Efek Samping Pedang

1316 Words
Rania duduk tidak tenang di samping ranjang dimana ada Theodoric di sana yang masih terbaring tidak sadarkan diri sedari tadi. Setelah pingsan di jalanan dengan hidung mimisan. Kalau tahu anaknya akan berakhir seperti ini. Rania tidak akan memaksa Theodoric untuk menemaninya ke pasar. Perempuan itu berulang kali mendenguskan hidungnya yang berair, membuat beberapa pasien yang sedang berbaring satu ruangan bersama Theodoric jadi menoleh ke arahnya. Rania sudah terisak lirih dengan memegangi tangan Theodoric erat, "maafin ibu, nak ... seharusnya ibu tidak mengatakan hal-hal memalukan seperti tadi. Harusnya ibu membanggakan kamu di depan ibu-ibu tadi. Walau tidak ada yang bisa dibanggakan dari kamu," ujar Rania sesekali mendenguskan hidungnya yang memerah. "Ibu tidak menyangka kalau kamu ternyata punya penyakit seperti ini. Buktinya kamu sampai pingsan dan mimisan," ujar Rania masih meracau sendiri. Beberapa pasien yang berada satu ruangan dengan Theodoric jadi menatap Rania sendu. Merasa empati dengan ibu satu itu yang menangisi anaknya yang sedang sakit. Theodoric bergerak kecil membuat Rania sontak beranjak berdiri dengan memandangi wajah anaknya dari dekat. "Kamu tidak apa-apa? Kamu bisa mengenali ibu, kan?" Tanya Rania cemas sembari menggoyang-goyangkan lengan Theodoric pelan. Pemuda yang belum sepenuhnya sadar itu jadi ingin kembali pingsan saja. Padahal ia ingin sadar dalam keadaan tenang, tapi ibunya selalu saja membuatnya malu di tempat umum begini. "Aku tidak apa-apa, ibu. Bisa berhenti menggerakan tubuhku? Lama-lama otakku bisa terlepas dari tengkorak kalau ibu sekuat ini." Sindir anaknya dengan ekspresi masam. Rania sontak mengatupkan bibir rapat, kemudian menarik tangannya menjauh dari lengan Theodoric. "Beneran tidak apa-apa, kan?" Theodoric terdiam beberapa saat, pemuda itu berusaha mengingat-ngingat sebenarnya kenapa ia bisa sampai berada di rumah sakit sekarang. Bayangan pedang yang terserap ke tubuhnya membuat pemuda itu memekik kaget. Ibunya di samping ranjang sampai latah kaget. Salah satu pasien yang sedang meneguk mineral setelah minum obat jadi menyemburkan ke suster yang sedang memperbaiki selang infusnya. "Ada apa? Kenapa berteriak seperti itu?" Kesal Rania mendengar Theodoric yang masih melebarkan pupil matanya. Kini memegangi dadanya panik. "Ibu ... ada sesuatu yang masuk ke sini, ibu. Rasanya aku tidak bisa bernapas dengan bebas." Racau Theodoric panik membuat ibunya juga ikut panik. "Ibu, panggilkan dokter dulu. Tunggu sebentar, anakku." Kata Rania sudah melesat pergi meninggalkan Theodoric yang meraba-raba dadanya membuat orang-orang di dalam ruangan menatapnya aneh. Begitu pun dengan suster malang yang wajah cantiknya disembur air oleh salah satu pasien. Beberapa saat kemudian, dokter datang dengan melangkah gontai. Dokter yang sudah berumur, mungkin sesepuh di rumah sakit itu. "Dokter, d**a saya terasa sesak ... seperti ada sesuatu di dalam sini." Ujar Theodoric panik menunjuk-nunjuk dadanya pada dokter. "Itu ... karena di dalam tubuh bapak ... ada yang namanya jantung, paru-paru dan hati." Jelas dokter dengan suara melambat. "Bukan, dokter ... saya juga tahu kalau saya masih punya jantung, hati dan paru-paru. Cuma sekarang d**a saya berasa ada yang masuk ke sini ... tadi saya pegang pedang terus pedangnya ... siuuuuung masuk ke d**a saya terus hilang." Cerita pemuda itu dengan ekspresi kocaknya. Rania hanya mengangguk-ngangguk saja membenarkan. Walau sebenarnya tidak terlalu paham dengan apa yang Theodoric katakan. "Jadi, maksud bapak––" "Saya masih dua puluh lima tahun, dokter. Belum jadi bapak-bapak," protes Theodoric masih sempat meralat omongan dokter di sampingnya. "Okey, jadi maksud anda ... ada pedang yang masuk ke dalam d**a anda. Benar begitu?" Theodoric sontak mengangguk-nganggukan kepala cepat. "Bagaimana caranya masuk?" "Yang pasti gak ngetuk pintu, dokter." Sahut pemuda itu membuat ibunya langsung menabok kepalanya kasar. "Jelasin yang benar," geram Rania menatapnya tajam. Theodoric mendecak samar kemudian menipiskan bibir, berusaha serius. "Tadi saat perjalanan pulang, saya menemukan sebuah pedang. Karena penasaran saya memungutnya, setelah saya memegangnya saya memang merasa ada yang aneh sama pedang itu." Jeda Theo sesaat, meneguk ludah samar. "Perlahan pedang itu menghilang dan terserap ke dalam tangan saya. Lalu bersinar dan masuk ke d**a saya, dokter. Terus saya terlempar jauh ke atas udara lalu terbanting kuat, sakit ... dokter." Racau Theodoric serius dengan ekspresi takutnya. Dokter menganggukan kepala pelan, kemudian menoleh pada Rania. Lalu, melambaikan tangan memanggil Rania untuk mendekat. "Sepertinya anak ibu ada gejala halusinasi atau kurang sehat, bu. Apa sebelumnya anak ibu menampakan gejala-gejala kurang waras seperti ini?" Rania melongo di tempatnya kemudian tanpa sadar menggelengkan kepala pelan. "Bentar, jadi maksud dokter anak saya gila. Begitu?" "Sepertinya, bu." Balas dokter santai membuat Rania mendecak kasar. "Bangun, kita pulang. Bagaimana bisa seorang dokter mengatakan hal seperti itu terhadap pasien. Anak saya ini masih waras, walau agak memalukan dan menjadi beban keluarga ... bukan berarti dia tidak waras." Ketus Rania tidak terima lalu menarik kasar selang infus pada tangan Theodoric membuat pemuda itu meringis sesaat. Rania masih menyeret lengan Theodoric pergi dari ruangan sana. Menyusuri sepanjang koridor dengan ekspresi keruhnya. Setelah mereka sampai di depan gedung rumah sakit. Rania langsung tersenyum lega dengan bertepuk tangan heboh. "Bagaimana akting, ibu?" "Apanya?" Tanya Theodoric polos tidak mengerti dengan pertanyaan ibunya itu. "Ibu bicara seperti itu biar bisa kabur dan tidak membayar biaya rumah sakitmu. Hebat, kan?" Theodoric tersenyum masam mendengar itu lalu dengan berat hati mengekori ibunya yang sudah melangkah lebih dulu. "Tapi, soal pedang yang kamu bicarakan berulangkali di dalam sana tadi. Beneran?" Tanya Rania penasaran membuat sang anak menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ngarang." Ujar Theo malas kemudian melangkah cepat dengan menghela napas kasar. Pemuda itu menghentikan langkahnya, merasa aneh pada tubuhnya. Ia merasa tubuhnya lebih ringan dari biasanya. Tidak seperti dulu, jalan 5 menit saja sudah capek. Sekarang kakinya seperti ingin berlari memutari dunia saking semangatnya dan penuh dengan energi. Theodoric dan ibunya berjalan pulang menuju rumah. Keduanya seperti biasa, memilih berjalan kaki. Karena rumah mereka memang tidak terlalu jauh dari gedung rumah sakit. Hanya beberapa puluh meter saja. Theodoric menipiskan bibir, berusaha kembali memikirkan bagaimana pedang aneh tadi masuk ke dalam tubuhnya. Dan dadanya sekarang seperti ada sesuatu yang mengganjal di sana. "Bagaimana kalau pedang itu adalah pedang milik setan? Nanti aku jadi pengikut setan, dong?" Gumamnya sendiri kemudian menggeleng-gelengkan kepala pelan. "Tidak, bisa saja tadi cuma halusinasi. Aku pasti kecapean, mana mungkin pedang tadi masuk dan terserap ke dalam tubuhku?" Lanjutnya masih bermonolog sendiri. "Coba berpikir realistis," decaknya lalu mengusap rambutnya ke belakang dengan helaan napas panjangnya. Beberapa menit kemudian pun ia sampai di depan rumah. Mengekori ibunya yang sudah masuk lebih dulu. Theodoric langsung ke kamar tanpa sepatah kata membuat ibunya kembali mengomentari dari A-Z. Theodoric sudah terbiasa akan hal itu. Ia pun membuka hoodienya, kemudian tidak sengaja menyingkap singletnya membuat perutnya terekspos sedikit. Ia melebarkan mata kaget, kemudian mendekat pada cermin memperhatikan bayangannya. Ia kembali menarik ke atas singletnya dan terkejut melihat perubahan tubuhnya yang berotot dan kekar. Apalagi sampai memiliki roti sobek seperti yang orang-orang katakan. Theodoric meneguk ludah kasar, kemudian membuka singlet sepenuhnya. Ia kembali memperhatikan bayangan tubuh indahnya pada cermin membuat ia mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. "Apa ini? Bagaimana bisa?" Ujarnya melongo sendiri dengan perlahan tersenyum lebar kemudian tergelak sendiri dengan heboh. Setelah itu ia menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan kanan. Kemudian memutar-mutar kepalanya dengan membuat instrumen dari mulutnya. Pintu kamarnya terbuka membuat ia yang sedang merunduk dengan kedua tangan terangkat tinggi langsung melompat kaget melihat ibunya di ambang pintu. "Kau ... beneran gila sepertinya, nak." Ujar ibunya sok sedih, "jangan kebiasaan membuka pintu kamar tanpa mengetuk ibu. Tidak sopan," katanya mendengus samar kemudian menegakan tubuh membuat ibunya melebarkan mata kaget. "Sebentar, kau ... kau bagaimana bisa ... punya badan bagus begini? Kau ... olahraga?" Theodoric lagi-lagi memutar mata jengah mendengar tebakan ibunya. "Iya, aku setiap hari olahraga. Emanganya ibu? Yang setiap hari cuma mengomel saja." Sindirnya kemudian menutup pintu kamar pelan yang langsung membuat pintu terlepas dari anglenya. Theodoric refleks menahan pintu dengan tangan, mengerjap-ngerjapkan mata kaget. Padahal ia hanya menutup pintu dengan pelan, tapi bisa-bisanya sampai terlepas dari angle dan hampir rubuh. Sebenarnya apa yang terjadi pada tubuhnya sampai hal-hal aneh terjadi padanya. Theodoric bergumam samar dengan meneguk ludah samar, "apa karena pedang tadi?" Ujarnya merunduk samar membuat kelopak matanya berubah warna dan berkobar seperti bola api. Tentunya tanpa pemuda itu sadari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD