Kemudian, Nicky membuka folder satunya lagi, yaitu "Video Bayiku". Saat folder itu terbuka, ternyata hanya ada satu file video di dalamnya.
Dengan perasaan penasaran yang bercampur rasa tidak nyaman, ia menggerakkan kursor ke file tersebut dan mengkliknya.
Layar laptopnya menjadi hitam sejenak, lalu muncul sebuah tulisan dengan latar belakang gelap:
"Keseharian Bayi Kecilku, Diana."
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, video mulai diputar.
Layar menampilkan sebuah ruangan bercat pastel dengan dekorasi penuh nuansa bayi. Ada boneka, mainan berserakan di lantai, dan yang paling mencolok, sebuah ranjang bayi berukuran besar yang cukup untuk orang dewasa.
Di atas ranjang itu, Diana terbaring dalam posisi menyamping. Ia mengenakan pakaian bayi, lengkap dengan popok tebal dan empeng di mulutnya.
Namun, yang lebih mengejutkan, kedua tangan dan kakinya terborgol ke sisi ranjang, seolah-olah dia dikunci agar tidak bisa kabur.
Nicky merasakan dadanya mulai sesak,"Ini tidak masuk akal."
Tiba-tiba, suara lembut seorang wanita terdengar dari balik kamera.
"Sayang, bangun... sudah pagi. Bayiku harus segera bangun."
Suara itu lembut, penuh kasih sayang, persis seperti seorang ibu yang membangunkan bayinya di pagi hari.
Kamera kemudian bergerak, lalu menyorot sepasang tangan wanita yang perlahan menggoyangkan tubuh Diana. Tangan itu terlihat halus, putih, dan sedikit berisi, kontras dengan tubuh Diana yang tampak lebih kurus dan lemah.
Perlahan, Diana mulai membuka matanya.
Yang mengejutkan, ia tersenyum kecil, seperti bayi yang manja saat dibangunkan oleh ibunya. Namun, Nicky bisa melihat sesuatu yang janggal di matanya, tatapan kosong yang menyiratkan kepasrahan.
Diana tampak seolah-olah memaksa dirinya untuk bersikap manis di depan kamera, tapi sorot matanya mengatakan sesuatu yang lain.
"Lihat, bayiku sudah bangun... anak yang manis." Suara wanita itu kembali terdengar, terdengar penuh kelembutan, tapi terasa menyesakkan bagi Nicky.
Wanita itu masih belum memperlihatkan wajahnya ke arah kamera, gambar hanya menyorot tubuhnya dari leher ke bawah, seolah identitasnya sengaja disembunyikan.
Wanita itu melepaskan borgol Diana agar bisa menanggalkan pakaiannya. Namun, Diana tetap diam, tidak menunjukkan perlawanan sedikit pun, hanya kepasrahan yang tergambar di wajahnya. Meski begitu, jika diperhatikan, sekalipun Diana ingin melawan, usahanya akan sia-sia. Kakinya masih terantai, membuatnya mustahil untuk kabur dengan mudah.
Wanita itu lalu dengan telaten melepas pakaian Diana satu per satu. Setelahnya, ia membuka popok yang tampak penuh, menandakan bahwa Diana telah mengompol di dalamnya.
"Aww... bayiku pipis lagi, ya? Kasihan sekali."
Tanpa ragu, wanita itu mengangkat tubuh Diana dari ranjang bayi dan menggendongnya, seperti seorang ibu yang menggendong bayinya yang masih kecil.
Diana tidak melawan.
Wajahnya tetap tersenyum, tapi semakin lama, Nicky bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca.
Kamera terus merekam, mengikuti mereka menuju ruangan lain.
Adegan kedua memperlihatkan Diana di dalam kamar mandi yang luas, tubuhnya terendam di dalam bak mandi berukuran besar. Tidak ada sehelai kain pun yang menutupi dirinya. Ia berbaring dengan tubuh yang tampak lebih kurus dari sebelumnya, sementara kedua lengannya berada di sisi tubuhnya, tak berdaya. Wanita misterius itu menopang punggung Diana dengan satu tangan, seolah sedang memandikan bayi yang belum bisa duduk sendiri.
Air hangat yang memenuhi bak perlahan membasahi kulit Diana, sementara tangan wanita itu dengan lembut menyendok air dan menuangkannya ke kepala serta tubuhnya. Sesekali, wanita itu mengusap lembut lengan dan bahu Diana dengan sabun, gerakannya begitu telaten, seperti seorang ibu yang sedang merawat bayinya sendiri.
Di balik semua itu, wajah Diana tetap terlihat tenang, bahkan sesekali ia tersenyum kecil, seolah menikmati perlakuan tersebut. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sesuatu yang janggal dalam ekspresi itu. Matanya tampak kosong, bibirnya tersenyum samar, tetapi sudut matanya basah, bukan karena air dari bak mandi, melainkan air mata yang mengalir tanpa suara. Itu bukan senyum bahagia, melainkan kepasrahan yang dipaksakan. Seberapa pun lembutnya perlakuan wanita itu, Diana tetap seorang wanita dewasa yang terjebak dalam peran bayi yang tidak diinginkannya.
Wanita misterius itu tidak menyadari atau mungkin sengaja mengabaikan ketidaknyamanan Diana. Ia terus memandikan Diana dengan penuh kasih sayang yang terasa begitu nyata, seakan benar-benar memperlakukan Diana sebagai bayi kecilnya yang perlu dirawat. Namun, di dalam hati Diana, semua ini adalah siksaan yang membuatnya semakin tenggelam dalam rasa putus asa.
Adegan ketiga menampilkan Diana yang masih terbaring di atas ranjang bayi besar yang sama seperti sebelumnya. Kali ini, wanita misterius itu tampak sedang menaburkan bedak bayi ke tubuh Diana, dimulai dari leher, d**a, hingga perutnya. Gerakannya sangat lembut, seperti seorang ibu yang merawat bayinya dengan penuh kasih sayang.
Setelah memastikan bedak sudah merata, wanita itu mengambil sebuah popok baru dari sisi ranjang dan membukanya dengan terampil. Perlahan, ia mengangkat pinggul Diana dan menyelipkan popok tersebut di bawahnya. Diana hanya diam, membiarkan wanita itu memakaikan popok padanya.
Sejak awal video, wajah wanita itu sama sekali tidak terlihat, hanya suara lembutnya yang terus berbicara dengan nada manja, seperti seorang ibu yang tengah berbicara dengan bayinya.
Adegan selanjutnya memperlihatkan Diana yang kini sudah duduk di sebuah kursi bayi berukuran besar. Kursi itu tampak seperti kursi makan khusus bayi, tetapi dengan ukuran yang disesuaikan agar muat untuk tubuh Diana yang sudah dewasa. Ia hanya mengenakan kaos longgar berwarna pastel dan celemek bermotif lucu yang melingkar di lehernya. Di hadapannya, ada sebuah nampan kecil yang menempel di kursi, di atasnya terdapat mangkuk berisi bubur bayi berwarna kekuningan serta sendok kecil berwarna merah muda.
Wanita itu tampak mengaduk-aduk bubur dengan sendok, kemudian mengambil sedikit bubur dan meniupnya perlahan sebelum menyodorkannya ke mulut Diana.
"Ayo, sayang. Buka mulutnya, aaaa..." suara lembut wanita itu terdengar di video.
Diana membuka mulutnya perlahan, menerima suapan tersebut tanpa perlawanan. Ia mengunyahnya dengan tenang, lalu menelan buburnya. Wanita itu kembali menyendokkan bubur dan menyuapi Diana lagi, seolah ini adalah momen yang biasa mereka lakukan.
Dari luar, Diana memang terlihat seperti menikmati perlakuan itu, ia bahkan sesekali tersenyum kecil. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, tatapan matanya kosong, seperti tidak memiliki emosi. Seolah ia hanya sedang menjalani peran yang dipaksakan kepadanya, tanpa ada pilihan lain selain menurut.
Adegan terakhir menampilkan Diana yang berbaring lemas di atas d**a wanita misterius, sementara wajah wanita itu tetap sengaja tidak diperlihatkan oleh arah pengambilan kamera. Napasnya pelan, tubuhnya terasa ringan seolah semua kekuatan dalam dirinya telah terkuras habis. Pikirannya kosong, tak ada lagi keinginan untuk melawan atau mempertanyakan apa yang telah terjadi. Hanya ada ketenangan aneh yang menyelimuti dirinya dalam dekapan wanita itu.
Wanita yang wajahnya sengaja tidak disorot kamera tersebut hanya mengenakan bra putih tipis yang tampak sedikit lembap karena keringat. Tangannya yang lembut terus mengelus rambut Diana dengan penuh kasih sayang, seperti seorang ibu yang tengah menidurkan bayinya. Wajahnya tampak tenang, seolah menikmati momen ini dengan kebahagiaan yang sulit dijelaskan.
Diana perlahan mengangkat wajahnya, menatap mata wanita itu dengan sorot yang kosong namun pasrah. Ia tidak tahu lagi siapa dirinya sekarang. Ia tidak peduli. Yang ia rasakan hanyalah kehangatan yang selama ini tak pernah ia dapatkan dalam hidupnya.
Wanita itu tanpa ragu mengangkat salah satu payudaranya dari balik bra putihnya. Putingnya tampak keras, dan sesaat kemudian, ia mulai memerahnya dengan lembut menggunakan jemarinya yang lentik. Setetes s**u putih mengalir keluar, jatuh ke atas kulitnya, lalu turun perlahan ke lekuk perutnya.
Diana menatap tetesan s**u itu dengan mata berbinar. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terpikat, seperti seorang bayi yang lapar dan tak sadar bahwa dirinya menginginkan ASI ibunya. Wanita itu melihat ekspresi Diana dan tersenyum lagi.
"Kau lapar, sayang?" bisiknya lembut.
Diana tidak menjawab. Namun, ia menjulurkan lidahnya, menjilat cairan putih yang mengalir di kulit wanita itu. Sesuatu yang seharusnya tidak masuk akal, tetapi terasa begitu alami.
Melihat respons Diana, wanita itu kembali memerah payudaranya. Kali ini, s**u mengalir lebih deras, menetes langsung ke bibir Diana. Gadis itu membuka mulutnya sedikit, membiarkan cairan itu masuk, lalu menelannya dengan perlahan.
"Bagus, anak manis..." suara wanita itu terdengar semakin lembut, semakin menenangkan.
Tangannya menarik tubuh Diana lebih dekat, menekan kepala gadis itu ke dadanya dengan gerakan penuh kasih sayang. Diana tidak melawan. Tubuhnya mengikuti tarikan itu tanpa perlawanan sedikit pun. Napasnya mulai memburu, dan tanpa berpikir panjang, ia membuka mulutnya lebih lebar, lalu menyusupkan p****g wanita itu ke dalam mulutnya.
Ia mulai menghisapnya dengan perlahan. Hanya sekali, lalu dua kali. Kemudian, semakin lama semakin dalam, semakin rakus. Setiap tegukan membawa kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Seolah rasanya begitu nikmat, begitu nyaman, hingga ia lupa bahwa dirinya bukanlah seorang bayi.
Wanita itu mendesah pelan, mengelus kepala Diana dengan penuh kelembutan. Tangannya yang lain membelai punggung gadis itu, memastikan tubuhnya tetap berada dalam dekapan yang erat.
Diana hanya terus menghisap dengan lahap, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seolah ia tidak peduli dengan dunia luar. Tidak ada lagi masa lalu, tidak ada lagi masa depan. Hanya ada dirinya, wanita itu, dan dekapan hangat yang kini menjadi dunianya.
Setelah durasi hampir dua puluh menit, video itu akhirnya usai, layar menampilkan tulisan terakhir yang membuat d**a Nicky semakin sesak, "Inilah bayiku, Diana... yang akan kusayangi selamanya."
Nicky terpaku. Tangannya gemetar, napasnya memburu. Wajahnya memucat, dan jantungnya berdegup semakin kencang.
"Ya Tuhan..." gumamnya pelan. "Apa yang sebenarnya terjadi pada Diana...?"
Layar laptop kini gelap, hanya menyisakan bayangan wajah Nicky yang pucat dalam pantulan layarnya. Jantungnya masih berdegup kencang. Tangannya gemetar, masih menempel di touchpad laptop, seolah tubuhnya tak bisa menerima kenyataan dari apa yang baru saja dilihat.
Ia menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering.
Nicky menarik napas dalam-dalam, lalu menutup laptopnya dengan cepat seolah ingin menghindar dari kenyataan. Tapi pikiran dan gambaran dari video tadi terus menari di kepalanya. Sosok istrinya, Diana, dalam kondisi seperti itu, tak berdaya, diperlakukan dengan sangat tak wajar,membuat dadanya sesak. Ia tidak tahu harus merasa marah, takut, atau sedih. Yang jelas, hatinya seperti dirobek.
Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya dan segera mencari nama Pak Bryan, ayah dari Diana di kontaknya.
Telepon langsung tersambung. Suara pria paruh baya itu terdengar dari seberang.
"Halo, Nicky? Ada apa malam-malam begini?"
Suara Nicky terdengar tergesa, napasnya masih memburu.
"Pak... saya... saya baru saja menemukan sesuatu. Ini soal Diana. Saya mohon, Bapak harus lihat ini sekarang juga. Saya akan segera ke rumah," ucap Nicky cepat dan tegas.
Pak Bryan terdiam sejenak, mungkin merasakan nada panik dalam suara menantunya.
"Ada apa dengan Diana, Nick?"
"Nanti saya jelaskan. Ini penting. Saya kesana sekarang."
Setelah telepon ditutup, Nicky berdiri. Ia memasukkan laptop ke dalam tas dengan terburu-buru, lalu mengambil flashdisk kecil yang masih tergeletak di meja dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Langkah kakinya cepat, seolah ia sedang membawa bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan kepala penuh pertanyaan dan hati yang kalut, ia meninggalkan rumahnya malam itu, meluncur menuju rumah mertuanya.