“Uncle Dave!!!!”
Teriakan itu menyambut Dave saat ia tiba di airport.Dave tersenyum dan segera menggendong bocah laki-laki berumur lima tahun itu. “Kau makin tinggi saja, Louis.” Dave mengamati keponakannya yang sudah ia turunkan.
Louis menyeringai menatapnya.
Daniel menghampirinya dan menepuk bahunya pelan. Di belakangnya muncul Mike yang tersenyum manis padanya. Senyum yang sama dengan senyum yang dimiliki ibunya, Abigail.
“Hai, Mike!” Dave menggendongnya. Memutuskan memanggil bocah itu Mike karena ayah dan ibunya tidak ada. Bisa gawat jika ia marah. Jika anak ini mengamuk hanya ayah dan ibunya yang bisa menenangkan.
“Mike! Turun dari uncle-ku! Uncle, aku mau digendong jugaaaa!!” Louis menjerit marah.
Louis dan Mike tidak pernah akur. Selalu saja ada yang mereka perebutkan. Dan sekarang paman mereka yang direbutkan.Mike menggeleng sambil memeluk erat leher Dave. Sepertinya anak itu sangat merindukan Dave.
“Louis gendong Daddy saja ya?”
Louis menggeleng keras kepala. “Aku mau uncle-ku, Dad!”
“Mike, kau digendong Uncle D Two dulu ya? Mau? Nanti Uncle gendong lagi,” Dave mencium pipi Mike saat boca itu mengangguk dan berpindah ke gendongan Daniel.
Selalu Mike yang akhirnya mengalah. Mungkin karena anak itu sudah biasa berbagi dengan saudara-saudaranya. Tidak seperti Louis yang anak tunggal. Anak itu bahkan belum mau memiliki adik.
Mereka tiba di kediaman Damian setengah jam kemudian. Rumah Damian tampak ramai karena semua keluarganya berkumpul di sana. Diva sedang asyik membuat Caesar Salad di dapur. Orangtua Damian menemani para anak-anak bermain. Rasanya sudah lama sekali Dave tidak berkumpul dengan keluarga dan sahabatnya. Dia bahkan belum pulang ke Jakarta semenjak satu tahun lalu pindah ke Edinburgh.
“Hai, Sayang, bagaimana keponakanku?” Dave mencium kening Abby dan mengelus perutnya yang membuncit di usia kehamilannya yang sudah lima bulan itu.
“Dia merindukan pamannya.” Abby memeluknya manja, sementara Devan cemberut menatap mereka.
“Kau masih cemburu saja padaku, An?” Dave menggodanya, membuat Abby terkikik melihat mereka.
“Kau tidak ingin melihat keponakan barumu, Uncle?”
Dave menoleh dan mendapati Damian berdiri di depannya sambil menggendong bayi perempuan yang sangat cantik. Dave bangkit dan meraih bayi gemuk itu dalam pelukannya. Bayi yang sangat cantik dengan mata biru dan rambut coklat yang persis seperti ibunya. Dave membayangkan ia juga akan memilikinya suatu saat nanti. Seorang bayi dengan mata biru yang cantik.
Mata biru?
Bayangan gadis menyebalkan yang dua kali bertengkar dengannya melintas di benaknya. Gadis itu memiliki mata biru yang sangat cantik.Dave menggelengkan kepalanya. Sial! Kenapa gadis barbar itu bisa muncul dalam ingatannya?
“Kau pusing, Dave? Mungkin kau bisa istirahat dulu?” Damian menepuk bahunya dan mengambil bayinya dari gendongan Dave.
Dave tidak menyangkal ataupun mengiyakan. Ia segera pamit menuju lantai dua. Mungkin setelah ia tidur, pikirannya akan jauh lebih jernih.
Jamie Mc Adams:Aku sudah menemukan petugas kebersihan ruanganmu yang baru. Apa aku bisa langsung menerimanya? Atau harus menunggumu pulang?
Dave membaca pesan dari Jamie setelah ia bangun tidur.
Dave Cromwell: Terima saja. Kau tahu bagaimana standarnya. Aku percaya padamu.
Beberapa waktu lalu, ada satu petugas kebersihannya mengundurkan diri.
Dave selalu mempercayakan orang itu untuk membersihkan ruangannya. Dia menyukai hasil pekerjaannya yang bersih dan rapi. Pegawai itu juga bisa membuat kopi yang pas dengan seleranya. Karena itulah Dave menyuruh Jamie untuk mencari satu petugas kebersihan yang bisa membersihkan ruangannya, yang sesuai dengan standarnya. Jamie sudah hapal bagaimana dirinya, jadi pria itu pasti mengerti bagaimana kriteria pekerja yang harus diterimanya. Dave tidak suka ada sembarang orang yang membersihkan kantornya.
Dave menoleh saat mendengar pintunya diketuk. Ia bangkit untuk membuka pintu dan menemukan Abby menyeringai di baliknya.
“Aku tidak mengganggu istirahatmu kan?”
Dave menggeleng. “Masuklah.”
Abby masuk dan duduk di sofa coklat di seberang ranjang. Dave menyusul duduk disampingnya.
“Ada apa, Sayang?”
Abby menggigit bibirnya. Dave tahu itu artinya wanita ini ingin minta sesuatu padanya.
“Hentikan menggigiti bibirmu seperti itu. Katakan apa yang kau inginkan,” ucapnya lembut.
“Mmm... maukah kau... memijat kakiku? Aku sudah beberapa hari ini ingin merasakan pijatanmu,” ucap Abby takut-takut.
Dave tertawa dan menaikkan kaki Abby ke pangkuannya, lalu mulai memijat betis wanita itu yang mengencang.
“Devan marah-marah karena aku menolak dipijatnya sejak tiga hari lalu.”
“Anakmu selalu saja minta yang aneh-aneh ya?”
Abby terkekeh. “Untung suamiku menuruti semuanya.”
“Jadi kau disini rupanya,” Devan muncul dari balik pintu. “Mika mengamuk,” lanjutnya lagi.
“Ya Tuhan! Cepat sekali dia bangun,” Abby bangkit dengan tergesa.
Devan meraih bahunya. “Tenanglah, Sayang. Dia sudah bersama neneknya.”
Abby duduk lagi dan memosisikan kakinya kembali di pangkuan Dave.
Jika di sini, ia bisa lebih tenang. Ibu Damian bisa membantunya menenangkan anak-anak. Anak-anak mereka selalu bisa tenang di pelukan Oma Mandy-nya itu. Padahal ibu kandung Abby saja tidak bisa menenangkan mereka.
“Kenapa kau duduk disitu, An? Bukankah anakmu sudah tidak menangis?” Tanya Dave menatap Devan yang duduk di samping istrinya.
Devan mencibir. “Aku ingin bersama istriku, Dave. Kau diam saja.”
“Kau merusak pemandangan tahu. Keluar saja dari kamarku.”
“Dia istriku. Tentu saja aku harus menemaninya dimanapun.”
“Stop! Aku bosan mendengar kalian bertengkar setiap bertemu,” Abby menyela saat melihat Dave akan membuka mulutnya lagi.
“Ini gara-gara suami pencemburumu itu,” Dave gantian mencibir.
“Kau juga, aku kan hanya ingin dipijit kakakku. Ini anakmu yang meminta,” Abby mendelik sewot pada suaminya.
“Iya, Sayang, aku tahu. Maafkan aku.” Devan mencium pelipis istrinya.
“Tidak usah bermesraan di depanku!”
Kedua pasangan itu terkekeh.
“Kak, aku jadi ingat. Kau kan punya hutang cerita padaku.”
Dave mengerang mendengar ucapan adiknya itu. Kenapa dia masih ingat juga?
“Jadi, siapa gadis itu?” Abby melanjutkan.
Dave diam saja. Tangannya tetap asyik memijat kaki Abby.
“Kak!” Abby mengguncang lengan Dave pelan.
“Apa yang harus aku ceritakan. Aku hanya bertemu dengannya dua kali. Dan gadis itu sangat menyebalkan.” Bibir Dave mengerut mengingat saat ia bertengkar dengan gadis barbar itu.
“Ceritakan bagaimana kalian bertemu!!” perintah Abby dengan antusias.
Mau tidak mau Dave menceritakan pertemuannya dengan si mata biru itu pada Abby dan Devan yang tampak sangat tertarik pada ceritanya. Mereka tertawa geli mendengar pertengkarannya dengan gadis barbar itu.
“Jadi kau kebetulan bertemu dengannya dua kali?” Abby bertanya setelah Dave mengakhiri ceritanya.
Dave mengangguk.
“Jika kau bertemu dengannya sekali lagi berarti kau berjodoh dengannya!”
Mata Dave membelalak mendengar analisa Abby yang menurutnya tidak masuk akal itu. “Itu tidak mungkin, Sayang. Aku tidak akan bertemu gorilla betina itu lagi!”
Devan terbahak. “Jadi badannya seperti gorilla?”
Dave melempar bantal sofa padanya. “Tentu saja tidak, Bodoh! Tetapi dia galak seperti gorilla.”
Lagi-lagi Abby dan Devan terbahak.
“Lalu apakah dia cantik?” Devan kembali bertanya.
Mata Dave menerawang. Membayangkan mata biru yang sebiru lautan. Rambut coklat sebahunya. Wajahnya yang bersemu kemerahan saat ia marah. Bibirnya yang berwarna pink alami yang pasti sangat menyenangkan untuk dicium.
“Sudah membayangkannya, Dave?”
Suara itu membuat Dave tergagap. Pasangan menyebalkan di depannya masih saja terkikik geli.
“Aku tidak membayangkannya!”
“Masih saja mengelak. Wajahmu menyiratkan semuanya.”
“Devan! Tidak usah sok tahu!”
Abby dan Devan semakin tidak bisa menahan tawanya saat melihat wajah Dave memerah. Sesuatu yang jarang terjadi.
“Kenapa ramai sekali disini? Apa Abs meminta Dave memakai rok?” Daniel masuk bersamaan dengan Damian yang menyusul di belakangnya.
“Kenapa wajahmu memerah, Dave? Sugar, kau meminta apa darinya?”
Abby hanya menggeleng sambil masih terkikik. Meminta suaminya untuk menjelaskan.
“Singa gunung ini sudah menemukan singa betinanya.”
“Benarkah???” Tanya Daniel dan Damian bersamaan.
“Devandra! Jangan sembarangan bicara,” Dave menghardiknya kesal.
“Dan kalian tahu, singa betina itu dengan berani melawan singa gunung ini,” Devan tetap melanjutkan ceritanya, tidak peduli dengan raut wajah Dave yang cemberut.
“Wow! Kejar dia sampai dapat!” Damian menepuk bahu Dave.
Dave menatapnya kesal. “Damian! Gadis itu menyebalkan. Aku tidak akan betah menjadi suaminya. Dia sangat galak dan barbar.”
“Aku dan Kimmy dulu juga begitu. Kau tentu ingat bagaimana sebalku padanya dulu kan?”
“Ini berbeda. Gadis itu benar-benar menyebalkan. Dia merebut mejaku. Dia menjatuhkan ponselku. Dia mengotori jasku. Dan yang paling parah, dia meneriakki aku perampok. Perampok, Damian! Di tengah-tengah mall!!” Dave bercerita dengan menggebu-gebu sekaligus kesal.
Namun bukannya prihatin, keempat orang itu malah terbahak-bahak mengejeknya yang baru kali ini kalah berhadapan dengan seorang wanita. Dave cemberut. Awas saja, jika bertemu lagi, ia akan membalas dendam pada gadis itu.