Chapter 5

1830 คำ
“Ya, Bawel, kau tenang saja. Aku akan ke kantor besok.”           “Benar ya? Proyek ini hanya bisa gol dengan tanda tanganmu saja.”           “Ya Tuhan! Iya, Jamie. Kau cerewet sekali seperti wanita hamil saja!” Ujar Dave kesal.           Jamie terkekeh di ujung sana. “Sekalian kau belajar menghadapi perempuan hamil nantinya!”           Dave mencibir. “Aku sudah terbiasa dengan orang hamil yang bawel dan cerewet. Jadi jangan kau tambah penderitaanku!” Dave mematikan ponselnya setelah mendengar tawa Jamie yang semakin menggelegar.           “Jadi orang hamil itu bawel dan cerewet?”           Dave berjenggit mendengar suara itu.  Ia menoleh dan mendapati Abby menatapnya dengan cemberut dan mata berkaca-kaca. Kehamilan keduanya ini benar-benar membuat Abby menjadi drama queen.           “Eh...oh...tidak, Sayang. Tentu saja tidak. Aku...”           “Hueeeee...” Abby mulai berteriak. Persis seperti Mika jika sedang menangis.           “Sugar, ada apa?” Damian menghampirinya dengan kaget.           “Kakaaakkk,” Abby memeluknya dengan terisak-isak.           “Ada apa, Dave?” Tuntut Damian pada Dave.           Dave menggaruk lehernya. “Dia...”           “Kak Dave bilang aku bawel dan cerewet!” Potong Abby melapor pada Damian.           “Bukan kau yang bawel, Sayang. Aku hanya...”           “Lalu siapa lagi! Hanya aku yang sedang hamil di sini!”           Damian menatap Dave dengan senyum dikulum. Memintanya untuk tetap diam dan menuruti Abby. Semua tahu bagaimana dramanya perempuan itu semenjak hamil. Damian memeluknya dan mengusap punggungnya dengan sayang sampai Abby berhenti menangis.           “Maafkan aku, Sayang.” Dave mendekat dan gantian memeluknya.           Abby terisak di dadanya. Dave mengusap punggungnya lembut seperti yang Damian lakukan. Sedrama queen apapun, Abby tetaplah adik yang sangat ia sayangi.           “Aku menyusahkanmu ya?”           Dave menggeleng. Memang, selama satu minggu ini ia di Jerman, Abby tidak pernah mau jauh-jauh darinya. Hal itu sampai mmbuat suaminya kesal karena merasa tidak dibutuhkan lagi.           “Sayang, aku harus pulang besok.”           Abby menatapnya. Bibirnya mencebik lagi, bersiap menumpahkan air matanya. “Hueeeee,” teriaknya lagi. Dave dan Damian menenangkannya dengan panik.           “Ada apa ini? Kalian apakan istriku??” Devan datang dan langsung mendekap tubuh istrinya. Matanya melotot tajam pada Dave dan Damian. “Ada apa, Sayang?”           “Kak Dave...hiks...dia...”           “Kau apakan istriku, Dave??”           Dave mengerang frustasi. Dirinya lagi yang kena.           “Aku mau ikut pulang ke Edinburgh besok!”           Devan membelalak. “Ed...Edinburgh?? Tetapi bukankah kau ingin ke Malaga?”           Abby menggeleng. “Aku sudah tidak mau kesana. Aku mau ikut Kak Dave ke Edinburgh!”           Dan jadilah malam itu mereka semua, termasuk keluarga kecil Daniel, terbang ke Edinburgh. Si kecil Louis juga belum mau berpisah dengan Dave. Entahlah, mereka sangat menyayangi paman mereka ini. Dave membawa mereka ke rumah orangtuanya. Tidak mungkin membawa dua keluarga itu ke apartemennya.           Rumah besar bergaya Victoria itu selama ini hanya dihuni para pelayan. Rumah ini peninggalan kakeknya. Saudara ayahnya memilih tinggal di rumah mereka sendiri dan membiarkan rumah ini kosong. Hanya sesekali ayah atau ibu Dave kemari. Ibu Dave yang memang orang Indonesia, tidak terlalu betah tinggal di Edinburgh. Entah kenapa.           “Kak, aku ikut ke kantormu ya besok?” Pinta Abby sebelum Dave masuk ke kamarnya.           “Aku besok ada meeting. Apa tidak apa-apa?”           Abby mengangguk sementara Devan menghela napas pasrah. Hamil kali ini Abby benar-benar tidak mau jauh dari Dave. Semua harus Dave. Devan sampai merasa tidak berguna lagi. Kecuali waktu tidur. Tidak mungkin juga Devan membiarkan istrinya tidur dengan Dave. Lagipula sang istri juga tidak akan bisa tidur tanpa bau tubuhnya.            Keesokan paginya, Dave baru saja keluar dari kamar saat Abby menyambutnya di depan kamar. Dave tersenyum dan mengecup keningnya dengan sayang. Dave sungguh menyayangi gadis ini seperti ia menyayangi Diva,  adik kandungnya sendiri. Ia akan melakukan apapun agar bisa melihat senyum di wajah cantiknya.           “Kau sudah siap?”            Abby mengangguk.            Dave tersenyum dan mengelus kepala Abby. “Anak-anak tidak ikut?”           “Mika ingin bersama kakak Louis-nya. Michelle mau belajar membuat kue bersama aunty Diva-nya. Mike bersama Daddy dan Uncle D Two-nya bermain golf di belakang,” Abby menjelaskan.            Dave menggandeng tangan Abby dan membawanya ke mobil. Abby duduk dengan manja di sampingnya. Memeluk pinggangnya. Dave juga heran kenapa Abby menjadi sangat manja padanya. Usia kehamilannya sudah lima bulan, seharusnya dia sudah melewati masa-masa menginginkan sesuatu seperti yang mamanya sebutkan sebagai ngidam. Namun tampaknya Abby benar-benar tidak mau jauh darinya.            Mereka sampai di kantor Dave tidak lama kemudian. Semua pasang mata menatap mereka berdua dengan terkejut. Bagaimana tidak, selama ini semua orang tahu Dave itu single, dan sekarang tiba-tiba saja ia datang ke kantor bersama seorang wanita. Hamil pula.           Para wanita menatap mereka berdua dengan patah hati.  Dave terlihat tidak peduli. Ia malah memeluk pinggang Abby dengan posesif. Jujur, ia tidak suka dengan para wanita di kantor yang sangat suka memperhatikan atau sengaja menggodanya. Biar saja para wanita itu menganggapnya sudah menikah. Entahlah, sejak terakhir kalinya ia patah hati karena Angel, sejak itu pula rasa hatinya ikut mati.            Ya, bilang ia cheesy atau semacamnya, tetapi Dave benar-benar patah hati pada gadis Asia itu. Apa yang kurang darinya sampai gadis itu menolaknya? Ia hanya ingin seperti teman-temannya yang sudah menemukan cinta sejatinya. Hidup bahagia bersama anak-anak mereka. Dave juga ingin itu dalam hidupnya. Namun dimana wanita itu?           “Kak, aku mau ke kamar kecil sebentar ya?”           “Di ruanganku saja.”           Abby menggeleng. “Itu ada toilet.” Tangannya menunjuk toilet di sudut.           “Ya sudah. Setelah itu langsung ke ruanganku saja ya. Aku akan meeting sebentar.” Dave mencium keningnya dan meninggalkannya ke ruang meeting. Memulai kembali tugasnya setelah absen selama satu minggu kemarin. ******           Rae sedang mengepel toilet di ruang direksi itu. Toilet yang sangat bersih dan besar yang sejujurnya sudah tidak perlu dibersihkan. Sudah satu minggu ia bekerja di kantor ini sebagai petugas kebersihan. Rae pikir ia akan membersihkan seluruh ruangan di gedung ini, tetapi ternyata Jamie menyuruhnya membersihkan ruang direksi saja. Ruangan ini hanya ada ruangan CEO, ruang meeting, dan ruang tunggu di sebelah ruang sekretaris pribadi sang CEO.            Ada tiga orang yang setiap harinya membersihkan lantai khusus ini termasuk Rae. Sebenarnya tugasnya hanya membersihkan ruangan sang CEO yang kata Jamie setampan Jamie Dornan itu. Namunterkadang ia merasa tidak enak pada temannya yang masih bekerja, hingga ia sering membantu pekerjaan temannya itu. Selly dan Dorothy. Saat ini mereka sedang membersihkan ruang tunggu.            Kadang Rae heran, kantor ini sudah sangat bersih, untuk apa dibersihkan setiap hari. Hanya memboroskan alat kebersihan saja. Apalagi ruangan CEO yang satu minggu ini kosong. Jamie tetap menyuruhnya untuk membersihkan setiap hari. Jamie bilang padanya, sang CEO muda itu sangat perfeksionis dan rapi. Pria itu tidak mau ada setitik debu pun di mejanya.            “Permisi.” Seorang wanita hamil yang sangat cantik masuk dan tersenyum ramah pada Rae.           Rae membalas senyumnya.  “Hati-hati, Nyonya, lantainya masih licin.” Rae menghampirinya dan menggandeng tangan wanita itu. Wanita itu tersenyum lagi.           Rae membereskan peralatannya dan menunggu sampai wanita itu selesai di kamar mandi. Ia tidak mau wanita itu terpeleset nantinya.            “Mari saya bantu, Nyonya.” Rae menggandengnya dengan sigap.           “Terima kasih. Maaf aku mengganggu kerjamu,” jawabnya.           Rae menggeleng. “Tidak. Saya sudah selesai mengerjakannya.”            Rae menggandeng tangan wanita itu sampai mereka berdua ada di ruang tunggu. “Apa Anda akan menunggu di sini?”           Wanita itu menggeleng. “Disana.” Tangannya menunjuk pintu coklat besar di tengah ruangan.           “Oh! Maafkan saya, Nyonya.”           Ternyata wanita hamil ini istri dari CEO-nya!  Rae tidak menyangka istri CEO-nya ternyata secantik ini. Akan tetapi tidak mungkin juga seorang CEO mempunyai istri berparas biasa saja seperti dirinya. Jamie saja menolaknya apalagi seorang CEO setampan Jamie Dornan.           “Kenapa kau meminta maaf?” tanya wanita itu heran.           Rae memandangnya dan tersenyum gugup. “Sa...saya...tidak tahu kalau Anda...”           Wanita itu terkikik geli memotong ucapan Rae yang terbata. “Tidak usah meminta maaf, kau tidak melakukan kesalahan apapun padaku.”           Rae membungkukkan sedikit badannya.           “Tidak usah meminta maaf begitu, ngg...siapa namamu?”           “Rae. Nama saya, Rae, Nyonya.”           “Panggil saja aku Abby. Jangan Nyonya. Aku jadi merasa tua,” ucapnya sambil terkekeh.            “Jangan, Nyonya. Saya hanya pegawai rendahan di sini. Tidak pantas saya memanggil Anda hanya dengan nama saja.”           “Jangan membantahku! Panggil aku Abby!” Wanita cantik itu pura-pura melotot marah.            Abby tersenyum kecil. “Baik Nyo...Ab.”           Abby tersenyum puas. “Apa kau masih ada pekerjaan?”           Rae menggeleng.           “Bagus. Kalau begitu temani aku.” Abby menyeret tangannya ke ruangan sang CEO.            “Ta...tapi Ab...”           “Jangan membantahku, Rae!”           Rae hanya bisa pasrah saat wanita itu membawanya masuk ke ruangan sang CEO dan mendudukkannya di sofa hitam yang empuk. Ia sebenarnya tidak enak. Dirinya belum pernah bertemu CEO itu. Tidak ada satupun foto di ruangan ini. Rae takut kalau CEO itu adalah seorang yang galak mungkin? Apa ia akan dipecat jika bosnya itu tahu ia berani bersantai-santai di saat kerja seperti ini.            “Tidak usah takut. Tidak akan ada yang memarahimu,” ucap Abby seolah tahu apa yang Rae pikirkan.           Rae meringis. Merasa malu karena Abby tahu apa yang ia pikirkan. Namun Abby tampaknya wanita yang baik. Ia juga tidak sombong dan galak seperti kebanyakan para wanita kaya. Seandainya wanita itu berasal dari golongan yang biasa saja seperti dirinya, mungkin mereka bisa menjadi teman dekat.            Selama ini, Rae tidak pernah punya teman.  Tinggal di kota kecil sebagai seorang anak yang tidak mempunyai ayah dari seorang wanita yang tidak pernah menikah bukanlah hal yang menyenangkan. Dia sudah kenyang menjadi bahan hinaan teman-teman atau tetangganya. Hanya Jamie yang ia punya.            “Rae, kenapa kau melamun? Percayalah, tidak akan ada yang memarahimu,” Abby bertanya dengan lembut.           “Tidak, Ab. Aku...hanya...” Rae bingung bagaimana menjelaskannya pada Abby. Ia baru sekali bertemu wanita ini. Ia tidak tahu bagaimana sifat asli Abby. Apa Abby benar-benar baik atau tidak?           “Ada apa? Apa kau takut padaku?”           Rae menggeleng.           “Kau takut dipecat?”           Rae menggeleng lagi.            “Aku...aku hanya berpikir, seandainya aku punya teman atau saudara.”           Abby tersenyum. “Kita bisa berteman kalau kau mau.”           “Eh,oh, tidak, Ab. Aku...”           “Kenapa? Kau tidak mau berteman denganku?”           “Kenapa kau baik sekali? Kita bahkan baru sekali bertemu. Biasanya para wanita kaya tidak mau bergaul dengan kami orang miskin,” tanya Rae tanpa menghiraukan pertanyaan Abby.            “Aku bukan wanita kaya. Dan aku pernah berada di posisimu.”           Mata Rae membulat. Jadi wanita ini pernah menjadi orang miskin sepertinya? Apa dongeng Cinderella di dunia ini benar-benar nyata? Seorang perempuan miskin bertemu dengan pangeran tampan, apa itu mungkin?           “Rae dari mana asalmu?”           “Aku dari Donaghadee.”           “North Ireland? Berarti kau bisa membuat Shepherd Pie?” mata Abby berbinar.           Rae menggangguk. “Tentu saja!”           Mata Abby semakin berbinar. “Kau harus ke rumahku. Buatkan aku!!” Abby melonjak-lonjak kegirangan.            “Ab, tenanglah, kau sedang hamil.”           Abby meringis. Rae tertawa melihatnya. Wanita ini benar-benar menyenangkan. Tampaknya mereka bisa cocok menjadi teman.            “Sayang, maaf lama menunggu.”           Suara itu kontan membuat Rae menoleh dan matanya sontak membulat sempurna.           “KAU??!!!”                  
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม