Aku nggak nyangka jika (Pak) Rendra bisa bertingkah sedemikian baiknya ke orang lain. Awal aku melihat sosoknya, yah seperti pemikiran satu karyawan kantor, dingin. Iya, sangat dingin dengan nilai plus yaitu arogan. Meskipun begitu, nggak terhitung sudah berapa perempuan yang mengejar cinta atasanku tersebut.
Sebelum aku menjadi sekretaris Rendra, aku bekerja di bagian keuangan dan sangat jarang bertatap muka dengan Rendra. Sekretaris Rendra yang dulu memilih resign karena akan pindah rumah ke luar kota.
Para manager dan pengurus Peterson Corporation kalang kabut mencari sekretaris baru untuk Rendra.
Entah bagaimana jalan ceritanya, namaku banyak diusulkan. Dan endingnya, inilah aku, sekretaris wakil direktur perusahaan PTC.
Jujur, aku nggak terlalu senang. Saat aku dinaikkan jabatannya, banyak 'teror' yang kudapatkan dari para karyawati. Tapi aku tak mempedulikannya dan menolak secara halus.
Bukan berarti aku sangat bahagia menjadi sekretaris Rendra, ini menyangkut hidup matiku jika aku menolak. Urusanku akan langsung berhadapan ke Direktur utama, ayah Rendra, Pak Randy. Yang jujur saja, sama-sama arogannya. Dan aku nggak mau banget berurusan dengan Pak Direktur yang memiliki milyaran pesona tersebut.
Lupakan sejenak tentang lika-liku profesi di kantor. Aku sekarang memasak bubur untuk mama yang sedang kena demam disertai batuk. Di umurnya yang mulai memasuki masa tua, kekebalan tubuhnya mulai menurun.
Aku pun tak berani meninggalkan papa dan mama yang sudah mulai tua. Makanya aku tidak seperti wanita kantoran lainnya yang hidup mandiri terpisah dari orang tua.
"Papa, kak Harris mana?" Tanyaku sambil menuangkan bubur dari panci ke dalam mangkok.
"Dia di kamar ibumu. Sebaiknya kamu cepat kesana, takut demamnya semakin parah." Jawab papa kemudian duduk di sofa.
Aku meletakkan semangkok bubur, segelas air putih dan obat di nampan setelah itu melangkah menuju kamar mama. Nggak habis pikir, tadi pagi mama sehat-sehat saja, sekarang kena demam. Memang penyakit itu nggak bisa ditebak kapan datangnya.
Setibanya di kamar mama, terlihat mama terbaring di kasur dengan wajah sedikit pucat. Kak Harris meletakkan kain basah di kening mama. Kumasuki kamar mama.
"Mama suhunya berapa? Ayo makan dulu." Tanyaku kemudian menaruh nampan di meja.
"Sekitar 39°, Alya..." jawab mama lemas. Tinggi sekali suhunya.
Aku membantu mama duduk di ranjang, kuambil mangkok bubur dan bersiap menyuapinya makan. Aduh, berbakti sekali aku.
"Oh ya, Alya. Kakak barusan nemuin dompetmu di kamar, kamu beli obat sama pulang bareng siapa barusan?" Tanya Kak Harris tiba-tiba.
Astagfirullah, pertanyaan yang sungguh 'menyakitkan' hati sekali.
Aku tersenyum. "Diantar sama atasanku, Pak Rendra."
Bagaimanapun juga, aku nggak pandai berbohong bahkan tak bisa. Sejak kecil aku dibiasakan jujur sama mama papa. Saat aku berbohong waktu kecil, aku kena karma. Sejak itulah aku selalu jujur.
"Nah, kok nggak diajak masuk dulu? Mama jadi nggak enak hati." Tanya mama.
"Pak Rendra ada acara keluarga jadi harus cepat-cepat pulang, ma."
Mama berdehem sejenak. "Lain kali ajak kesini. Mama harus berterima kasih."
Errr..., aku nggak yakin bisa mengajak Rendra ke rumah. Ini saja dia sendiri yang sukarela mengantarku pulang sama membelikan obat. Kalau aku sendiri yang ajak, apa dia mau?
"Oh ya Alya, kakak ada oleh-oleh buatmu dari Bandung. Ntar kakak kasih selesai makan malam." Tutur Kak Harris lalu melangkah keluar dari kamar mama.
"Oke kak, makasih."
Aku dan mama mengobrol sejenak sambil menyuapi mama makan. Cipika-cipiki sejenak hingga mama keceplosan ngomong. Mama jatuh sakit karena sibuk mengerjakan karya novel terbarunya. Yup, mama adalah penulis novel yang namanya cukup melejit. Mendengarnya, tentu emosiku langsung naik.
"Mama ini apa-apaan sih? Kan Alya udah bilang buat nggak usah terlalu fokus sama novel. Biar Alya sama Kak Harris yang cari uang sekarang. Tuh liat resikonya!" Protesku.
Mama menggeleng. "Nggak bisa Alya, ini adalah novel terakhir karya mama jadi mama berusaha maksimal membuatnya sebagus mungkin."
Aku mendengus. "Tapi, ma, liat deh kondisi tubuh mama udah gampang sakit kayak gini."
"Baiklah Alya, mama nggak akan terlalu fokus ke novel dulu."
"Serius nih ma? Jangan nge-PHP in Alya."
"Iya sayang, pernah nggak sih mama bohong sama kamu?"
Aku bernapas lega mendengarnya. Seumur hidup aku nggak suka melihat mama sakit-sakitan. Jadi sejak remaja aku membantu mama mengurus rumah. Apalagi ayah yang seorang PNS dengan tugas lumayan bejibun. Juga Kak Harris si dokter kece yang sering pulang larut.
Sedangkan mama yang hanya seorang penulis novel bekerja di rumah sambil mengurus rumah. Nggak kebayang deh gimana repotnya mama membagi waktu.
***
"Mama, Alya pamit dulu ya. Jangan lupa sarapan sama minum obatnya, tuh udah Alya siapin." Pamitku kemudian mencium pipi mama.
"Hati-hati di jalan, sayang." Sahut mama sambil melambaikan tangan kepadaku.
Aku tersenyum seraya membalaskan lambaian tangan mama kemudian menutup pintu kamar mama. Taksi sudah menunggu di depan rumah. Selesai 'mencuri' roti isi di piring meja makan, kumasuki taksi tersebut dan langsung berangkat ke kantor.
Udara masih sangat dingin. Ini akibat yang harus kurasakan ketika berangkat ke kantor. Aku jadi khawatir akan terkena demam kecil jika terus-menerus diterpa angin pagi ini.
Sampai di kantor, aku melenggang memasuki lift. Tak banyak karyawan yang aku temui di pagi hari jam 06.25 ini. Mungkin aku satu-satunya karyawan yang rajin sekali datang pagi-pagi.
Keluar dari lift, aku meletakkan tas kerja di ruanganku kemudian memasuki ruangan Rendra. Kupikir atasanku itu selalu menyalakan AC 24 jam non-stop, nyatanya tidak. Ruang kerjanya pengap sekali dan agak berantakan.
Sesuai perintahnya kemarin, aku bereskan ruang kerjanya ini selayaknya OB. Pagi-pagi sudah disuruh bersih-bersih dan sungguh, itu menjengkelkan. Entah hal 'konyol' apalagi yang akan kudapatkan esok-esok hari.
#07.10 P.M
"Nona Kiralya bangun! Wake up, stupid!!"
Suara teriakan yang menyuruhku bangun terdengar seperti jeritan maut di telingaku. Samar-samar kubuka kedua kelopak mataku. Hal yang pertama kali kulihat adalah..
Wajah garang atasanku, Pak Rendra.
"Hei mau sampai kapan kau tidur hah?! Ini sudah jam berapa, Nona Kiralya? Kenapa kau malah tidur bermalas-malasan disini?!"
Seketika mataku terbelalak lebar. Aku ketiduran, ya tuhan aku ketiduran di kantor. Apa-apaan aku ini?!
Aku berdiri dari kursi kerjaku. "Maaf Pak, maaf sekali lagi. Saya ketiduran."
"Sebenarnya kamu ini niat kerja atau nggak sih? Kemarin telat 5 menit sekarang tidur di kantor. Sungguh, maumu apa?! PTC bukan tempat untuk orang-orang pemalas!"
Nyaliku menciut. Bibirku terjahit rapat hingga tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Melihat Rendra marah membuatku seolah seperti menghadapi kematian. Mengerikan. Menyeramkan. Lebay memang tapi itulah kenyataannya.
Rendra berdecak. "Serius Nona Kiralya, jika kau mengulangi kesalahanmu sekali lagi, bersiaplah untuk angkat kaki dari sini."
"Baik, Pak. Maafkan saya..."
Pintu ditutup cukup keras oleh Rendra. Tubuhku terhempas ke kursi, mengatur napas dengan benar dan berusaha bersikap tenang. Aku menjadi lupa bagaimana caranya bernapas jika berhadapan dengan Rendra yang sedang marah. Oh gosh, apa yang terjadi padaku sampai bisa ketiduran.
#At 12.00 P.M
Jam istirahat makan siang tiba. Ini waktu yang tepat, aku bisa mencurahkan seluruh uneg-unegku pada Selma. Kulihat sosok sahabatku itu sudah duduk di meja kantin. Kuhampiri Selma setelah selesai mengurus makan siangku. Aku terduduk lemas di depannya. Sumpah deh, Rendra itu ambigu sekali. Kadang bisa dingin, bisa arogan, bisa baik juga. Lelah.
"Kenapa lagi sekarang? Coba gue tebak, pasti gak jauh-jauh dari Rendra, kan?" Tanya Selma acuh.
Aku menunduk. "Pusing pala barbie ngadepin Rendra, ya Allah. Setiap pagi gue harus nyiapin ruang kerjanya sebelum Rendra datang ke kantor. Schedule gue bertambah lagi!"
"Ha-ha-ha Alya. Hidup lo kayak nggak jauh-jauh dari kata bad luck ya. Heran gue."
"Mau gimana lagi? Gue itu hanya sekedar pembantu yang harus menuruti majikannya. Miris amat hidup gue."
"Lo ngeluh juga nggak ada gunanya, liat sisi positifnya."
"Emang dasar mata panda."
Aku langsung menutup mulutku, bingung dengan 2 kata terakhir yang keluar dari mulutku. Tanpa sadar aku mengatai Rendra dengan menyebutnya mata panda.
Selma memicingkan sebelah mata. "Lo bilang apa barusan?"
"Nggak kok nggak ada!" Tukasku bohong.
"Oh jadi lo nyebut dia mata panda, boleh juga sih. Secara Rendra selalu ngerjain tugas kantor sampai larut malam. Gak kebayang udah berapa kali muncul lingkaran hitam di bawah matanya."
"Eh? Jadi, lo sependapat?"
Selma hanya menganggukkan kepala. Ini bukan hal yang benar. Atasan sendiri kukatai mata panda? Aku bisa mati dicekik sama Rendra jika dia tahu. Tapi lama-lama aku gemas sendiri ketika menyebutnya mata panda. Haha, semoga dia nggak tahu sampai kapanpun.
TBC