2. Nervous

2297 Words
Aku meraih gelas porselen putih polos di atas meja. Aroma khas kopi yang menguar dari cangkir yang kugenggam sedikit memberikan kehangatan. Wisconsin adalah salah satu negara bagian yang memiliki iklim dingin terpanjang. Sejauh ini aku tidak pernah keluar tanpa memakai jaket tebal dan sepatu boots. Lebih parah saat Desember. Timbunan salju yang menumpuk serasa membunuh. Dingin. Benar-benar dingin. Kupikir aku akan mati di tahun pertama, tetapi tubuh ini lebih tangguh dari yang kuduga. Aku memutar pandangan ke luar jendela lantas mengembusakan napas panjang. “Hahh ….” Kedua pangkal bahuku ikut bergerak saat melepaskan napas yang begitu menyesak di d**a. Entah harus bagaimana lagi. Belakangan aku mulai berpikir jika hidup tak selalu berjalan sesuai harapan dan memang sepertinya begitu. Tidak seperti tahun pertama di mana semuanya masih terlalu baru dan perlu penyesuaian. Semangatku menggebu-gebu, tapi semakin ke sini, aku merasa semuanya jadi makin sulit untuk dijalani. Tantangan datang dari berbagai arah menguji konsistensiku. Aku cukup beruntung mendapatkan beasiswa kampus. Universitas Wisconsin begitu berbaik hati kepada mahasiswa internasional sehingga mereka memberikan beasiswa kepada 100 mahasiswa dengan akademik terbaik. Beruntung nilaiku cukup untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Lumayan, diberikan tempat tinggal gratis di Residence Hall dan juga dibebaskan dari biaya kuliah. Jika ditotalkan, ada sekitar 41.000 dolar anggaran yang diberikan pihak kampus bagi para penerima beasiswa per tahunnya. Dari isu yang kudengar, seorang pengusaha kaya raya asal New York adalah salah satu penyokong dana terbesar untuk kampus ini. Yayasannya yang mengelola beasiswa tersebut. Aku hanya bisa mendoakan sang pengusaha agar Tuhan selalu memberkati hidupnya. Tak semua orang kaya dermawan seperti mereka. Aku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Wisconsin-Madison dan ini tahun keduaku. Sejak dulu aku sangat tertarik dengan hukum. Di saat para gadis remaja lebih suka menonton drama, aku malah memilih untuk duduk di samping ayahku dan menonton saluran berita. Apalagi jika ada kasus persidangan yang disiarkan langsung. Aku akan dengan senang hati dan betah duduk berlama-lama di depan televisi. Jika pun harus menonton film, aku lebih suka menonton film yang membuatku harus berpikir keras. Genre thriller suspense adalah yang terbaik. Aku suka ketegangan yang disuguhkan alih-alih romantisme remaja yang kadang tak masuk akal. Entah apakah semua itu bisa dijadikan sebuah alasan untuk berkuliah di Fakultas Hukum. Hanya saja, bagiku itulah kenyataannya. Alasan lainnya adalah, aku selalu memuji orang-orang bersetelan jas resmi yang berperan di dalam ruangan sidang. Baik itu jaksa maupun pembela. Kedua sisi tersebut berseberangan, tapi di situlah bagian menariknya. Bersyukur kedua orang tua mendukung keputusanku. Mereka juga turut membiayai hidupku di sini. Hanya saja belakangan ini ibuku mengurangi jatah uang bulanan. Maklum saja, situasi ekonomi kadang naik turun. Aku juga tak memaksa. Dua puluh tahun menjadi beban kedua orang tua dan sekarang waktunya untuk benar-benar mandiri. Kemarin, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah restoran Asia di pinggiran Dells Baraboo. Hanya tempat itu yang menerima pekerja paruh waktu dan mereka pun tidak keberatan jika aku hanya bekerja pada jam 4 sampai 10 malam dengan catatan aku harus tetap masuk di akhir pekan dan libur pada salah satu hari kerja. Tak mengapa, asalkan mereka memberikan gaji yang sesuai. Jadwalku cukup padat hari ini. Aku hanya berharap bisa selesai sebelum jam empat. Aku kembali menyesap cairan pekat hitam di dalam cangkir lalu menaruh benda itu di samping tas. Menyendok red velvet lalu kembali membawa atensiku pada buku Lawrence M. Friedman yang telah menganggur sejak tadi. Masih ada 20 menit sebelum mata kuliah Criminal Law. Itu cukup untuk mencari referensi karena aku yakin Prof. Ansel akan lebih dahulu bertanya sebelum memaparkan materi. Aku menyugar rambut ke belakang lalu membentuk kuncir kuda. Menghela napas sekali lagi lalu mulai fokus pada buku berjudul Crime and Punishment in American History. “Dannys?” Aku mendongak mendapati Minho baru masuk ke dalam kedai kopi. Pria itu melempar senyum sumringah yang sialnya selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Pria dengan tinggi 172 sentimeter. Kulit putih dengan mata hitam yang sipit. Tatanan rambutnya kembali berubah. Kali ini ia terlihat lebih manis dengan wavy hair. Tipikal pria modis yang suka berganti-ganti gaya rambut. Kemeja oversize, biru tua. Bagian bawah sebelah kiri terlihat rapi dan sebelah kanan dibiarkan tetap berada di luar. Membuat kesan rough dengan ripped jeans denim, tapi tidak serta merta meninggalkan kesan charming. Tatapanku perlahan turun. Sesuatu selalu membuatku penasaran tiap kali aku mengingat Kang Minho. Setiap hari ia selalu memakai sneakers berbeda. Kaki jenjangnya selalu indah dengan apa pun yang ia pakai. Hari ini pria Kang itu memakai Nike Air Jordan. Aku melihatnya seperti para pria yang suka menari di atas panggung. Ah, apa nama mereka? Boy group? Ya. Sebut saja begitu. Boy group asal Korea Selatan. Mereka terkenal di mana-mana, akan tetapi Kang Minho itu melebihi ketampanan mereka. Wajahnya mulus seperti bayi. Demi apa pun, he so gorgeous. "Dannys!" Aku tersentak saat mendengar suara Minho yang langsung membuyarkan lamunanku. “Ha-hai, Minho.” Aku menggagap. Memaksakan senyum di wajah sekadar untuk membalas senyum memesona miliknya. Minho melempar ransel di kursi yang berseberangan arah denganku lalu menaruh setumpuk buku seputar ilmu hukum di atas meja. Pemuda Kang itu pergi untuk memesan kopi. Aku tak bisa memindahkan tatapanku dari pria kelahiran Korea berkebangsaan Wisconsin itu. Minho kembali melempar senyum dan seketika aku merasakan lemparan kuat yang terarah tepat di jantungku. DEG Aku melempar tatapan ke bawah. Menahan napas sebentar lalu ku goyangkan kepala. Alam bawah sadarku seakan mengirim sugesti bahwa aku harus berpikir normal. Ayolah. Aku malah terlihat seperti gadis bodoh yang memuja seorang manusia. Oh, come on. "Fyuuhhh ...." Kubuang napas panjang dari mulut lalu aku mengerjap berulang kali untuk memulihkan kewarasanku. Lagi pula, perasaan menakutkan seperti apa ini? Kang Minho hanya tersenyum, tapi aku melihatnya seperti melihat malaikat. Oh maaf, aku berlebihan. Namun, aku berani bersumpah. Manusia mana pun yang melihat Kang Minho pasti akan setuju denganku. Setelah berulang kali mengembuskan napas panjang, akhirnya aku dapat mencapai kesadaran. Aku mengerjap sekali lagi dan kali ini aku mencoba berkonsentrasi untuk mulai membaca buku yang sejak tadi berada di tanganku. “Prof. Ansel?” Baru semenit kesadaranku pulih, masalah besar itu kembali datang. Aku menoleh. Mataku mengikuti gerakan Minho yang berjalan mengitari meja lalu duduk di depan. Dia membawa segelas latte yang merupakan minuman favoritnya. “Hem.” Aku tersenyum simpul lantas kembali menunduk. Minho berada di depanku dan ia sangat sial membuat jantung ini makin bertalu kencang. Hampir dua tahun mengenal Kang Minho dan sampai sekarang jantungku selalu berdebar-debar setiap kali melihatnya. Well, pria setengah Korea Selatan ini adalah teman pertamaku di Wisconsin. Minho adalah seniorku dan ini tahun terakhirnya di UW. Minho juga yang mengajakku bergabung di klub Asosiasi Mahasiswa Asia di Wisconsin. Aku mengenal beberapa orang lagi termasuk teman sekamarku di asrama, namanya Yoshi gadis asal Jepang. Dia juga berkuliah di UW-Madison mengambil jurusan Real Estate and Urban Land Economics. Namun, Yoshi sangat tertutup. Kami tak pernah berbincang lebih dari sepuluh menit. Aku paling akrab dengan Minho. Pria itu memiliki pembawaan yang begitu baik dan juga ramah sehingga membuat banyak orang betah berlama-lama berbicara dengannya. Bahkan orang tak kenal sekalipun akan langsung akrab saat berbicara dengan Kang Minho. Kang Minho cukup terkenal karena keaktifannya pada hampir segala kegiatan dan organisasi di kampus. Wajarlah dia menjadi idola para gadis. Termasuk aku. Ya, aku tak bisa bohong jika Minho adalah tipe idealis dan impian banyak wanita. Pria yang cerdas, disiplin dan punya pemikiran kritis. Penampilan yang menarik, sopan, ramah. Ah, pria itu nyaris sempurna. “Aku punya beberapa materi yang pernah diberikan Prof. Ansel di tahun kedua. Salah satunya Criminal Law and Criminal Procedure. Jika mau, aku akan mengantarnya ke asramamu,” ujar Minho. Aku memperhatikan bagaimana pria itu meniup gumpalan asap yang mengepul dari dalam cangkir sebelum bibirnya menyentuh ujung gelas. Gadis batinku muncul sambil memperlihatkan wajah terpukau. Apa pun yang dilakukan Minho selalu bisa membuatku berhenti dari segala aktivitas. Seolah-olah alam semesta akan berhenti hanya untuk memberikanku kesempatan memuji kesempurnaan Kang Minho. “How?” Aku membuang muka ke sembarangan arah. Sial. Apa yang sedang kau pikirkan, Dannys? Aku harus berdehem berulang kali untuk mengembalikan kesadaranku. “Ehem! Thanks for your help,” ucapku. “Anytime,” jawab Minho singkat. Ia kembali menyesap minumannya. Entah kenapa mendadak atmosfer di dalam kafe ini berubah. Tubuhku gerah padahal di luar sana orang-orang sedang menggigil kedinginan. Aku menoleh ragu-ragu pada Minho. Ia sibuk memperhatikan cairan berwarna kuning kental di dalam gelasnya. “Ngomong-ngomong.” Sialan. Aku langsung membuang muka saat Minho kembali menatapku. “Ehem!” Berdehem lagi dan entah kenapa dudukku mulai tidak betah. Jantung ini, kenapa dia tidak mau berdetak normal? Aku perlu menyembunyikan tangan untuk mengusap d**a dan membujuk jantungku agar kembali berdetak normal. Demi Tuhan, mungkin jika aku tidak melakukannya jantungku akan melompat dalam hitungan detik. “Sore nanti ada pertemuan di basecamp. Kau harus datang. Priyanka menyediakan hidangan khas India. Ibunya membuat halwa dan sambosa. Aku penasaran ingin mencobanya,” ucap Minho. “Begitukah?” Aku menoleh. Masih gugup. Kucoba untuk kembali berdehem lalu mulai mengatur pernapasan. ‘Tenang, tenang, bernafas, bernafas. Ini hanya bicara santai. Tidak perlu gugup.' Aku terus mengulang kalimat itu di dalam hati. Memaksa otakku untuk bertindak normal. Ayolah, ini hanya bicara santai. Andai saja ada orang lain selain aku dan Minho, mungkin aku bisa mengalihkan perhatianku pada mereka. Minho mengangguk sambil kembali menyesap minumannya. Aku menghela napas lantas menutup buku. Sepertinya aku tidak bisa berkonsentrasi jika Minho terus berada di depanku. Alih-alih berkonsentrasi, untuk membaca satu paragraf saja rasanya begitu sulit. Keputusan tepat untuk mengambil kembali cangkir di atas meja lalu menyesap cairan cafein di dalamnya. Oke, jantungku mulai berdetak normal. Alam bawah sadarku mulai mendorong kepercayaan diriku untuk kembali pada posisi semula. Ini lebih baik. “Kau akan datang, kan?” Aku kembali memberikan atensiku pada Minho. “Maaf, malam ini aku tidak bisa ikut.” Minho mendengkus. Dia menaruh cangkirnya ke atas meja lalu menyandarkan punggung ke belakang. Pemuda Kang itu melilit kedua tangan lalu menumpuknya di depan ulu hati. Minho memandangku. “Jangan bilang kalau kau akan menghabiskan semalam bersama George di perpustakan.” Ucapan Minho mengundang gelak tawa. “Sialan kau!” protesku sambil terus terkikik. “Ya, Dannys. Hanya kau satu-satunya gadis yang menghabiskan semalam suntuk di perpustakaan kampus hingga George harus berkali-kali memperingatkanmu,” ujar Minho lagi. Ia memajukan wajah sambil mengecilkan tatapannya. “Kau … tidak … ah, Dannys.” Minho menggeleng dramatis. “Leluconmu basi, Minho.” Aku menggeleng sambil menatapnya sinis, tapi lelucon Minho barusan akhirnya mencairkan suasana. Membuatku tak harus tegang seperti sebelumnya. “Dunia akan runtuh saat gadis cantik seperti dirimu punya hubungan khusus dengan George.” Minho masih melanjutkan leluconnya. George adalah penjaga perpustakaan dan umurnya sudah tua, hanya saja ia belum menikah. Minho selalu menjadikan pria itu bahan lelucon hanya untuk membuatku kapok bermalam di perpustakaan. Aku menghela napas sekali lagi lalu membuangnya dengan cepat. Aku mendongak melirik jam dinding di cafe. Pukul 12 lebih 50 menit. Sepuluh menit lagi kelas akan dimulai. Aku mulai mengemas buku-buku di atas meja. Menoleh ke depan, aku mendapati Minho sedang menatapku. Lewat tatapannya, aku tahu jika pria itu sedang menuntut sebuah jawaban. Aku pun mendesah. “Malam ini aku harus bekerja,” ucapku. “Bekerja?" tanya Minho nyaris memekik. Pria itu kembali menarik punggungnya dari sandaran sampai dadanya hampir menyentuh meja. Mata sipitnya membulat dan itu membuatnya makin terlihat tampan. Sialan, Dannys. Berhenti berfantasi. “Serius?” Dia bertanya lagi. “Ya, Minho. Apakah aku terlihat bercanda?” Minho mendesah kasar. “Jika itu hanya alasan untuk menolak ke klub kurasa itu sudah keterlaluan.” Keningku mengerut mendengar perkataan Minho. “Aku tidak bohong.” “Really?” tanya Minho dengan wajah terkejut. Aku mengangguk. “Kobaki Food, Dells Baraboo.” Aku memberitahu nama restoran tempatku bekerja. Minho melongo menatapku. “Kau sungguh bekerja? Kenapa? Bukankah kau dapat beasiswa?” Aku terkekeh mendengar ucapan seorang Kang Minho yang memiliki pemikiran kritis. “Beasiswa hanya untuk biaya kampus dan asrama. Aku butuh uang untuk membeli kopi di tempat ini setiap hari,” ucapku sambil memberikan tatapan menunjuk sekeliling ruangan. “Wow ….” Minho berucap seraya mengangkat kedua tangan di depan d**a. “Kau memang gadis tangguh, Dannys. Kau membuatku semakin mengagumimu.” DEG Aku melongo mendengar ucapan Minho barusan. Gadis batinku kembali muncul lengkap dengan wajah tercengang. Serius? Seorang Kang Minho mengagumi wanita seperti diriku? Apakah latte mengandung kafein? Bukan. Nikotin? Alkohol? Maksudku, dia mabuk? Aku memaksa otakku untuk kembali berpikir jernih. Terkekeh adalah cara terbaik untuk menghindari perasaan canggung. Aku menunduk lalu menggoyangkan kepala, tapi yang sial dari setiap pujian tak terduga adalah pipiku yang akan terasa panas dan aku bisa membayangkan bagaimana raut wajahku saat ini. Bagus, Dannys. Begitu saja. Kau pasti terlihat seperti badut Ancol. Wow, Dannys. Gadis batinku hanya bisa menghina. Aku bergegas memasukkan buku terakhir ke dalam tas lalu berdiri dari tempat duduk. Saat aku telah berdiri, entah mengapa kedua lututku bergetar. Aku ingin melangkah meninggalkan Minho. Keterlaluan. Jantungku juga tak mau diam. Berhenti. Tolong. Hentikan entakan kencangmu. Kau ingin membunuhku? Aku benar-benar tidak mengerti mengapa tubuhku harus bergetar. Kakiku telah melangkah dan aku harus berusaha lebih keras untuk menyeret satu kakiku keluar dari antara meja dan tempat duduk. “Kau mau ke mana?” Aku masih mendengar suara Minho, tapi mendadak aku merasa seperti terkena serangan panik. Aku tak bisa menatapnya dan hanya bisa menunduk. Entah apa yang terjadi pada diriku. Aku hanya … hanya … terlihat seperti gadis bodoh yang ketakutan karena sebuah pujian kecil. “Aku duluan.” Bibirku gemetar saat mengucapkan kalimat barusan. Aku mengangkat kaki, tapi entah apa yang terjadi pada setengah kakiku yang seperti lumpuh lalu menabrak kaki meja. Rasa sakit yang timbul akibat benturan itu tak sebanding dengan perasaan aneh yang menyebar dengan cepat hampir ke seluruh sarafku dan aku mulai kesakitan. “Hei, Dannys!” Aku mendengar suara itu saat tubuhku melayang. Perpindahan milidetik begitu cepat seiring dengan tubuhku yang berada di antara angin. “DANNYS!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD