan. "Tetapi ada syaratnya. Dan syaratnya itu …." Thomas tidak sanggup melanjutkan perkataannya. "Syaratnya apa Pap?" Amel bertanya dengan cemas.  "Kamu akan dijodohkan dengan anaknya," ujar Thomas tanpa berani menatap Amel. Kepala Amel mulai berputar. Dunianya seakan hancur seketika. Dijodohkan? Apa masih ada perjodohan di jaman sekarang?  "Papa menolak perjodohan ini kan?!" ujar Amel menahan tangis. "Papa kamu udah berusaha menolak Lia. Namun, pada akhirnya menerima persyaratan ini. Kami terpaksa Lia. Kami nggak mungkin membuat kamu dan Brenda harus hidup susah." Laras mencoba memberi pengertian pada Amel. Pecahlah tangis Amel. Hancur sudah dunianya. "Terus bagaimana dengan Rio Mam?" "Maafkan Papa Lia." Thomas tidak tega melihat putrinya seperti saat ini. Begitu pucat dan merana. "Pertunangan kalian akan dilaksanakan hari Sabtu malam. Setelah kalian resmi bertunangan, maka suntikan dana akan langsung diberikan. Mama mohon Lia, tolong bantu Papa kamu."  "Kalian jahat …!" Amel berteriak histeris.  Amel berlari keluar dan menuju ke kamarnya. Dia menumpahkan semua amarah dan tangisnya di bantal.  Amel menangis sampai kelelahan dan tertidur. Dia tidak menyadari Jonathan yang masuk melalui balkon. Jonathan duduk di karpet menemani sampai Amel tertidur. Setelah memastikan Amel sudah tidur, barulah Jonathan kembali ke rumahnya melalui balkon. *** Keesokan harinya Amel terbangun dengan kepala yang terasa berat. Ketika mencoba untuk bangun, kepalanya langsung berputar sangat hebat. Amel langsung berbaring kembali. Dia teringat kembali kejadian semalam, dan kembali dia menangis. "Kamu kenapa Mel?" tanya Jonathan yang sudah berada di kamar Amel, dan sudah siap untuk berangkat sekolah. Mendengar suara Jonathan, Amel menangis semakin kencang. "Hei, kamu kenapa?" tanya Jonathan bingung. Jonathan menghampiri Amel dan duduk di pinggir tempat tidur.   "Kamu nggak mau sekolah?" tanya Jonathan sembari menarik tangan Amel supaya duduk. "Eh kamu demam?" tanya Jonathan ketika tangan Amel terasa panas. "Kepala gue rasanya muter semua Jo," rintih Amel. Jonathan meraba kening Amel, terasa sangat panas. Jonathan buru-buru mematikan AC. "Tunggu bentar." Jonathan bergegas keluar kamar dan berlari ke bawah. Dia menuju ke dapur dan bertemu dengan Mbok Nah. "Mbok, mau minta teh hangat." "Eh Den Jojo. Buat siapa Den?" tanya Mbok Nah. "Buat Amel Mbok. Itu anak demam tinggi. Aku sekalian mau minta air hangat buat kompres Amel." "Lho? Non Amel sakit?" tanya Mbok Nah bingung. "Perasaan semalam baik-baik aja."  Mbok Nah langsung mengerjakan permintaan Jonathan.  "Ada apa ribut-ribut?" tanya Laras yang baru masuk ke dapur. "Oh ada kamu Jo," ujar Laras ketika melihat Jonathan. "Den Jonathan mau minta teh hangat dan air hangat buat Non Amel," ujar Mbok Nah. "Buat Amel? Buat apaan Jo?" tanya Laras pada Jonathan. "Amel demam Mam," ujar Jonathan. "Yang bener?" tanya Laras tidak percaya. "Serius Mam, masa Jojo boong."  Laras bergegas menuju ke kamar Amel. Diperiksanya suhu badan Amel menggunakan termometer 39,8°. "Aduh bagaimana ini," ujar Laras cemas. "Lia …. Lia ...., bangun Nak." Laras menepuk-nepuk pelan pipi Amel. "Jangan panik dulu Mam," ujar Jonathan yang masuk ke kamar Amel membawa nampan berisi teh hangat dan baskom kecil berisi air hangat. "Biar Jo yang temenin di sini Mam." Laras memandangi wajah Jonathan. Perasaannya bercampur aduk.  "Mam, kenapa mukanya sedih begitu?" tanya Jonathan. "Gapapa Jo." Laras memalingkan wajahnya. Jonathan duduk di kepala tempat tidur, kemudian mengangkat pundak Amel dan disandarkan di badannya. Jonathan menepuk-nepuk pipi Amel. "Mel, Mel, bangun." Amel menggerakkan kepalanya. "Kepala gue pusing banget Jo," ujar Amel dengan suara serak. "Aku bawain teh hangat. Kamu minum dulu ya. Udah aku kasih sedotan juga, biar gampang minumnya." Jonathan mengambil gelas dari meja nakas, membawanya ke dekat mulut Amel.  Amel menyedot teh hangat dengan perlahan-lahan. Tenggorokannya terasa lebih baik setelah minum. "Gue mau tiduran lagi Jo," pinta Amel. Dengan hati-hati Jonathan merebahkan kembali tubuh Amel di atas kasur. "Kamu nggak sekolah Jo? tanya Laras. "Ini sudah jam setengah tujuh."  "Hari ini biar Jojo tinggal di rumah sama Amel, Mam." "Jangan begitu Jo. Sekolah lebih penting." Laras mencoba menasehati Jonathan. "Gapapa Mam. Biar Jo yang temenin Amel." Jonathan berkata dengan nada tegas tidak terbantahkan. "Ya udah. Mama ke bawah dulu ya. Mau bikin sarapan buat Papa." Laras pergi meninggalkan kamar Amel. Jonathan termenung memandangi sahabatnya. "Kamu kenapa Mel? Apa yang bikin kamu jadi drop begini?" gumam Jonathan, sedang tangannya mengelus rambut Amel. "Kenapa elo nggak sekolah?" Amel bertanya dengan suara parau. "Sekolah nggak ada kamu mana seru?"  Amel mencoba tersenyum mendengar gurauan Jonathan. "Berarti hari ini elo harus temenin gue terus ya."  "Okey Candy." Itu adalah panggilan kesayangan Jonathan untuk Amel. "Aku ambilin makanan dulu ya." "Nggak laper Jo." "Harus makan Mel, biar bisa minum obat. Biar cepet sembuh." Amel memiringkan badan memunggungi Jonathan. Bukan hanya tidak ingin makan. Kalau boleh, dia ingin kabur dari rumah. Bahkan kalau diijinkan, Amel ingin mengakhiri hidupnya saja.  Namun, mana mungkin  Amel tega berbuat seperti itu. Amel yang dibesarkan dalam didikan bahwa seorang anak, terutama anak perempuan harus tunduk pada perintah orang tuanya, tidak akan pernah berani untuk memberontak. Melihat Amel diam, pelan-pelan Jonathan keluar dari kamar. Dia berjalan menuju dapur untuk meminta makanan.  *** Sudah seminggu Amel terbaring sakit di tempat tidur. Dokter sudah datang untuk memeriksa keadaan Amel, akan tetapi tidak ada masalah dengan kesehatan Amel. Sedangkan hari pertunangan tinggal dua hari lagi.  Amel juga tidak ingin menemui siapapun. Hanya Jonathan yang diijinkan untuk masuk ke dalam kamarnya. Bahkan Rio pun tidak dapat menemui gadis itu.  Kamar Amel selalu gelap. Tirai tidak pernah dibuka, dan lampu juga hampir tidak pernah dinyalakan. Amel benar-benar memutus hubungan dengan dunia luar. Karena permintaan Mama Laras, akhirnya Jonathan menginap di sana dan tidur di kamar Amel. Dan selama hampir seminggu ini Jonathan mendengar Amel yang terkadang mengigau, tiba-tiba menangis dan tertawa.  Seperti malam ini. Semua orang di rumah Amel sudah beristirahat. Jonathan yang sedang mengerjakan tugas sekolah tiba-tiba mendengar Amel menangis. Jonathan langsung berlari ke arah tempat tidur Amel. Dia duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Amel dalam diam. "Mel, apa yang ganggu pikiran kamu?" gumam Jonathan dengan nada sedih. "Apa karena pertunangan kamu dengan anaknya teman Papa Thomas?" Jonathan baru mengetahui masalah pertunangan Amel empat hari yang lalu. "Aku mohon Mel, cepet sembuh."  Mata Jonathan berkaca-kaca memandangi sahabatnya yang tidak berdaya. "Aku kangen kamu Mel," ujar Jonathan lirih. Jonathan mengelus kepala Amel dengan lembut. Entah karena lelah atau karena usapan lembut tangan Jonathan, perlahan Amel kembali tertidur. *** Akhirnya hari pertunangan Amel tiba. Orang-orang di rumah menyambut gembira hari ini. Namun, tidak demikian dengan Amel. Untuknya, ini adalah hari eksekusi. Di mana setelah hari ini, dirinya tidak bisa lagi menikmati kebebasan hidup.  Tubuhnya memang masih lemah, tetapi sejak kemaren demamnya sudah reda. "Kamu kurus banget Lia," ujar Laras yang masuk ke kamar Amel. Amel menatap Mama. Mamanya begitu cantik dan anggun. Tidak dapat dia bayangkan bagaimana kehidupan keluarganya andai dia tidak menerima perjodohan ini. "Kan Amel baru sembuh Ma. Lagian nggak masalah juga kan?" ujar Amel berusaha ceria. "Kamu udah siap?" tanya Laras. Amel mengganggukkan kepala sebagai jawaban. Laras memandang putrinya yang memakai kebaya modern dengan rambut yang disanggul sederhana. Laras bukan tidak tahu kalau Amel terpaksa melakukan semua ini, tapi Laras pun tidak mempunyai pilihan lain.  "Mama mau kasih ini buat kamu Lia." Laras memberikan sebuah kotak beludru berwarna hitam.  "Ini apa Mam?" tanya Amel sambil menerima kotak pemberian Laras. "Ini dulu milik nenek kamu. Ketika Mama menikah sama Papa, beliau memberikan ini untuk Mama. Dan sekarang Mama mau kamu pakai ini."  Amel membuka kotak itu. Di dalamnya ada seuntai kalung emas dengan liontin kecil berbentuk air mata dari berlian. "Bagus banget Mam," ujar Amel. "Sini biar Mama yang pakaikan di leher kamu."  Laras mengambil kalung dari tangan Amel. Kemudian Laras memakai kan kalung di leher Amel. Melihat sinar mata anaknya yang begitu sendu, pecah sudah pertahanan diri Laras. "Maafkan Mama Lia," ujar Laras sambil menangis. Amel pun menjadi ikut menangis melihat mamanya menangis. "Gapapa Mam," sahut Amel tersendat-sendat. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Terdengar suara Brenda memanggil. "Mam? Kak Amel?" panggil Brenda. "Masuk sini Cha," ujar Amel. Brenda pun masuk ke kamar. Dia melihat Mama dan Amel yang seperti habis menangis.  "Ada apa Cha?" tanya Amel. "Eng …. Anu …."  "Kamu itu kalau bicara yang jelas Brenda," tegur Laras. "Maaf Mam, cuma aku bingung mau ngomongnya,"sahut Brenda. "Memang kamu mau bilang apa?" tanya Laras. "Itu tamunya udah dateng," jawab Brenda cepat. "Mau kasih tau itu aja kok pake gugup segala," ujar Laras. "Ya udah, Mama keluar dulu ya." Laras berjalan menuju ke pintu kamar. "Brenda, kamu ikut sama Mama."  "Iya Ma," ujar Brenda. Padahal dia ingin bersama kakaknya. Tinggallah Amel sendirian di kamar. Duduk menatap cermin. Sebentuk wajah sedang menatap dirinya. Namun, wajah yang biasanya berseri sekarang terlihat sendu. Amel sangat merindukan Rio, kekasihnya. Namun, sudah satu minggu ini Amel tidak mendengar kabar dari kekasihnya itu. Bahkan Rio juga tidak menghubungi dirinya. Hanya ada Jonathan yang setia menemani dirinya. Sejak Amel sakit, Jonathan selalu menemani dirinya, kecuali jika harus pergi ke sekolah. Namun, semalam Jonathan pamit akan pergi ke luar kota. Ada acara keluarga, dan baru akan kembali pada Minggu malam. "Lia," panggil Mama setelah masuk ke kamar Amel. "Iya Mam," jawab Amel. Dirinya sudah pegal duduk terus dalam keadaan tegak. Kebaya dan korset yang dipakai sangat tidak nyaman untuk Amel. "Ayo kita turun sekarang." "Sekarang?" ulang Amel. Kaki dan tangannya terasa dingin. "Saatnya vonis dijatuhkan." Amel berkata di hati. "Iya sekarang." Laras menghampiri Amel, dan membantu Amel untuk berdiri. Amel mencoba untuk berjalan, tapi kakinya terasa kebas. Dia hanya diam mematung di hadapan Laras. "Mbok Nah, bantu saya bawa Lia turun ke bawah," ujar Laras pada pembantunya yang memang ikut ke atas. Kemudian Laras dan Mbok Nah memapah Amel turun ke bawah menuju ruang keluarga. Tiba di ruang keluarga, Amel melihat ada Papa dan Brenda yang sedang berdiri di sana. Di sisi lainnya ada seorang pria yang seusia dengan Papa juga dalam posisi berdiri. Di sebelahnya ada seorang pemuda yang tengah menatapnya.  Amel ingin berteriak sekencang-kencangnya, tapi tidak ada satupun suara yang keluar dari tenggorokannya. Kalau saja Laras dan Mbok Nah memegangnya dengan erat, Amel pasti sudah terjatuh ke lantai. "Tuhan, sejahat inikah Kau padaku," jerit hati Amel. "Mengapa Tuhan …. Mengapa?" jerit hati Amel. Pria yang tengah menatapnya memakai kacamata hitam, padahal hari sudah malam dan ruangan di sini tidak dibuat terlalu terang.  Bentuk kaki kanan dan tongkat yang dipegang pemuda itulah yang mengganggu Amel. Kaki kanannya sedikit menekuk serta telapak tangan kanannya yang juga menekuk. "Amel ayo ke sini," panggil Thomas pada anaknya. "Oh, ini yang namanya Amel. Nama yang cantik, secantik orangnya," ujar pemuda tadi. Thomas melambaikan tangan pada Amel supaya mendekat. Dengan dipapah Laras dan Mbok Nah, Amel berjalan tertatih-ratih mendekati Thomas. "Mel," panggil Thomas setelah Amel berdiri di samping Thomas. "Kenalin, ini yang namanya Ardian. Dia calon suami kamu. Kasih salam dulu Mel." "Selamat malam om," ujar Amel sambil mengulurkan tangan pada pria yang lebih tua. "Selamat malam juga Nak."  Gantian Amel mengulurkan tangan pada Ardian. "Selamat malam." "Selamat malam juga calon istriku," jawab Ardian dengan nada suara yang membuat Amel jadi merinding. "Ayo silakan duduk semua," ujar Laras memecah kebisuan di ruangan itu. Ketika semua sudah duduk, pria yang seusia Thomas yang ternyata wali dari Ardian menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah. "Saya Hartono, yang adalah wali dari Tuan Ardian bermaksud melamar Nak Amelia sebagai calon isteri Tuan Ardian. Jika tidak ada yang keberatan, maka acara tukar cincin dapat langsung dilaksankan." Thomas dan Laras saling berpandangan. "Baiklah," ujar Thomas.  Akhirnya acara tukar cincin berjalan dengan baik. Amel memerhatikan cincin rotan yang melingkari jari manis tangan kirinya. "Selesai sudah hidup lo Mel," gumam Amel di hati. "Boleh saya mencium tunangan saya?" tanya Ardian sopan. "Oh, silakan." Laras memberikan ijin. Perlahan Ardian bangkit dari kursi dan berjalan perlahan dengan bantuan tongkat menuju Amel. Ardian mengulurkan tangan pada Amel, dan menarik Amel supaya berdiri.  Ardian mendekatkan wajahnya pada wajah tunangannya. Amel yang ketakutan menutup matanya rapat-rapat. Amel merasakan hembusan napas Ardian di bagian lehernya. "Aku senang bisa menjadi tunangan kamu. Dan sudah tidak sabar untuk menikahi kamu. Akan dibuat kamu menjadi Ratu dalam hidupku." Amel menggigil mendengar perkataan Ardian. Kemudian Ardian mencium pipi Amel dan berlama-lama di sana. Amel tersadar dan memundurkan kepalanya sehingga bibir Ardian terlepas dari pipinya. "Oh iya, saya ingin memberitahukan sesuatu," ujar Ardian sambil melepas kacamatanya. Lagi-lagi Amel ingin berteriak melihat Ardian, tapi tidak ada satupun suara yang keluar dari tenggorokannya. Mata kiri Ardian. Kornea matanya tertutup selaput sehingga berwarna putih.  "Ya Tuhan, cobaan apa yang Tuhan kasih buat Amel?" rintih hati Amel. "Amel nggak sanggup Tuhan." "Yang ingin saya katakan adalah, saya tidak akan terburu-buru untuk menikahi Amel. Saya mengijinkan Amel untuk tetap bersekolah, bahkan kuliah sampai selesai. Setelah itu, barulah kita akan membicarakan pernikahan," ujar Ardian. "Wah, terima kasih Nak Ardian," ujar Larasati. "Terima kasih sudah mengijinkan Lia untuk tetap sekolah dan kuliah." "Saya akan menjemput Amel saat dia berusia 24 tahun. Selama waktu itu, saya tidak akan sering-sering menemui Amel. Saya ingin dia fokus untuk pendidikannya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD