Aku?

2332 Words
     Mengamati langit mulai menggelap merupakan keharusan dalam hidupku, matahari memancarkan cahaya oranye merupakan sapaan berakhirnya hari ini untuk aku menunggu esok. Dengan harapan juga kenyataan yang masih sama, tidak ada pemandangan lebih indah juga menggiurkan setiap akhir pekan di pantai pribadi milik keluarga Aderald. Memang sudah menjadi rutinitas sejak aku dan Libra menemukan tempat liburan 1 tahun lalu, kami sama sekali tidak merasa bosan karena ini merupakan pilihan alternatif saat kami merasa jengah berada di rumah mewah di Pondok Indah.      Kursi empuk terdapat berkas juga laptop itu masih saja terkadang membuatku ini bukan kualitas waktu untukku, meski Libra selalu sanggup menemani berlibur tetap saja dia akan b******u dengan pekerjaan. Aku pun bangkit lalu berjalan ke arah pasir di mana telapak kaki akan merasa dimanjakan oleh alam dengan rasa dingin air laut, rasa unik bagian ketika ombak memikul sentuhan di pergelangan kaki.      Sisa cahaya yang menimpa wajah masih aku rasakan tapi kesenangan ini terganggu karena aku mendengar samar suara Libra. Aku mencari ke setiap arah yang dapat ditangkap oleh kedua mata, terlihat Libra berlari kecil hingga membuat kain kemeja di sisi tubuhnya itu melambai-lambai. Aku tersenyum dengan melihat dadanya yang berbulu itu terlihat karena dua bagian kancing atas terbuka.      “Sayang.”      Jujur saja aku jarang melihat Libra melakukan hal berarti termasuk berlarian demi berada di tempatku saat ini. “Mas? Kenapa lari-lari gitu?”      “Iya, kita harus pulang sekarang! Mas tunggu ya!”      Senyuman yang baru saja aku berikan pudar ketika mendengar ucapan tanpa basa-basi itu, tatapan ini masih belum bisa beranjak dari punggung lebar mulai tak terlihat. Kenapa? Memberikan alasan saja berat bagi Libra? Aku masih bisa menerima kenyataan jika sedikit saja rasa tidak peduli Libra berkurang.      Langkah lebar juga cepat berada di kabin sebuah vila pribadi itu memang selalu membuatku kalah, batas tinggi kami sangat jauh karena aku hanya memiliki tinggi badan sekitar 159 centimeter. Iya, jarak yang tidak ada apa-apanya dengan Libra dengan tinggi 7,6 kaki.      Ketika berada di kamar, aku terpaksa mengemas kembali barang-barang termasuk laptop yang biasa aku gunakan untuk menulis. Tapi sama sekali tak ada daya kedua kaki melangkah karena rasanya aku ingin meminta Libra tetap tinggal, atau bahkan aku harus meminta Haikal datang. Mustahil.      “Sayang, tolong nanti kalau sudah selesai ke langsung ke tempat biasa ya! Mas nggak bisa lama-lama, jadi ada sopir nanti yang jemput.”      Apa? Sopir? Kenapa demikian? Tanpa ada perkataan juga karena Libra sudah melangkah meninggalkan kamar kami, aku terpaku atas perkataan beberapa detik lalu. Bukan segera mengemasi barang-barang justru aku membanting tubuhku di atas tempat tidur, merasakan punggung ini memantul ke atas sejenak.      Liburan masih beberapa jam lagi hingga esok, aku menoleh ke arah di mana gaun tidur transparan dari Libra terpajang pada besi tertanam di dinding. Ah, entahlah mengapa ini rutin terjadi padaku akhir-akhir ini. Rasa bosan pun mulai timbul hingga aku tak dapat merasakan suara ombak, mata ini pun terasa lelah jika harus menangis. Rasa kantuk justru menimpa lebih cepat. [...]      “Kamu sekarang di mana?”      Sudah hampir 2 jam aku tertidur lalu bangun dan yang ada di kepalaku hanya wajah itu. Tatapan tajam bisa membuat setiap jam nya aku berpikir mengenai apa yang ada pada tubuhnya, bentuknya begitu eksotis juga dengan sentuhan keras menciptakan rasa tiada tara. “Bisa kan ke sini?”      Tak ada balasan apapun sampai di menit ke lima panggilan telepon berlangsung, aku pun hanya bisa menatap keluar vila melihat satu hingga dua titik cahaya lembut berasal dari kapal-kapal jauh di sana, mataku mulai berlinang saat mengarah pada setiap sudut kamar yang sepi. Libra. Pria itu memang sulit untuk dipahami, otoriter tak terbantahkan bahkan kesibukannya saat bekerja bisa diacungi jempol.      “Aku kangen sama kamu, maaf ya kalau kemarin mungkin aku udah nyakitin perasaanmu. Aku… Nggak pernah tau kalau kamu dan Mas Libra salin kenal, maaf.” Bisa dikatakan aku wanita yang selalu mementingkan ego, aku tidak akan melontarkan permintaan maaf sekali pun aku salah. Tapi entah sangat berbeda ketika aku merasakan ada masalah bersama Haikal.      “Kami belum lama kenal, cuma… Kenapa itu harus kamu? Itu artinya setiap kali aku memiliki acara dengan Libra kamu pasti ada? Aku harus liat kamu mesra-mesraan sama dia?” Dari jawaban itu, suara yang terdengar parau aku memahami jika Haikal terluka.      Aku menyandarkan punggung di pinggir jendela, melihat langit-langit kamar yang entah terlihat asing. “Kamu boleh bawa wanita kok kalau ke acara pesta!”      “Nggak! Bukan itu jawaban yang harus aku denger Ze, kamu... ,”      Suara Haikal hilang entah ke mana meski panggilan ini masih berlangsung, napasnya terdengar di telinga tapi tak ada kalimat lagi dari sana. Aku merasa lemas, kedua lutut mulai tertekuk dan aku terbengkalai di atas lantai memikirkan segala yang sampai saat ini tidak ada jawaban mengenai semuanya.      “Sayang?”      Dengan senyuman aku mengerjap menitikkan air mata. “Ya, aku masih di sini.”      “Ya… Maaf, aku nggak marah kok. Walaupun pastinya aku harus lebih ekstra lagi menjaga perasaanku saat ada kamu… Dan suamimu.” Haikal mulai berkata lembut lagi seperti biasa.      “Kamu nggak salah,” aku mulai mengatur suasana hati kembali. “Ya udah, kamu pasti capek ‘kan? Istirahat ya! Aku…,”      “Tadi bukannya aku disuruh ke tempat kamu sekarang ya? Kamu di mana sayang?” Kebiasaan Haikal yang tidak pernah ingin mendengar saranku yang mungkin baginya terlalu berlebihan.      “Aku di vila, tapi ini hampir mau pulang kok.” Jawabku malas menatap seisi ruangan yang menurutku ini tatanan tempat yang sangat indah.      “Sama suamimu?”      “Iya,” aku menarik lalu membuang napas pelan, entah pertanyaan Haikal membuatku malas dan semakin lemas.      “Terus kenapa kamu minta aku ke situ hm? Ditinggal lagi?”      Aku mendengus kesal. Kenapa Haikal harus bertanya demikian? “Iya, mungkin dia ada acara mendadak. Aku nggak paham.”      “Tapi sayang, maaf aku nggak bisa ke sana. Aku harus temenin Mesya malam ini karnea tadi siang dia baru aja cek up, nggak apa-apa ‘kan?” Alasan Haikal membuat aku seketika melihat tanggal yang tertera di layar ponsel, baru aku mengingat jika ini jadwal Mesya cek up.      “Oh iya, aku lupa. Tapi kemarin Mesya udah mau makan? Gimana tadi perkembangannya pas cek up?” Adik perempuan Haikal yang menderita tumor otak sudah mulai membaik, aku hanya 2 kali saja menjenguk saat Mesya melakukan cek up setiap minggunya.      “Untuk perkembangan masih seperti kemarin-kemarin tapi dia udah mau makan kok, malah dia suka banget sama bubur ketan merah buatan kamu itu. Makasih ya kamu udah sayang sama adik aku.” Bukannya aku menanggapi dengan jawaban justru aku menahan tawa mendengar perkataan Haikal.      “Kenapa? Ada yang salah sama bahasaku ya? Ayolah sayang, aku males nebak-nebak kenapa kamu ketawa gitu!”      Rupanya Haikal mulai terpancing emosi. “Enggak, aku bukan ketawa denger bahasa kamu sayangku. Cuma… Itu… Nggak ada ketan merah, yang ada itu ketan biasa dicampur sama ketan hitam. Gimana sih? Masa tinggal di jawan 5 Tahun masih nggak ngerti juga?”      “Kan aku nggak pernah tau masakan apa saja dan gimana bahannya Zee. Lagian kan aku juga belum pernah makan makanan itu, jadi wajar dong sayang. Kamu jangan bikin gemes deh.”      Masih saja aku tertawa akan jawaban Haikal yang mulai membantah akan apa yang aku katakan. Malam sudah larut tapi aku masih saja tertawa lantang hingga seluruh ruangan penuh dengan suaraku, tapi kemudian aku mulai mengurangi karena sadar Haikal tidak menanggapi lagi. Aku pun sebisa mungkin menahannya agar tidak dianggap meremehkan.      “Sudah lebih baik ‘kan?”      Aku terdiam memainkan ujung kuku yang memiliki warna biru muda. “Sudah, makasih sayang kamu selalu bisa bikin aku ketawa.”      “Ya udah, aku juga seneng denger kamu bisa ceria lagi. Lagian menurutku nggak ada salahnya juga kalau Libra memang selalu ninggalin kamu, karena sekarang aku kenal sosok suamimu itu jadi… Aku paham kenapa dia begitu, Libra orangnya rajin dan kompeten. Kamu… Beruntung Ze.”      Sesak. Entah perasaan yang kini sudah membaik berubah menjadi jengah akan keadaan ini. “Sudah sana! Kamu jangan begadang ya! Jangan main game juga karena besok harus kerja.”      “Ze, aku serius. Tapi aku nggak akan pernah lepasin kamu gitu aja, kamu milikku Zee!”      Panggilan di malam ini aku berharap mendapat sesuatu yang berbeda. Tapi di sela-sela rasa bahagia saat mendengar suara Haikal tetap saja terselip nama itu lagi, suami yang memang sangat baik. Ya, Libra pria jujur dan tidak pernah berbuat kasar, suara yang begitu menenangkan pikiran juga perlakuannya luar biasa. Tapi tak ada perasaan biss menempatkan jika aku berada di situasi yang indah. [...]      Pagi yang membangunkan aku dengan suara keras ponsel di atas lantai, aku pun dengan malas membuka selimut dan berjalan demi menerima sebuah panggilan, tapi saat menemukan nama ‘Papa Seksi’ aku kembali pada tempat di mana aku tengah menikmati tidur. Baru saja aku menutup selimut ke wajah, ponsel kembali berdering dan itu sangat memaksaku untuk menjawab panggilan Libra.      “Ya Mas? Kenapa?”      “Ini Mami Nak, kenapa kamu nggak pulang pas Mami udah di Jakarta? Sibuk ya?”      Mataku membulat saat mendengar suara ibu mertuaku. “M… Mami, eh ini… Mami, maaf Mi aku nggak tau. Mami kapan sampai?”      “Memangnya Libra nggak bilang sama kamu? Bukannya semalam dia suruh kamu pulang ‘kan?”      Celaka. Tangan juga kaki mulai gemetar ketika mendengar suara itu, aku pun bergegas ke kamar mandi tanpa peduli ibu mertuaku menanyakan sesuatu. Yang ada dipikiran hanya berada di rumah tepat waktu saat jam makan siang, lagipula aku sudah melewatkan jam matahari terbit di pagi ini.      Tanpa peduli apapun lagi karena aku tidak bisa melihat wajah ayah mertua kecewa saat tahu aku tidak ada di rumah. Pria yang sudah berbuat segalanya untukku itu pasti akan memasang wajah sedih karena kedatangannya dari London merupakan kado yang tertunda saat peluncuran buku ketiga, kali ini aku tidak akan menyia-nyiakan waktu sebentar saja bersama ayah mertua yang sudah aku anggap sebagai orang tua kandung.      Satu bahkan dua kesalahan telah aku perbuat karena sudah telah menorehkan perilaku yang kurang sopan, aku pun harus mengakui ini kesalahan karena sudah membuat supir pribadi Libra menunggu hingga semalaman. Jarak yang menghabiskan waktu 30 menit pun sudah membuatku tersiksa.      Di depan pintu gerbang aku segera keluar dari mobil dan berlari tanpa menunggu apapun. Pintu utama rumah megah yang menjadi tempatku tinggal saat ini terbuka lebar sehingga aku tidak perlu repot membukanya penuh tenaga, di dalam ruang tengah aku merasa linglung apa yang harus dilakukan karena mencari di mana ayah mertuaku.      “Kamu kapan sih bisa bikin istrimu itu berubah? Masa sebagai kepala rumah tangga kamu nggak bisa tegas sama Shafira?”      Langkahku tertahan ketika mendengar suara ibu mertuaku berkata, aku menyembunyikan diri di balik bufet menyimpan pernak-pernik kesayanganku, dari sana aku melihat jelas Libra dan ibunya saling berhadapan menikmati secangkir teh.      “Mami itu udah nunggu lama banget loh, kalian punya bayi yang lucu-lucu. Mami udah tua Libra, kamu mau nunggu Mami sampai mati baru kamu punya anak?”      “Mi, stop berbicara seperti itu. Nggak baik!”      Aku melihat Libra mulai menghabiskan sisa teh di dalam gelas miliknya, aku pun masih menyiapkan tenaga juga mental jika suatu saat terdengar suara menyakitkan dari ibu mertuaku.      “Dari dulu nggak pernah berubah, selalu aja pulang malam bahkan nggak pulang si Shafira itu.” Aku menelan ludah ketika ibu mertua mulai menilaiku dengan sesuka hatinya.      “Enggak Mi, dia udah berubah. Sudah nggak pulang malam lagi, Shafira kan juga udah kerja Mi.” Merasa diberikan pembelaan aku sedikit lega, aku tahu Libra tidak pernah menyudutkan diriku.      “Kerja apa? Penulis itu pekerjaan orang-orang yang pemalas!”      “Mami… Jangan begitu!”      Libra yang selalu menjadi penengah yang baik, aku tersenyum saat dia meraih tangan ibunya kemudian memberikan kecupan di sana.      “Memang nyata kok, Shafira selalu mengandalkan uang kamu saja. Apa-apa serba kasih kamu beban.”      Benarkah? Apa yang diucapkan ibu mertua terkadang membuatku berpikir keras lagi, tapi satu sisi aku paham jika ini kemauan Libra dan atas permintaannya memang beralasan agar aku memiliki kesibukan meski itu hanya berdiam diri di butik atau dengan imajinasi menjadi seorang penulis novel.      “Kan dia istriku Mi, kalau bukan minta uang ke aku sama siapa lagi?”      “Tapi nggak gitu juga Libra, Mami kadang kasihan sama kamu. Jadi sumber bank bagi Shafira.”      Jemariku meraih sisi dinding yang keras sebagai pelampiasan saat aku merasa terluka dengan suara itu, dan satu hal yang membuatku kuat karena semua itu tidaklah benar dan aku masih bisa tahu jika Libra suami yang benar-benar baik.      Mereka kembali asyik menikmati teh, aku mulai mengatur perasaan juga ekspresi ketika melihat ayah mertua bergabung di meja santai teras. Aku berjalan pelan tanpa membuat sambutan untuk mereka tapi nyatanya pria bernama Hendrick, berkebangsaan Inggris itu langsung menyambut dengan senyuman.      “Hai anak Papi…”      Kedua tangan papa mertuaku berbinar, karena sejujurnya sudah lama mereka menginginkan aku dan Libra pindah ke London. Tapi sampai saat ini tak ada jawaban dari aku ataupun Libra.      “Papi apa kabar?” Aku meraih tangan itu, mengecup bagian punggungnya kemudian berganti aku memeluk Hendrick.      Tak hanya sebuah pelukan rasa rindu untuk Hendrick aku pun menyambut Tatia ibu mertua dengan sebuah kecupan di pipi, dia tersenyum manis yang entah maksud tertentu di depan Hendrick atau memang Tatia memiliki kepribadian yang lain      “Maaf aku telat,” aku menatap ke arah Libra. “Mas, aku minta maaf ya tadi malam ketiduran.”      Libra tersenyum sambil membelai punggungku. “Iya, mas tau kok. Ini juga mendadak karena tiba-tiba aja Mami manja minta dijemput.”      Tatia memukul lengan besar Libra. “Kamu ini, sekali-kali nggak apa-apalah. Kan Mami jarang ketemu kamu.”      “Iya, iya.”      Mereka tertawa seakan menikmati suasana bersama di mana aku terdiam menatap wajah tampan dengan bulu tipis di rahang Libra, aku masih saja menimang apa yang tengah dialami. Sebuah kebahagiaan tak dapat aku temukan di sana, tapi pesona bibir itu menabur dahaga juga rasa yakin yang tidak bisa aku tekankan pada diri sendiri dan yang pasti aku selalu bisa menerima Libra dalam pelukan juga gairah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD