Eps 04. Jomblo

1190 Words
Pertama yang Je lakukan ketika masuk ke kelas adalah menggulung buku dan memukulkannya ke kepala Melodi, gemas. Melodi hanya bisa tertawa ngakak saat Je menceritakan semua yang terjadi, masuk ke acara ulang tahun yang salah, lalu digelandang masuk ke kamar dan menderita teraniaya di sana. Untung saja kesabaran Je masih bersisa, ia tidak sampai membuat kening Odi memar. “Ampun, Je. Maaf. Gue kan udah minta maaf sejak tadi.” Odi menahan tawa hingga mukanya kelihatan aneh. Sekarang posisinya terduduk di lantai kelas sambil mengangkat kedua tangan seperti buronan yang tertangkap polisi. Je yang berdiri di atasnya, menurunkan buku yang sudah tampak kusut lalu duduk ke kursinya. Suasana kelas saat itu masih sepi. Hanya ada beberapa siswa saja yang duduk di bangku masing-masing. Tingkah Je dan Odi menjadi perhatian menarik bagi mereka. “Gue lupa sama nama hotelnya. Jangan ngambek, dong!” Odi bangkit bangun dan berdiri di hadapan Je memasang muka cengar-cengir demi mengambil hati Je. “Tapi lo nggak diapa-apin sama tuh cowok, kan?” “Kagak.” “Tuh cowok cakep nggak? Masuk ke dalam kriteria lu nggak?” Di kepala Je langsung terbayang muka ganteng Justin. Benar, cowok itu memang ganteng. Tapi terlalu berat bagi lidah Je mengatakannya. “Untung gue nggak diperkosa.” Je mendengus. “Kalau iya, lo mesti tanggung jawab. Nikahin gue sama abang lo.” “Weeh… Yang nganuin siapa, yang nikahin siapa. Emangnya lo mau sama abang gue? Dia nggak ganteng-ganteng amat, muka pas-pasan. Tapi perhatian. Yang kayak gitu masuk ke kriteria yang lo mau nggak? Kalau mau, biar gue comblangin.” “Ogah. Gue nggak mikir pacaran.” “Ce’ileh, heran gue sama lo. Sejak dulu sampai sekarang, lu tuh bawaannya dingin sama cowok, kenapa emang? Lu normal, kan?” Odi memegang kening Je dan langsung ditampik oleh tangan Je. “Kayak lu pernah pacaran aja berani ngatain gue.” “Haha... Minimal temen deket gue banyak yang cowok.” Je tidak perduli dengan penawaran Odi. Siapa yang tidak kenal Je? Cewek sederhana, namun namanya cukup dikenal karena memiliki segudang prestasi yang luar biasa. Pernah meraih lomba cerdas cermat tingkat Ibu kota, juga peraih bea siswa berprestasi. Banyak yang nembak, tapi ditolak. Kecerdasannya menjadi daya tarik tersendiri bagi para cowok. Bahkan ketika dulu ia masih duduk di kelas sepuluh, ada dua cowok kelas dua belas yang naksir dan menembaknya. Entah kenapa, Je belum merasa tertarik dengan cowok. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang terlihat memiliki pasangan bahkan selalu sibuk pasang gaya setiap kali lewat di depan para cowok yang nongkrong. Bahkan ada yang sudah punya mantan tujuh. Alhasil, Je dan Odi jadi seperti dua cewek yang memiliki kriteria sama, sama-sama tidak tertarik dengan lawan jenis. Je merogoh ponselnya dari dalam tas ketika benda keluaran jadul itu berdering. “Aloo…” sapa Je pada nomer tak dikenal. “Kirimin gue pulsa, yang lima puluh ribu,” sahut suara cowok di seberang. “Siapa ni?” “Bandul.” “Ooh..” Je mengangguk mendengar nama Bandul disebut. Entah apa alasan cowok bernama asli Beni jadi dipanggil Bandul, mungkin giginya yang tonggos bisa dijadikan bandul iakt rambut. “Sekarang, ya!” “Duitnya mana? Kesini aja, deh.” Je mengantisipasi kejadian kesulitan menagih uang. Sudah pernah pengalaman, si pembeli tidak bayar. Pas ditagih malah nyolot. Apes. Mulai saat itu, Je tidak lagi memberi hutangan. “Tapi nggak pake ngutang loh. Gue nggak terima bon. Bisa gulung tikar entar. Gue kagak punya modal.” “Iya, iya. Gue belom nyampe sekolahan nih. Pasti gue bayar. Buruan. Keburu abis nih pulsa.” Je segera mengirim pulsa ke nomer Bandul. Konter berjalan, stempel itu sepertinya cocok untuk sosok Je yang kesehariannya memang memiliki bisnis berjualan pulsa. Berbekal bea siswa dan usahanya berjualan pulsa, serta berjualan alat tulis yang ia titipkan di koperasi sekolah, ia mampu menyambung hidup sebagai yatim piatu. Hampir setiap hari, Odi mentraktir jajanan untuk Je. Muncul perasaan segan jika terus-terusan ditraktir. Meskipun traktiran Odi bukanlah makanan yang mahal-mahal, tapi tetap saja Je merasa sungkan. Disaat anak-anak sekolah menghabiskan waktu istirahat dengan menikmati makanan lezat di kantin, Je lebih memilih ke perpustakaan, ke koperasi, atau main tenis meja. Kantongnya tidak seberuntung teman-temannya, ia mesti berhemat untuk bisa menyisihkan uang kos. Karena kalau telat bayar, Tante Rima pasti akan mengomel. Meski kosan yang ia tempati itu adalah kosan paling memprihatinkan dan jauh dari kata perumahan sehat, tapi Je tetap bertahan karena itulah satu-satunya kosan paling murah dan dekat dengan sekolahnya. Hingga ia hanya perlu berjalan kaki saja untuk bisa bolak-balik ke sekolah. Tepat pukul dua belas siang, Je berjalan menelusuri trotoar. Satu tangannya memegangi buku LKS yang diangkat di atas kepala untuk melindungi dari sengatan matahari yang terik. Jam terakhir kosong dan kelasnya diperbolehkan pulang. Oleh sebab itu ia pulang lebih awal. Sesekali matanya menangkap pemandangan buruk di ujung sepatunya yang sudah bolong, semakin lama lubangnya semakin membesar. Mungkin saja sebulan lagi jempol kakinya bisa mengintip keluar. Je ingin membeli sepatu baru, tapi uang dari mana? Untuk bayar uang makan di kosan saja terkadang kurang. Ia mesti bersabar untuk bisa membeli sepatu baru. Terlalu sulit baginya mencari lembaran rupiah, ia harus berhemat ditengah kerasnya hidup sebagai yatim piatu. Hidup dalam kesulitan bukanlah hal baru baginya. Tidak perlu ia mengeluh, sia-sia membuang energi untuk bersedih. Masa depannya lebih penting untuk dipikirkan. Je membelalakkan mata saat sepatu bolongnya sudah menginjak halaman kosan. Barag-barang miliknya teronggok di teras. “Tan! Tante! Tante Rima!” teriak Je memanggil-manggil sambil mengetuk-ngetuk pintu yang dikunci. Berbagai pertanyaan menyerbu kepalanya. Ia diusir? Alamak, apa dosanya? Sudah berkali-kali ia menggedor-gedor pintu namun tidak ada jawaban. “Je! Orangnya udah pergi,” seru Bik Nunu yang baru saja keluar dari rumah majikannya. Bi Nunu, pembantu rumah sebelah berjalan mendekati Je dan berkata. “Je, Mbak Rima bilang, dia mendadak pulang kampung karena orang tuanya meninggal dunia. “Terus?” “Katanya kosannya mau dijual. Mbak Rima mau tinggal di kampung gitu katanya.” Je tepuk jidat. Baru sehari yang lalu ia membayar uang kos dan sekarang Tante Rima pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan padanya. Sungguh tega! Je hanya bisa menghela napas saat Bik Nunu melenggang pergi memasuki rumah majikannya. Apes! Kepala Je disumpal dengan pertanyaan-pertanyaan membingungkan, ia mesti tinggal dimana? Uangnya sudah diberikan kepada Tante Rima. Dan sekarang ia belum mengumpulkan uang untuk bisa mencari tempat yang baru. Je hanya bisa gigit bibir setelah berkeliling mencari kosan, semua pemilik kos meminta bayaran di muka. Sekujur tubuh Je sudah basah oleh peluh yang mengalir deras. Persis seperti tersiram air. Matahari begitu terik menyengat tubuhnya. Seragam putih abu-abu ditubuhnya sudah berwarna cokelat bertabur debu. Lelah sudah ia berjalan menarik koper diantara ramainya kendaraan yang lalu-lalang. Diantara hamburan debu yang beterbangan. Sudah hampir lima jam berkeliling, belum ada seorang pun yang bersedia menampungnya. Tubuhnya benar-benar lemas, tenaganya terkuras. Ia singgah sebentar di warung sate untuk mengisi perut yang memang sudah ditahan sejak siang. Ia membeli setengah porsi saja. Minumnya air putih yang disediakan di teko. Ia bahkan meneguk minum sebanyak-banyaknya supaya agak kenyang. Penjual sate sempat geleng-geleng kepala melihatnya menggak minum sampai hampir setengah teko. “Haus, Pak!” Hanya itu yang Je katakan saat penjual sate tersenyum melihat tingkah anehnya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD