Narendra mengaduk-ngaduk saus kental berwarna merah cerah lalu sesekali mencicipinya. Asap yang lezat mengepul dari wajan, daging cincang dipadukan dengan saus tomat, bawang bombay serta berbagai bumbu dan rempah.
Narendra sedang menyiapkan berbagai menu baru di warungnya saat perempuan berkerudung kuning datang bersama kekasihnya. Itu adalah perempuan yang sama yang dia lihat ketika ketika warung kembar di buka. Wanita dengan wajah penuh kasih dan selalu tersenyum melemparkan tatapan memuja kepada sang kekasih yang bermuka masam. Zen menghampiri mereka memberikan buku menu lalu mencatat setelah perempuan dengan bibir seksi itu menyampaikan apa yang yang mereka pesan. Lalu dengan cekatan Narendra membuat pesanan.
Kelezatan roti bakar extra keju di warung kembar juga s**u murni dengan Aneka Rasa membuat warung kembar begitu cepat dikenal sehingga Narendra mulai kewalahan dan menerima saran Zen untuk mencari karyawan baru. Juga menerima saran pengunjung untuk menambah menu sehingga banyak pilihan, tidak hanya makanan manis saja.
Bahagia, itulah yang dia rasakan. Setidaknya keputusan-keputusannya untuk resign dari perusahaan tidak sia-sia, dia ingin menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Meski Rahayu dan suaminya adalah orang kaya dan mampu membiayai si kembar, tetapi Narendra tidak mau berpangku tangan dan harus tetap bertanggung jawab sebagai ayah yang baik.
Tawa riuh dari para pelanggan membuat lelah Narendra luruh begitu saja. Hal itu seakan menjadi obat bagi dirinya, ngantuk karena tidurnya kurang terbayar dengan antusiasme para pengunjung yang setia datang lagi dan lagi.
“Tambah roti lagi, Mbak kerudung kuning seneng banget sama roti kita. Eh tapi pacarnya jutek banget. Gue kayak kasihan liat Mbak itu ngoceh-ngoceh sendirian.”
Narendra menggelengkan kepalanya, “Bukan urusan kita, urusan kita sajikan makanan lezat dan layani mereka dengan baik. Sudah.”
“Kalo itu sih kan udah, buktinya gadis-gadis itu seneng saat gue datang bawa buku menu.” Zen menunjuk ke pojokan, sekelompok remaja Putri tertawa terbahak-bahak. Mejanya penuh dengan makanan, saat Zen tersenyum pada salah satu dari mereka kontan mereka menjerit. Zen memang good looking juga interaktif dan cerewet membuat para pelanggan menyukai dia.
“Coba, Ndra kali-kali lu yang anterin pesanan sambil nyapa pelanggan. Biar mereka kenal sama owner warung kembar yang jago masak dan bikin kudapan ini,” goda Zen.
“Ya udah makanan ini biar gue anterin. Meja yang itu, kan?” tunjuk Rendra, meja nomor delapan. Perempuan berkerudung kuning duduk di sana bersama pacarnya.
Ternyata, membawa nampan lengkap dengan makanan di atasnya sambil berjalan dilihat para pengunjung membuat Narendra grogi. Lelaki itu tidak habis pikir bagaimana bisa Zen berjalan dengan percaya diri yang tinggi.
“Mas, akhir-akhir ini aku seperti ada yang ngikutin terus deh. Makanya jemput gitu kalau pulang ngajar tuh.” Narendra tidak sengaja mendengar percakapan sepasang sejoli itu.
“Perasaan kamu aja,” jawab lelaki itu ketus. Fokusnya tetap pada gawai, sementara itu sang perempuan terus berusaha mengambil perhatian.
“Silakan rotinya,” ujar Rendra.
“Waah terima kasih, A.”
Senyum perempuan itu mengingatkan Narendra pada seseorang. Namun, entah siapa.
Semakin larut warung Kembar semakin ramai dikunjungi para pembeli dua belas set meja kursi serta meja lesehan tidak cukup menampung mereka semua. Beruntung, Andri saudara sepupu Zen mulai bekerja malam itu sehingga semua bisa dihandle dengan baik.
Menjelang dini hari pengunjung sudah bubar, Narendra Zen dan juga Andri merapikan semuanya dan bergegas tidur.
***
Lelah, itulah yang Narendra rasakan saat bangun pagi hari, sayangnya lelaki itu harus segera berangkat ke pasar untuk membeli bahan baku jualannya nanti malam.
“Lo bukannya mau ke Garut?” tanya Zen saat Narendra mencatat bahan apa saja yang hendak dia beli.
“Pulang dari pasar gue ke Garut sebentar sudah terlanjur janji sama si kembar. Lo bisa kan sama Andri buka lapak duluan? Gue janji bakalan ada di sini sebelum malam banget. Paling telat abis magrib.”
“Andri temenin ke pasar atuh, A,” usul Andri dengan logat sunda yang begitu kental.
“Emang harus ditemenin kayaknya, banyak belanjaannya. O iya, Zen adek gue bentar lagi dateng bawa stok s**u Murni. Gue nitip ya, yuk, Andri.”
Andri mengiyakan. Naredra membawa Andri dalam boncengan motornya menuju pasar tradisional.
Usai belanja, Narendra menyerahkan segala urusan warung pada sahabatnya. Dia lantas bergegas membersihkan diri dan bertolak menuju Garut menemui dua buah hatinya yang sudah menunggu.
Dulu, saat kendaraan bermotor membawanya menuju Garut, hanya kesedihan yang dia rasakan karena mengharapkan belas kasih dan kata maaf dari Rahayu. Kini setelah dia menyadari bahwa perempuan itu bukan takdirnya hatinya lebih lapang.
Takdir, Narendra tidak tahu bahwa takdirnya akan seperti ini. Menikahi Rahayu merupakan sebuah anugerah baginya, sesudahnya pekerjaan lelaki itu menjadi baik, kariernya menjanjikan. Siapa sangka di usia pernikahannya yang baru hitungan bulan Narendra sudah memiliki rumah bersama Rahayu. Meski rumah itu dibeli dengan cara kredit.
Selain rumah, mobil pun dia punya. Sungguh satu prestasi luar biasa bagi seorang yang tumbuh di keluarga broken home seperti Narendra.
Sayangnya Narendra berubah gelap mata, dia boros, belanja sesukanya dan senang sekali makan di tempat-tempat yang menguras kantong. Lelaki itu berdalih, dulu waktu susah dia tidak dapat menikmati semua itu, kini saat sudah memiliki uang akhirnya lelaki itu bebas membelanjakan uang sesukanya. Tanpa memikirkan bagaimana masa depannya dengan cicilan yang menumpuk.
Rahayu, dia cermat, mengumpulkan uang dan selalu berhemat demi membiayai pendidikan Ariyani, adik perempuan Narendra. Punya istri cermat seharusnya memberikan ketenangan bagi setiap laki-laki sayangnya Narendra tidak menyadari itu, dia lebih menganggap bahwa Rahayu pelit hingga dia gelap mata dan tergoda dengan Anjani yang merupakan sahabatnya.
Narendra menutup lembaran lama dan menapaki lembaran baru dengan apa yang dia lakukan saat ini. Dia berusaha menjadi ayah yang baik dan menjadi mantan suami yang pengertian. Meski kadang cemburu melihat kebersamaan Rahayu dan suaminya.
Dingin membelai kulit Narendra ketika memasuki kawasan Garut. Udaranya memang jauh lebih dingin dan sejuk. Dadanya selalu berdetak lebih cepat saat sudah dekat dengan rumah Rahayu.
Narendra sampai di rumah besar dengan gerbang tinggi menjulang. Azzura menyambut sang ayah dengan gembira, dia memeluk dan mencium pipi Narendra bergantian. Aroma strawberi menguar dari rambut panjang Azzura. Narendra menghirupnya. Sungguh beruntung sekali memiliki anak kecil yang cantik sehat dan selalu ceria.
“Azzam mana?”
“Azzam main game terus, yuk masuk, ada dedek sama papi,” ajak Azzura.
Betul, suami Rahayu memang ada di rumah dan Narendra memilih untuk datang pada saat Adrian ada. Demi menjaga dari fitnah walau bagaimana pun Narendra masih memiliki perasaan terhadap Rahayu.
“Dra, jam berapa dari Bandung?” sambut Rahayu.
“Pulang dari pasar langsung ke mari.”
“Iya, tuh, Azzura gak sabar ketemu Ayahnya,” sahut Adrian.
“Habisnya Azzura kangen ayah, sih,” ucap Azzura.
Narendra gemas dan mencubit hidung sang putri.
Pukul empat sore setelah Narendra puas bermain bersama Azzam dan Azzura lelaki itu pamit pulang. Dia memburu waktu agar sampai kota Bandung dengan segera. Ini yang dia inginkan selama ini. Satu minggu sekali bahkan lebih, lelaki itu bisa bercengkrama dengan anak-anaknya.
***
Narendra menepikan kendaraannya bersisian dengan motor pengunjung warung kembar. Belum banyak pengunjung masih beberapa saja, dia mendesah lega kala melihat semua sudah rapi.
“Istirahat aja, Bro biar gue yang handle dulu.” Zen melemparkan sebotol air mineral yang langsung ditangkap dengan tangkas oleh Narendra.
Andri membawa nampan berisi piring kosong dan membawanya ke ruko untuk dicuci. Narendra duduk bersandar pada pilar penyangga ruko. Memejamkan mata dan merenggangkan punggungnya yang pegal.
Baru sekejap lelaki itu memejamkan mata dia teringat sesuatu dan buru-buru menegakkan badannya.
“Zen,” panggil Narendra.
“Hmm ....”
“Kira-kira gue bisa sukses gak, Ya, rada-rada insecure nih sama papinya anak-anak.” Rupanya itu yang ada di pikiran Narendra memang benar, Adrian adalah pria kaya. Bahkan hadiah ulang tahun untuk si kembar jalan-jalan keluar negeri.
“Bisa lah, yakin aja, bukankah kita lagi menuju ke sana? Semangat, lah, Bro.”
“Thanks ya,” ucap Narendra.
“Gue yang terima kasih, saat susah nyari kerja, lo ngajakin gue sama Andri kerja.”
“Semoga lo betah ya, maaf selama ini gue cerewet.”
Zen ngakak mendengar penuturan Narendra, “Sudah, pengunjung makin banyak.”
Menu baru yang Narendra buat diminati pengunjung, Spagetti, Mie rebus resep leluhur serta Mie ayam klasik. Jika udara dingin seperti malam ini maka Mie rebus, mie ayam, spagetti juga s**u hangat akan laku keras. Bahkan s**u sudah habis sejak dua jam yang lalu.
Banyak yang menyayangkan keputusan Narendra untuk resign dari perusahaan tempat dia bekerja juga mencibir keputusannya membuka warung angkringan di kota Bandung. Selain warung sejenis sudah menjamur di kota itu, beberapa orang meyakini bahwa menjual makanan seperti itu hanya akan bertahan sebentar saja. Musiman.
Namun, Narendra bertahan, dia yakin akan berhasil meski keyakinannya kadang terusik seperti tadi kala melihat betapa Adrian bukanlah tandingannya.
Andri dan Zen merapikan meja di pinggir jalan, memasukkannya ke dalam toko. Narendra tidak membantu seperti biasanya. Dia memilih duduk sambil menghitung pendapatan hari ini. Sebagian lilin aroma terapi yang di pasang di beberapa sudut sudah Rendra padamkan.
Ketika semuanya selesai ketiganya duduk sambil menikmati Mie rebus untuk melawan lapar. Suasana malam semakin sepi dan mencekam kala binatang malam bersahutan. Tidak ada lagi kendaraan yang lewat, jika sendirian Narendra tidak dapat menjamin bahwa dirinya akan berani.
“A, kebayang gak jika di pohon itu ada sesuatu,” tunjuk Andri.
“Huss, jangan bicara sembarangan,” tepis Narendra, bulu kuduknya sedikit merinding.
Andri hanya tertawa mengarahkan senter ke atas pohon tepat di seberang warung kembar. Buru-buru Narendra merebut senter. Menepuk lengan Andri yang semakin terbahak. Zen menikmati Mie sambil melihat Interaksi keduanya.
“Jangan terlalu kencang tertawanya, kasian tetangga sebelah berisik.”
Andri mengunci mulutnya, lalu hening. Di tengah keheningan hanya ada satu mobil yang melintas dengan kencang. Beberapa saat kemudian mobil itu kembali menuju arah berlawanan. Narendra mengira pemilik mobil yang salah jalan karena beberapa kali pernah ada yang tersasar melewati jalanan itu.
Ketika semua selesai Andri tiba-tiba merapatkan tubuhnya di antara Narendra dan Zen. Membuat keduanya keheranan. Andri terlihat ketakutan membuat Narendra juga sedikit takut.
“Jangan main-main, Andri, ayo selesaikan dan kita tidur,” tegur Zen.
“Aku gak main-main, A, denger deh, ada cewek nangis.”
“Astaga sudah, jangan bikin panik,” hardik Narendra.
“A, serius A, itu tangisannya makin kenceng.”
Narendra dan Zen menajamkan pendengarannya lamat-lamat terdengar rintihan memilukan disertai isak tangis yang begitu menyayat hati.
“Mungkin tetangga ada yang lagi nangis,” ucap Zen menenangkan Narendra dan Andri yang mulai panik.
“Suaranya jauh, A. Kata emak, kalau suaranya jauh berarti dia dekat.” Andri semakin membuat Narendra kesal.
“Sudah-sudah mari periksa, mungkin orang nyasar atau ya kalau makhluk halus tinggal usir kan gampang,” seloroh Zen.
“Hus! Jangan ngomong sembarangan lu,” tegur Narendra.
“Suaranya dari arah sana, ayo ikuti gue, Lu juga Andri, tadi kayak yang iya aja pake nyenterin pohon segala, sekarang malah paling takut.” Zen merebut senter dari tangan Andri.
Ketika mereka berada di tepi jalan dari arah perempatan jalan hal yang tidak terduga mereka lihat. Narendra terhenyak melihatnya, dia dan Zen buru-buru mendekat ke sumber suara.
Narendra mendekat, perempuan itu menggeleng dan mundur ketakutan.
“Astagfirullah, Teh, kenapa nangis di sini?” tanya Narendra.
Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan Narendra, dia menangis semakin kencang membuat siapa pun kebingungan karenanya.