Eps 02. Tragedi Party

1212 Words
Satu jam sebelumnya. Di kamar kecil yang hanya berukuran tiga kali tiga meter. Ada lemari yang pintunya sudah rusak, matras mini tanpa ranjang, dan kipas angin yang bunyinya seperti mesin genset, serta televisi 29 inc yang gambarnya sudah goyang-goyang, sesekali mati, dan akan hidup jika ketokin. “Acaranya di hotel mana, Di?” “Hotel Mekar Sari, jalan Narasinga,” sahut Odi di seberang. Je menempelkan hape di telinga dan mengapitnya dengan bahu, ia tampak kesusahan mengenakan gaun akibat kepalanya miring-miring demi bisa bicara dengan Odi, cewek tomboi yang kalau dari belakang mirip lelaki. Mulai dari gaya dan suaranya juga cowok banget. Rambutnya potongan lelaki, postur tubuh kurus tinggi, cara jalannya menyerupai cowok. Tapi fisiknya membuktikan kalau dia adalah perempuan. Jadi wajar teman-teman di SMA Talenta memanggil Melodi dengan panggilan Odi, bukan Melo atau Imel. Karena dia memang kayak laki-laki. Makanya kalau kenalan sama cowok, Odi sering bilang, ‘Nama Imel, Bang. Kalau malam Jodi.’ Gaun biru muda kini sudah membalut indah tubuh Je. “Hotel Mekar Sari itu yang mana, Di? Kok, baru denger gue?” “O em ji, searching dong, Je. Percuma ada google maps. Masih aja katrok lo.” Je menatap ponselnya. Ponsel kecil keluaran tahun kapan yang fungsinya hanya bisa untuk menelepon dan sms. Odi sepertinya lupa jika ponsel Je tidak bisa untuk mengintip internet. Kesulitan dengan posisinya, Je meletakkan hape ke meja dan menekan tombol louspreaker. Ia memoles wajah dengan bedak. Pokoknya dandan di depan kaca kecil yang sudah pecah. Kaca diletakkan di atas meja hingga untuk bisa berhadapan, ia mesti berlutut seperti sedang menyembah sesajian. “Yang Cuma lantai tiga itu, loh,” terang Odi. Je terkikik geli. Kenapa Odi menyewa hotel jelek begitu? Mungkin karena murah kali. Tak heran, Odi memang super ngirit. Jajan di sekolah saja maksimal Cuma lima ribu. Selebihnya ditabung. Katanya hemat pangkal kaya, tapi kalau kelewat ngirit jadi pelit bin medit. Ngomongin soal medit, sepertinya kalau untuk persahabatan, tidak pelit. Buktinya, sepulang sekolah tadi, Odi rela mengajak Je ke mol dan memilihkan gaun yang cocok untuk Je. Sayangnya tidak cocok untuk ukuran kantong Je. Harganya fantastis. Dan Je hanya memiliki uang recehan. Mana cukup untuk membayarnya. Odi yang menomboki kekurangannya. “Lo sih ulang taon pakai nyewa hotel segala. Ngapa nggak di rumah aja?” “Gue kan pengen beda.” “Buruan, ya! Udah rame, nih. Gue tunggu di sini.” “Iya iya.” Je berputar sebentar di depan kaca lalu menghambur keluar tanpa menutup pintu kamar kos. Tidak perlu ditutup, pintu kamar kos sudah rusak dan Je tidak punya waktu untuk mengganjalnya dengan batu yang teronggok di balik pintu. “Jangan malam-malam pulangnya, Je!” pekik Tante Rima, pemilik kosan yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Je. Dengan penuh percaya diri berbekal kado kecil yang dibungkus menggunakan kertas bergambar boneka, Je berangkat ke lokasi pesta menaiki bajaj. “Hotel Mekar Sari, Pak. Yang di jalan Narasinga itu,” titah Je pada supir bajaj. Sempat heran saat supir bajaj sudah menurunkannya. Bangunan yang sekarang berdiri kokoh di hadapannya bukanlah hotel berlantai tiga, tapi bangunannya tinggi. Entah berapa lantai. Ingin bertanya pada supir bajaj tapi sudah pergi. Berkali-kali menelepon Odi, tapi tidak diangkat. Begitu matanya menemukan tulisan hotel Mekar Sari yang terpajang manis di dinding bangunan, langkahnya pun tidak ragu lagi. Ia memasuki hotel dan menanyakan lokasi pesta ulang tahun, oleh resepsionis, ia diarahkan ke lantai sebelas karena di sana satu-satunya tempat yang disewa untuk sebuah pesta. *** Justin menghisap rokoknya dengan deru napas panik. Matanya nanar menatap cermin westafel yang memantulkan wajah tampannya. Alisnya yang tebal berkedut menunjukkan kerisauan yang membuncah. “Carla, common! Plis, angkat telponku.” Justin menempelkan hape ke telinga namun Carla tidak menjawab. Ini adalah panggilannya yang ke tujuh. “s**t! Sialan, Carla.” Justin mengumpat dan mengayunkan hapenya seakan-akan ingin menghempaskannya kuat-kuat ke lantai. Di ruangan yang ia sewa sudah berkumpul teman-teman kampusnya. Mereka sudah tidak sabar supaya Justin meniup lilin karena ini adalah hari ulang tahunnya. Justin yang notabene dikenal playboy akut, panik jika ulang tahunnya dirayakan tanpa adanya perempuan yang mendampingi. Dengan kepanikan yang luar biasa karena takut harga dirinya jatuh di hadapan teman-temannya, ia pun menelepon Vino, sahabatnya. “Carla positif nggak dateng,” ucap Justin sembari melihat jam di tangan. “Gue nggak mau keliatan konyol di hadapan semua orang. Seorang Justin ulang tahun tanpa pacar, gue akan keliatan begok dengan stempel itu.” “Jadi maksud lo?” sahut Vino. “Cariin cewek. Terserah siapa pun itu. Dia harus hadir di sini secepatnya. Dia mesti nemenin gue dua jam sampai pesta berakhir. Lo tau yang kayak apa selera gue.” “Noh, mulai. Gue juga yang repot.” “Mau bantuin nggak?” “Iya, oke.” Justin memiliki kekuatan di mata banyak orang. Alasan itu cukup membuat Vino patuh. Tidak sulit bagi Vino mencarikan cewek cantik. Ia memiliki banyak kenalan karena dikenal genit sama lawan jenis. Lagi pula tidak ada yang menolak kharisma seorang Justin. Tentu banyak yang menginginkan posisi itu. Tapi sayangnya, sebelum Vino hadir membawa gadis yang diharapkan, Je sudah duluan muncul di pesta itu. Saat itu Justin sedang meniup lilin angka 21 diatas kue tart menjulang tinggi. Seluruh yang hadir mempertanyakan pacar Justin. “Bentar lagi juga dateng.” Hanya itu yang Justin katakan. Pandangan Justin terarah ke cewek asing yang baru memasuki tempat pesta membawa kado. Justin tersenyum karena Vino mengirim perempuan itu lebih cepat dari prediksinya. Begitu pikirnya. Sebenarnya ia risih melihat penampilan gadis yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Gaunnya sih oke, tapi rambutnya tidak disalon. Lurus lempeng sebahu. Saat pandangan Justin sampai ke bawah, ia menemukan sendal lepek yang seharusnya sudah masuk tong sampah. Shit! Dimana Vino menemukan gadis seperti itu? Pikir Justin. Namun ia cukup berterima kasih pada Vino karena tidak terlambat mengirim gadis yang tak lain adalah Je. Ia kebingungan melihat orang-orang yang sama sekali tidak dikenal. Tidak ada seorang pun teman sekolahnya di sana. Justin langsung menggeret Je ke tengah-tengah meja kue ulang tahunnya. Dengan gaya sok akrab dan seperti sudah puluhan tahun mengenal, Justin langsung mendaratkan bibirnya ke bibir Je. Ciuman yang biasa ia lakukan pada para kekasihnya di hadapan umum. Dan itu tentu hal wajar baginya. Sudah kebiasaan. Tapi diluar dugaan, Justin malah mendapat tamparan keras dari tangan mungil Je. Masih dengan wajah bingung, Je tertegun setelah melakukan penganiayaan itu. Gambar tangan yang membekas di pipi Justin membuat muka Justin semakin memerah, menahan malu. Seluruh yang hadir saling pandang. Ketika semuanya saling berbisik dan saling sahut hingga terdengar seperti segerombolan lebah sedang mengungsi, Je buru-buru meninggalkan orang-orang yang mengelilinginya. Sayangnya ia salah arah dan malah menabrak meja, gelas-gelas kaca di atasnya yang sudah terisi minuman, menggelinding dan jatuh. Suara denting gelas terdengar riuh meramaikan pesta hingga benar-benar seperti pesta perang. Merasa takut, Je berbalik ingin melarikan diri. Lagi-lagi malah menabrak meja. Kali ini meja kue ulang tahun hingga membuat kue ulang tahun bergoyang dan menelungkup di lantai. “O Tuhan, lindungi aku!” bisik Je seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia mendapati pandangan keheranan pada orang-orang di sekelilingnya. Dan jantungnya akan copot keluar saat menemukan sepasang mata elang tajam menghunus matanya, tentu saja mata Justin. Gadis kiriman Vino baru tiba ketika pesta sudah benar-benar kacau. Gadis itu hanya bisa terbengong di pintu menatap kekacauan. Justin menggenggam pergelangan tangan Je kuat-kuat dan menggeretnya menjauhi kekacauan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD