Amsterdam

1635 Words
Amsterdam, Belanda. Kecewa, kemarahan, kesedihan dan putus asa. Rasa yang berkecamuk di dalam diriku setelah takdir membawa pada satu titik menempatkan pada peristiwa akan sulit kulupakan. Perceraian berhasil merengut semua mimpi dan cintaku. Aku tahu ada fase sulit yang harus dilewati setiap kisah cinta yang gugur. Melupakan tidak semudah saat aku jatuh cinta padanya. Kamu, kuat Anna. Keputusan ini yang terbaik untuk menyelamatkan hatimu sendiri! Kata-kata itu sebagai self reminder ketika luka itu kembali muncul dan membuat tangisku hampir pecah. Dua tahun sudah kulewati, meski tidak mudah tapi aku berhasil menata hidupku menjadi lebih baik lagi. “Huft!” Aku menarik napas dalam-dalam, berjalan mendekati pintu geser apartemen menuju balkon. Matahari pagi ini mau muncul adalah satu keberuntungan untukku maupun seluruh warga yang tinggal di kota ini. Amsterdam sedang di akhir musim gugur, udara dingin menyelimuti hampir setiap hari. Pohon-pohon di sepanjang jalan daunnya sudah tidak lagi hijau melainkan berwarna coklat dan kering. Angin yang meniup membawa daun-daun terbang dan memenuhi bahu jalan, bahkan sebagian lagi hanya menyisakan ranting-ranting. Bersiap dengan pergantian musim, menyambut salju pertama yang akan turun. Aku kembali masuk, menatap sekeliling apartemen ini dan menjadi satu-satunya penghuninya. Tidak ada lagi kesibukan pagi yang biasa aku lakukan dulu saat masih menjadi istri dari lelaki itu. Astaga moodku selalu buruk saat harus mengingatnya! Aku cepat-cepat menuju dapur kecil apartemen ini, membuat omlete dengan potongan wortel dan sosis, roti panggang dan s**u sebagai breakfast pagi ini. Tidak sampai satu jam, perutku sudah kenyang dan cukup menjadi energi menghadapi rutinitas seharian ini. Pendidikan itu sangat penting, Aku beruntung memiliki keluarga yang mendukung menyelesaikan pendidikanku, tidak terbayang jika sampai Aku tidak punya pendidikan, setelah perceraian Aku tidak bisa bergantung lagi pada lelaki itu, Aku harus mandiri untuk mencukupi kebutuhanku sendiri. Jika jaman sekarang masih ada yang mengatakan, perempuan tidak perlu ber-pendidikkan tinggi, orang itu mungkin tidak kenal arti perpisahan yang memaksanya untuk hidup sendiri. Meski begitu, Aku tetap mendoakan agar nasib pahit yang kualami tidak dialami wanita lain. Beruntung bagi mereka yang telah bertemu cinta sejati hingga bisa menua bersama. Tidak ada mobil pribadi kugunakan, kebiasaan masyarakat di sini mengubah hidupku jadi lebih suka berjalan kaki, memakai sepeda atau naik tram dan bus kota saat berangkat ke kantor. Aku mengeratkan mantel hangat, meski ada sinar matahari udaranya tetap sangat dingin. Setengah jam aku sampai di kantor, perusahaan konstruksi yang ada di Amsterdam. Lamaranku di perusahaan ini di terima, menjadi jawaban pelarianku untuk melupakan masa lalu dan mulai hidup baru. Perusahaan ini menempati salah satu gedung di kota Amsterdam. “Morning, Anna!” Sapaan khas Abbas, rekan kerjaku yang kebetulan berasal dari Indonesia juga namun sudah tinggal lebih lama di sini. Aku sangat senang saat tahu jika di perusahaan ini bukan hanya aku yang dari Indonesia. Usia kami juga hanya beda satu tahun, lebih dulu Abbas. “Morning, Abbas. Sudah Breakfast?” Jika hanya ada kami berdua, kami lebih suka memakai bahasa kami. Aku mendongak menatap Abbas yang berdiri di dekat meja kerjaku, rambutnya lurus dengan potongan rapi. Abbas rupawan dengan wajah lokal, karena memang ayah-ibunya asli Indonesia berbeda dengan mantan suamiku, wajahnya bule sebab darahnya campuran Indonesia-Jerman. Sial! Kenapa aku harus mengingatnya lagi sih! “Anna, kamu melamun?” tanya Abbas sembari mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku langsung menggeleng kecil, bergerak ambil kotak persegi makanan berwarna merah muda yang sengaja Aku bawa. “Ini, breakfast untukmu!” Abbas tersenyum lebar langsung mengambilnya “Sering-sering seperti ini!” “Aku hanya sedang buat lebih.” Abbas membuka tutup kotak makanku, matanya berbinar padahal isinya hanya roti panggang mentega dan irisan buah apel. “Thank you!” Abbas mulai memakannya dan aku mulai hidupkan laptop. Kami selalu satu tim dalam proyek-proyek mendesain interior. “Cepat habiskan, kita harus presentasikan ini jam sepuluh nanti.” kataku sembari memeriksa apa ada yang terlewat dari ringkasan hasil desain kami ini. Pekerjaan ini menjadi salah satu yang bisa mengalihkan pikiran dari kehidupan di masa lalu. Bekerja di perusahaan besar ini, seperti bahagia yang menggantikan dukaku di masa lalu. *** Jam lima aku sudah bersiap untuk pulang, Abbas datang menghalangi jalanku. “Ini malam Sabtu, kamu akan langsung pulang?” “Iya.” “Ikutlah bersamaku, kita bisa pergi menonton Film atau makan diluar.” Ajaknya, selalu berusaha seperti biasa. Aku tetap menolak, selain lelah seharian bekerja, terbayang rebahan diatas ranjang yang empuk jauh lebih menarik untukku dibanding keluar dengan teman meski hari memasuki akhir pekan. “Tidak, lain kali saja.” “Dua tahun kamu berada di kota ini, hidupmu membosankan jika tidak tahu kehidupan malam Amsterdam. Kota ini sangat indah” bujuk Abbas tidak menyerah. Aku tertawa kecil, “dari atas balkon apartemenku, aku setiap malam menikmati malam Amsterdam yang indah ini. Kata siapa hidupku membosankan?” “Kamu selalu punya jawaban jitu!” Abbas terlihat kesal. “Ajak saja teman kencanmu.” Selama mengenal Abbas, aku mengenal beberapa wanita bule yang dekat dengan lelaki ini. Warna kulit eksotis dan wajahnya yang memang rupawan khas Asia, menjadi karisma tersendiri. “Siapa? Ella? Kami sudah tidak bersama.” “Seingatku namanya bukan Ella, tapi Laura.” Aku mengerutkan kening. Abbas mengaruk tengkuk yang pasti tidak gatal, “Laura, dia wanita sebelum Ella.” “Astaga, kamu ini Playboy sekali!” aku mencibir, Abbas memang baik padaku tapi jika melihat dia yang suka mempermainkan wanita, sepertinya semua lelaki sama saja. Akhirnya Abbas menyerah mengajakku pergi, Aku kembali ke apartemen sebelum sampai aku seempatkan mampir ke toko roti untuk membeli roti dan selai. Dari toko menuju gedung apartemenku tidak terlalu jauh, aku berjalan kaki menyusuri bahu jalan. Menatap langit gelap dengan taburan bintang di sana. Tersenyum miris, setelah rutinitas di kantor aku kembali ke apartemen yang sunyi dan sepi jadi sahabatku lalu saat sendirilah dadaku mulai kembang-kempis atas segala ingatan masa lalu, terutama sakit menghujan juga rindu yang bisa-bisanya hadir diatas segala rasa ini. Sudah sejauh ini, aku tidak bisa kembali ke titik nol di mana hanya ada putus asa. Drrrt... Drrtt... Ponselku yang sedang terhubung charger bergetar diatas nakas, aku sudah selesai berpakaian dengan gaun tidur meski handuk masih membungkus rambut basahku. Air hangat menyelamatkan tubuhku dari mengigil karena udara dingin. “Papa?” Aku tersenyum mengangkat panggilan dari orang tua satu-satunya yang masih kupunya. Ibuku meninggal karena kanker pàyudara setahun setelah pernikahanku. Aku anak semata wayang, artinya setelah perceraian yang kupunya hanya Papa. Aku berdoa agar Tuhan memberinya umur panjang, hanya dia satu-satunya alasan dan kekuatanku lewati ujian ini. Aku tidak mau hidup sebatang kara. “Di sana sudah malam, kamu sudah di apartemen?” suara khas Papa yang besar dan dalam malah membuatku semakin merindukannya. “Sekarang jam tujuh, Pah. Di Indonesia jam dua siang ya?” perbedaan waktu lima jam antara negara ini dan negara asalku. “Iya, Papah masih di kantor. Baru selesai makan siang. Uhuk!” suara batuk di akhir kalimat Papah membuat punggungku tegap, aku khawatir jika sedikit saja Papa mengeluh sakit. Papah sendirian, sedangkan aku berada jauh. “Papah sakit?” “Papah bain-baik saja, ini tadi Papah makan siang agak pedas jadi tidak nyaman di tenggorokan.” Elak Papah. “Anna bilang apa, Papah seharusnya cari pendamping lagi.” Aku tidak keberatan jika Papah mau menikah lagi, asalkan wanita itu bisa merawat Papah. Tapi, cinta Papah pada almarhum Mamah begitu kuat. Cinta sejati yang ada di dunia nyata, bukan hanya sebuah film apalagi novel yang pernah aku baca. Kesetiaan sampai akhirnya maut yang memisahkan mereka selalu membuatku iri, aku mengharapkan pernikahan dan cinta seperti orang tuaku tapi, pria itu menghancurkan segalanya. “Anna, Halo...” suara panggilan Papa menyadarkan aku yang telah melamun lagi-lagi karena ingat lelaki brengsèk itu. “Ya, Pa.” “Papah pikir sambungannya terputus.” “Anna barusan ambil minum dulu.” Ucapku berbohong. “Bukan melamun?” “Melamun? Tidak Pah, aku sudah baik-baik saja.” Aku sengaja tertawa meski terdengar sumbang. “Kalau sudah baik-baik saja, Papah boleh berharap kamu akan pulang ke Indonesia?“ “Pah, Anna bekerja di sini dan Anna sudah nyaman.” “Kontraknya bukan seumur hidup, kamu bisa mengajukan pengunduran diri. Di Indonesia pun Papah tidak akan melarang kamu jika ingin bekerja, mau bantu Papah atau kerja di perusahaan orang lain. Sudah dua tahun, Anna. Umur tidak ada yang tahu, jika Papah—“ “Anna tidak suka Papah bicara seperti itu... Please” Mataku sudah berkaca-kaca, “Papah tidak akan biarkan Anna sendiri.” “Sekarang pun kamu sendiri, hidup mandiri dan tetap baik-baik saja.” Papah membalikkan kata-kataku. Aku terdiam. Helaan napas papah terdengar, “Papah rindu sama kamu, nak.” katanya lagi, kali ini pertahananku hancur. Air mata mulai jatuh membasahi pipi, Aku teringat bagaimana Papah ikut menangis bersamaku saat aku pulang ke rumah setelah bertengkar hebat dengan lelaki itu. Tidak hanya hatiku yang dibuat kecewa, tapi, Papah dan keluargaku ikut menderita melihat aku, putri satu-satunya disakiti. Papah tidak langsung menerima keputusanku hari itu, Papah berusaha menyatukanku lagi dengan dia tapi aku bersikeras untuk mengakhiri, menggugat cerai dan pergi dari Indonesia tepat di hari keputusan persidangan kami. Bahkan, aku tidak memegang surat ceraiku. Aku katakan pada pengacara untuk mengirimnya ke rumah. Rasanya aku ingin berlari lalu masuk dekapan Papah, menumpahkan semua perasaan campur aduk yang kurasa ini, tapi, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk kuat dan berhenti membuat orang tuaku khawatir. “Anna akan pulang nanti, tidak untuk waktu dekat ini.” “Papah sangat menanti hari itu, Anna. Papah janji jika terjadi sesuatu pada Papah, sebelum itu terjadi Papah tidak akan biarkan Anna sendiri. Papah berharap ada seseorang yang pantas menjagamu.” Se-andainya bisa, aku ingin minta pada Tuhan agar tidak lagi memberikan cobaan diluar batasku, yaitu kehilangan Papah, satu-satunya yang kumiliki di dunia ini. Seseorang yang pantas menjagaku. Doa Papah untukku, tapi jika kelak Tuhan mengizinkan aku jatuh cinta lagi, kuharap tidak akan salah lagi, lelaki itu harus seperti Papah yang menyayangi keluarganya, mencintai istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD