Chapter 8

1534 คำ
Rae menjatuhkan mangkuk yang dipegangnya ke counter setelah mendengar teriakan itu. Mangkuk menggelinding di counter, berputar-putar hingga akhirnya masuk ke bak cuci piring. Tangannya sontak naik ke d**a, menahan agar detak jantungnya tidak menggila karena ketakutan.           Sial! Jika dulu ia bisa dengan berani menghadapi pria tua pemarah itu, sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sekali ia membalas, bisa dipastikan ia akan kehilangan pekerjaan.           “Kenapa kau selalu membentak Rae?” Suara Abby terdengar galak.           “Baby, aku heran kenapa dia bisa selalu ada di dekatku! Membuatku sakit kepala saja!”           “Mungkin kalian berjodoh,” goda Diva disambut tawa membahana di ruangan itu. Kecuali Rae dan Dave tentunya.           Wajah Rae sontak memerah. Bagaimana bisa Diva berkata seperti itu di depan Abby?           “Abs, mungkin aku akan pulang sekarang,” ujar Rae sambil menoleh pada Abby yang berdiri di sampingnya. Abby mendelik padanya.            “Heh, anak kecil! Memang lebih baik kau pulang!” Bentak Dave lagi dengan galaknya.           Rae berbalik dan menunduk. “Y...ya, Sir.”           “Kau jahat sekali, Dave, mengusir gadis secantik ini. Dia harus makan siang bersama kita!” Wanita itu datang dan memukul bagian belakang kepala Dave, membuat semua tertawa dan Dave menggerutu.           Rae mendongak dan bersitatap dengan wanita cantik berparas Asia.           “Hai, Sayang, aku, Jane, ibunya pria pemarah ini.” Wanita cantik itu memeluknya dengan hangat.           Rae tersenyum. “Nama saya Rachel,Ma’am.”           “Jangan panggil aku Ma’am. Tidak usah terlalu sopan padaku,” ucapnya sambil tertawa.           Rae menunduk saat matanya bersitatap dengan mata galak Dave. s**t! He's so intimidating!           “Ayo, Sayang, kau harus makan sekarang.” Seorang pria tampan tampak merangkul pinggang Abby mesra, mengajaknya ke ruang makan.           Rae melotot melihatnya. Apalagi saat Abby dan pria itu berciuman kilat di bibir. Mata mereka tampak penuh cinta. Bukankah Abby itu istri Dave?           “Apa yang kau lihat, Rae? Kau ingin seperti mereka?” Suara Diva membuatnya tergagap.           Rae menyeringai malu. ”Siapa pria itu?” Tanyanya ingin tahu.           “Dia Devan, suami Abby,” Diva menjelaskan sambil menyusun shepherd pie yang baru keluar dari panggangan.           “Suami??” Teriak Rae kaget hingga Diva hampir menjatuhkan loyang yang dipegangnya.           “Kenapa kau sekaget itu?” Tanya Diva heran.           “Bukankah Abby istri singa gunung pemarah itu?”           Diva tertawa terbahak-bahak begitu mendengar pertanyaan Rae.           “Cara, kau kenapa?” Seorang pria tampan lain menghampiri mereka.           Adakah orang sejelek aku di rumah ini?           “Babe, kau tahu julukan apa yang Rae berikan pada kakakku?”           Pria tampan itu menggeleng.           “Rae memanggilnya singa gunung pemarah,”ucapnya lalu mereka berdua terbahak-bahak.            “Kau lucu sekali, gadis kecil. Tampaknya kau bisa menaklukkan singa tua itu,” ujar pria itu sambil mengacak rambut Rae.           “Aku?? No, aku tidak tertarik menjadi pawang singa tua pemarah seperti dia. Bisa-bisa aku ikut menjadi tua!”           “Siapa yang kau panggil singa tua pemarah?”           Rae melotot mendengar suara itu. Seringaian polos ia tunjukkan pada Dave, berharap pria itu akan mengalihkan tatapan tajamnya. Sedangkan Diva dan suaminya semakin terbahak lalu menyingkir dari tempat itu. Meninggalkan mereka berdua di sana.           Dave berjalan mendekat pada Rae tanpa memalingkan pandangannya. Rae menelan ludah dengan susah payah. Pria itu tampak menakutkan, menyeramkan, tetapi juga tampan dan...seksi.           “Kau bilang aku apa tadi, little bunny?” Tanyanya dengan suara rendah yang lagi-lagi membuat Rae menelan ludah.           Jarak pria itu sangat dekat dengannya. Rae bahkan bisa mencium aroma tubuh Dave. Aromanya menyenangkan seperti aroma kayu-kayuan segar di hutan cemara. Tanpa sadar Rae memejamkan mata, menghirup aroma menyenangkan ini.           “Kau bilang aku singa tua pemarah?” Dave berbisik di telinga Rae membuat seluruh tubuh Rae bergetar.           “Ti...tidak...aku...Anda...”           Dave mendengkus di telinganya. Membuat Rae hampir terjatuh karena sebuah gelombang aneh yang ia tidak tahu apa, menyerangnya. Dave menahan tubuh Rae dan mendudukkannya di counter dapur. Pria itu mengurungnya dalam kukungan tangannya yang kokoh. Dan tanpa permisi, pria itu membungkam mulutnya.           Rae terkesiap. Tangannya mencoba mendorong d**a Dave untuk mundur, tetapi pria itu tidak bergerak sedikitpun. Hanya bibirnya yang terus mencecap bibir Rae dengan lembut. Sangat berbeda dengan ucapannya yang pedas, ciuman pria ini justru terasa sangat manis dan memabukkan. Membuat Rae tanpa sadar membuka mulutnya. Hingga...           “Apa yang kalian lakukan?” *****           Dave tidak menduga bahwa mencium gadis kecil ini terasa sangat...menyenangkan. Ia juga tidak tahu setan apa yang merasukinya hingga ia bisa lepas kontrol seperti ini. Saat melihat pipi gadis itu yang merona menatapnya, akal sehat seolah pergi dari otaknya. Yang ingin ia lakukan hanyalah merasakan bibir merah yang tampak menggairahkan itu. Dan ternyata Dave benar. Bibir gadis itu terasa sangat manis, seperti buah cherry. Dave tidak bisa berhenti, dan tidak ingin berhenti. Sampai suara itu membuyarkan semuanya.           “Baby...”           “Aku melihat semuanya,” jawab Abby sambil terkikik geli.           Dave cemberut dan keluar dari dapur tanpa bicara apapun. Sial! Apa yang sudah dia lakukan? Ia langsung bergegas naik ke kamar. Mencoba menghilangkan debar jantungnya. Ia membanting pintu kamar mandi dan menghidupkan shower tanpa melepas pakaian. Tubuhnya terasa panas. Bahkan ia merasakan sesak di bawah sana. s**t! Apa yang dia lakukan tadi? Bisa-bisanya dia mencium kelinci kecil itu!           Dave memejamkan mata. Mengingat rasa bibir gadis itu membuatnya celananya semakin terasa sempit dan sakit. Ini saat terlama dirinya tidak menyentuh perempuan. Sudah sangat lama sejak terakhir kali ia berhubungan badan dengan seorang perempuan.            Ia hanya ingin berubah. Seperti Damian yang menemukan Kimmy. Seperti Daniel yang menemukan Diva. Karena itulah ia menjauhkan dirinya dari dunia malam yang selama ini sering dilakukannya. Namun nyatanya ia masih saja sendiri sampai menjelang usianya tiga puluh tiga tahun seperti sekarang.           Dave tetap diam di kamarnya, menunggu hingga gadis itu pulang. Dave tidak ingin menemuinya. Apa yang harus ia katakan pada semua orang?           Ketukan di pintu menyadarkan lamunannya. Dave beranjak dari duduknya dan membuka pintu yang sejak tadi dikuncinya rapat-rapat.           “Ada apa, Sayang?” Tanyanya melihat Abby berdiri di depan kamarnya.           “Maukah kau melakukan sesuatu untukku?”           “Apa itu?” Tanyanya curiga.           “Berjanjilah dulu kau akan melakukannya?”           Dave menatap Abby yang menatapnya memohon. Ia merasa ada yang tidak beres dalam tatapan itu. “Okey,” jawabnya akhirnya.           Mata Abby berbinar seketika. “Tolong antarkan Rae pulang ya?”           See? Gadis kecil ini mempunyai 1001 macam cara untuk membuatnya dekat dengan gadis itu.           “Dia datang sendiri, jadi dia juga bisa pulang sendiri.”           “Kakaakkk, pleaseeee,” Abby benar-benar menghiba sekarang.           Dave mengacak kesal rambutnya dan terpaksa mengangguk daripada Devandra merajamnya. Ia langsung turun menuju carport dan masuk ke dalam SUV-nya, menunggu gadis kecil itu berpamitan dengan keluarganya.  Gadis itu masuk ke mobil tidak lama kemudian.           “Kau tinggal di mana?” Tanyanya dingin.           “217 High Street.”           Dave mengernyit. Apartemen Jamie? Double s**t! Aku mencium pacar temanku sendiri! Ia mencengkeram kemudi dengan erat. Sebagian dirinya merasa bersalah pada Jamie. Tetapi sebagian lagi merasa... senang? Holy s**t! Apa yang aku rasakan pada kelinci kecil ini?           “Sir, saya turun di depan saja,” ucapan gadis itu membuat Dave memperlambat laju mobilnya.           “Maksudmu?”           “Saya...ngg...saya ada sedikit keperluan.”           Dave mengangguk. Tidak berniat bertanya meskipun ia penasaran setengah mati.           “Terimakasih sudah mengantar saya.”           Dave mengamati punggung gadis kecil itu dari balik kaca mobil. Ia masih belum ingin beranjak. Entah kenapa ia ingin sekali mengikuti gadis kecil itu. Dimana Jamie? Kenapa dia membiarkan pacarnya pergi sendirian?           Setengah tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, Dave keluar dari mobilnya dan mengikuti gadis itu. Ia merasa seperti stalker sinting, tetapi ia akan benar-benar mati penasaran jika tidak mengikuti kemana gadis itu pergi.            Dengan tetap menjaga jarak aman, Dave terus mengikuti gadis kecil itu. Gadis itu tidak terlihat seperti ingin berbelanja atau apa. Langkahnya malah semakin memasuki jalanan yang Dave sendiri bahkan tidak pernah tahu. Bagaimana jika gadis itu tersesat?           Lalu mata Dave membelalak saat gadis itu mulai memasuki apartemen kecil bertuliskan: Disewakan.Dia mencari tempat tinggal sendiri? Tetapi untuk apa? Apa Jamie mengusirnya? Apa mereka bertengkar?           Dave berdecak dengan pemikirannya sendiri. Untuk apa dia peduli?           “Sir, apa yang Anda lakukan di sini?”           Dave tersentak saat mendengar suara itu. Saking asyiknya melamun, ia tidak menyadari gadis itu sudah berdiri di depannya. Menatapnya dengan mata biru yang bisa membiusnya.           “Kenapa kau mencari apartemen?”           Bukan Cromwell jika tidak bisa membalikkan keadaan.           Gadis itu merona dan menunduk.           Kenapa dia mudah sekali merona?           “Aku hanya ingin mempunyai tempat tinggal sendiri,” jawabnya pelan.           “Kau bertengkar dengan pacarmu?”           Wajah cantik itu mendongak dan menatapnya heran. “Pacarku?”           “Jamie pacarmu ‘kan?”           Lagi-lagi wajah itu merona. “Bukan. Dia bukan pacarku.”           Oh! Benarkah dia bukan pacar Jamie?           Dave berdehem kecil dan menegakkan tubuhnya. “Apa kau sudah mendapatkan apartemen yang kau inginkan?”           Gadis itu menggeleng. “Sewanya terlalu mahal. Tabunganku bisa langsung habis.”           “Lalu kemana lagi kau akan mencari?”           Rachel mengangkat bahu dan melangkah mendahuluinya.           “Rachel!”           Gadis itu berhenti melangkah dan berbalik. “Panggil saja aku Rae, Sir.”           Dave menjajari langkahnya. ”Edinburgh adalah salah satu kota dengan biaya hidup termahal, little bunny. Sulit mencari apartemen bertarif murah di sini. Aku punya penawaran untukmu,” tawarnya kemudian.           “Penawaran?”           Dave mengangguk.           “Apa itu?”           “Tinggal di apartemenku dan menjadi pelayanku.”          
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม