“Rachel!”
“Rae!”
Rae berbalik saat mendengar namanya dipanggil bersamaan. Jamie dan Dave berjalan beriringan ke arahnya. Rae terdiam ditempatnya berdiri saat melihat dua pria yang sama-sama tampan dan memakai jas putih itu. Mereka berdua tampak sama-sama menawan. Bedanya, wajah Dave terlihat masam. Sedang Jamie tampak ceria.
Jamie menggapainya lebih dulu seraya memeluk dan mencium pipinya seperti kebiasaan mereka bertemu.
“Kau tinggal dimana sekarang? Rumah sepi tanpamu.”
Rae menunduk tidak enak karena Dave terus menatapnya dengan tatapan tajam penuh intimidasi seperti biasanya.
“Ngg...Jamie, kita bisa bicara nanti. Saat istirahat, okey?”
“Tidak bisakah sekarang?”
“Makan siang. Okey?”
Jamie mengangguk dan berlalu meninggalkan mereka berdua untuk ke ruangannya, sedangkan Dave masih berdiri tenang di depannya dengan satu tangan di saku celana dan satu tangan memegang kacamatanya seperti adonis yang sedang berpose untuk majalah Vogue.
“Ke ruanganku sekarang!” Ucapnya pelan tetapi tegas.
Rae memutar bola mata dan berjalan di belakang pria itu.Mau apalagi sih pria tua pemarah ini?
Ia masuk ke ruang kerja Dave dan berdiri di belakang meja setelah Dave duduk di kursi kebesarannya. Pria itu terus terdiam dan menatap Rae selama beberapa saat. Rae hanya bisa menunduk dan memainkan ujung seragamnya. Oh gosh! Sebenarnya apa mau pria tua ini?
“Jadi kau tinggal sendiri sekarang?” Tanya Dave akhirnya.
Rae mendongak menatapnya dan mengangguk.
“Kau menolak tinggal di apartemenku dan memilih untuk tinggal sendiri di tempat tinggal yang kecil dan kumuh itu?”
Wajah Rae mengeras mendengar akhir pertanyaan Dave.
“Tempat tinggalku memang kecil, Sir, tetapi tidak kumuh!” Ucap Rae kesal.
Bagaimana bisa pria sombong ini menjudge tempat tinggalnya, sedang dia tak pernah melihatnya?
Dave tersenyum miring dan mengangkat alisnya. Sebenarnya itu membuatnya terlihat sangat, sangat tampan, tetapi berhubung Rae kesal padanya, ketampanan itu menjadi menguap. Hilang terbang bersama angin.
“Aku tidak bisa membiarkan karyawanku, apalagi orang yang selalu membersihkan ruanganku, tinggal di tempat yang tidak jelas dan tidak steril seperti itu,” ucapnya masih dengan tenang.
Oh My!!
“Kau ini mengidap OCD atau apa sih? Apa semua hal yang berhubungan denganmu harus selalu kau pastikan kebersihannya??” Rae tidak tahan untuk berteriak pada pria angkuh, arrogant, dan menyebalkan itu.
Dave bangkit dari duduknya dan menghampirinya dengan tenang. Rae mundur satu langkah saat pria itu berhenti tepat di hadapannya. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya. Takut kejadian di dapur rumah pria itu akan terulang.
Dave terkekeh melihatnya. Satu tangannya terangkat dan menjentik pelan dahi Rae.
“Kau pikir aku akan menciummu?”
Rae menggeleng tetapi tangannya tetap menutup mulutnya. Pria ini licik, ia bisa saja memanfaatkan kesempatan untuk mencuri ciumannya lagi. Pria itu sedikit membungkuk ke arahnya, membuat Rae kontan mundur satu langkah lagi.
“Aku akan mengajukan penawaran.”
Dahi Rae berkerut mendengarnya. Penawaran?
“Tetapi kita akan membicarakannya saat makan siang,” sambung pria itu lagi.
“Ta...tapi, Sir, aku sudah berjanji akan makan siang dengan Jamie,” protes Rae sambil menurunkan tangannya.
“Aku bosnya di sini, Rachel. Dan aku tidak menerima penolakan.”
Selesai bicara seperti itu, pria itu mencium bibirnya dengan cepat dan berbalik.
Sial! Dia kecolongan lagi!Rae keluar dari ruangan Dave dengan kesal dan muka merah padam. Sial! Sial! Sial! Seharusnya ia tetap waspada. Pria itu benar-benar licik dan memanfaatkan kesempatan.
“Rae, ada apa? Kenapa wajahmu memerah?” Tanya Dorothy saat melihatnya masuk ke ruangan mereka beristirahat.
“Aku baru saja ingin membunuh singa tua yang sangat pemarah dan menyebalkan!” Ucap Rae kesal sambil meminum segelas air putih.
Mata Dorothy membulat dan bibirnya melongo. “Singa tua? Kau darimana memangnya? Bukankah kau baru saja dipanggil Sir Cromwell?”
“Ya! Dan singa itu ada disana. Sayang tadi aku tidak membawa sapu, jika aku membawanya tentu aku sudah memukulnya!”
Dorothy melebarkan mata dan tersenyum ceria. Rae menatap tajam pada Dorothy. Dia tahu arti pandangan mata Dorothy itu. Pandangan yang berkata, I've got a hot gossips in here.
“Hentikan senyum konyolmu itu, Dorothy!”
Dorothy berlari kecil dan berdiri menghampirinya. “Apa yang dia lakukan padamu?”
“Maksudmu?”
Dorothy terkikik seperti anak remaja yang jatuh cinta. “Dia tertarik padamu, Rae!”
“Oh! Jangan mulai!”
“Ayolah, Rae, ceritakan sedikit padaku. Apa dia menggodamu?”
“Dia hanya memanggilku untuk urusan perkerjaan.”
“Ta...”
“Rae!” Panggilan itu menghentikan apapun yang akan keluar dari bibir Dorothy. Rae mengembuskan napas lega.
“Ada apa, Selly?”
“Sir McAdams memanggilmu. Kau diminta ke ruangannya sekarang.”
“Wow! Jadi dua pria tampan di kantor ini memperebutkanmu, Rae?” Mata Dorothy berbinar menatapnya.
Rae melotot pada mereka berdua yang tersenyum-senyum genit. “Jangan menggosipkan aku!” Ucap Rae sambil keluar dari ruangan kecil itu. Mempunyai teman seperti mereka harus pintar-pintar menjaga mulut. Jika tidak, semuanya bisa kacau.
Jamie segera berdiri dari kursinya saat Rae masuk ke ruangannya. Wajahnya berseri-seri. Ada apa gerangan?
“Duduklah, Rae! Dan ceritakan padaku kenapa kau pergi dari rumah?” Ucap Jamie sambil membimbingnya duduk di sofa.
Rae mengerutkan alis. “Bukannya kita akan membicarakan itu saat makan siang?”
“Ah! Soal makan siang, maafkan aku. Aku akan keluar dengan Julia siang ini.”
Si pirang lagi!
“Oh...” hanya itu yang sanggup Rae ucapkan. Lagi, hatinya teriris pisau tak kasat mata. Perih.
“Jadi kenapa kau pergi dari rumah?” Jamie bertanya lagi.
Rae mengangkat bahu. “Aku rasa sudah saatnya aku mandiri. Aku kan sudah punya pekerjaan. Aku tak ingin merepotkanmu lagi.”
“Kau tidak merepotkanku, sayang. Aku senang kau tinggal denganku. Aku bisa makan enak setiap hari.”
Jadi hanya itu? Hanya sekedar bisa makan enak setiap hari?
“Jamie, aku...”
“Jamie … Ah... apa aku menganggu?” Suara Dave menginterupsi ucapan Rae.
Rae menunduk. Wajahnya memerah mengingat ciuman kilat tadi.
“Apa kau ada perlu dengan Jamie, miss Johnson?”
Rae menggeleng dan bangkit dari duduknya. “Tidak, Sir. Saya permisi.”
Dave mencekal tangan Rae sebelum ia keluar dari ruangan itu. “Jangan lupa nanti siang.”
Rae cemberut dan keluar dari ruangan Jamie sambil menggerutu.
Sungguh, ia sangat ingin memukul seseorang saat ini!!
*****
Dave terkekeh saat gadis kecil itu keluar dari ruangannya dengan wajah merah padam. Melihat wajah Rachel yang memerah dan bibirnya yang cemberut seolah menjadi hiburan tersendiri baginya.
Dave membuka file di depannya dan mengamati foto yang ada di sana. Gadis itu terlihat lebih muda. Mungkin itu pas foto saat masih sekolah. Namun matanya tetap berwarna biru cemerlang sebiru lautan.
Iamembaca riwayat hidup Rachel sekali lagi seolah sedang membaca berkas penting.
Gadis ini cukup pintar. Kenapa dia tidak mencari pekerjaan lain?
Jika gadis ini bukan kekasih Jamie, lalu kenapa mereka bisa tinggal bersama?
Apa karena mereka bertetangga di Donaghadee?
Mungkin ia bisa menanyakannya pada Jamie. Dave penasaran akan hubungan mereka. Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ia baru saja membuka pintu ruangan Jamie saat mendengar suara gadis itu. Rachel menunduk melihatnya. Wajahnya memerah. Dave terkekeh dalam hati. Gadis kecil yang lucu!
“Apa kau ada perlu dengan Jamie, miss Johnson?”
Rachel bangkit dari duduknya dengan gugup. “Tidak, Sir. Saya permisi.”
“Jangan lupa nanti siang.”
Dave terkekeh melihat Rachel menggerutu. Melihatnya cemberut menjadi hiburan tersendiri bagi Dave.
“Apa yang kau lihat, Jamie?” Tanya Dave galak saat melihat Jamie tersenyum-senyum padanya.
“Kau tertarik pada gadis kecilku itu, Dave?”
Dave duduk di samping Jamie di sofa. “Aku tertarik padanya? Yang benar saja!”
Jamie terkekeh. “Lalu untuk apa kau mengajaknya makan siang?”
“Ah, aku jadi ingat tujuanku kemari,” Dave mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kenapa kau menawari gadis itu menjadi petugas kebersihan?”
Jamie menaikkan alis. “Waktu itu memang hanya pekerjaan itu yang tersedia di sini.”
“Kau kan bisa memintanya menunggu. Sayang kalau gadis sepintar dia hanya menjadi petugas kebersihan.”
Jamie tertawa keras. “Kau tidak mengenalnya, Dave. Dia adalah gadis paling keras kepala yang pernah ada.”
Dave menatapnya ingin tahu. “Sebenarnya apa hubunganmu dengan gadis itu?”
“Kenapa kau ingin tahu?”
Dave mengangkat bahu. “Dia bekerja di sini. Aku berhak tahu kan?”
“Tetapi bukankah semua sudah ada di data karyawan? Dan lagi tidak semua kehidupan karyawanmu harus kau ketahui.”
Dave berdecak dan bangkit dari duduknya. “Kau akan mendapat masalah jika tidak menceritakan tentang gadis itu padaku.”
“Sial kau, Cromwell!”
Dave terkekeh dan kembali duduk mendengarkan cerita tentang hubungan Jamie dengan gadis itu.
“Kau menyukainya?” Tanya Dave setelah mendengar cerita Jamie.
Jamie menggeleng. “Bagiku dia tetap adik kecilku sampai kapanpun.”
Dave tersenyum pada dirinya sendiri dan pamit berlalu pada Jamie.
Ia tidak sabar menunggu saat makan siang untuk kembali mengganggu Rachel.
Dave merasa jarum jam kali ini berjalan lamaaaa sekali. Andai bisa, ingin benar ia memutar jarum jam itu ke angka dua belas.
Dave berdiri saat sebuah pikiran merasuki kepalanya. Bodoh! Dia kan pemilik perusahaan ini? Dia bisa makan siang kapanpun dia mau.
“Kate, tolong panggilkan, miss Johnson,” perintah Dave pada sekretarisnya.
Kate mengangguk dan segera menghubungi telepon bagian kebersihan. Tidak lama, Rachel datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa, miss Kate?”
“Aku ada perlu denganmu sekarang, miss Johnson,” jawab Dave sebelum Kate menjawab.
Rachel menoleh dan bibir gadis itu cemberut. Dave terkekeh melihatnya dan segera menarik lengan gadis itu sebelum mereka menjadi tontonan gratis bagi Kate.
“Masuk!” perintah Dave begitu mereka sampai di basement tempat mobil Dave terparkir.
Rachel masuk dengan patuh tanpa bantahan seperti biasa. Dave duduk menyusul di sampingnya. Gadis itu hanya terdiam dan tidak mau menatapnya sepanjang perjalanan mereka.
Apa dia begitu membenciku hingga tak mau bicara padaku?
Sampai di restoran yang mereka tuju pun, Rachel tetap diam.
“Apa kau tidak malu membawa orang sepertiku ke restoran mewah seperti ini?” akhirnya gadis itu bersuara.
Dave tersenyum kecil. “Restoran ini milikku. Jika ada yang berani menghinamu, akan kupastikan dia berakhir di rumah sakit.”
Rachel menunduk menahan senyumnya. Wajahnya memerah dan Dave sangat suka melihat rona itu.
“Kau ingin makan apa?” tanya Dave kemudian.
“Mmm...salmon asap saja,” jawabnya kemudian. Dave memesan yang sama untuknya.
Salmon asap itu disajikan di atas roti tawar cokelat dengan sedikit keju krim dan perasan lemon. Olahan salmon ini biasa disajikan sebagai makanan pembuka atau pelengkap makan siang di restoran-restoran Skotlandia ataupun saat sarapan. Mereka menikmati makan siang mereka dalam diam. Sesekali Dave melirik Rachel yang makan dengan sangat tenang.
“Jadi apa yang ingin Anda bicarakan denganku, Sir?” tanyanya setelah mereka selesai makan.
Dave berdehem sejenak dan menyesap anggurnya. “Aku ingin mengajukan penawaran untukmu. Aku melihat nilai akademismu cukup bagus, sayang kalau kau hanya menjadi seorang petugas kebersihan.”
“Maksud Anda?” alis Rachel berkerut menatapnya.
“Aku ingin kau menjadi asisten pribadiku dan aku akan menyediakan apartemen dan mobil pribadi untukmu.”
Wajah Rachel kembali memerah dan ia menunduk. Dave melihat tangannya mengepal di atas meja.
“Sir, saya sudah cukup puas dengan pekerjaan yang saya miliki sekarang. Dan Anda tidak perlu mencampuri kehidupan pribadi saya termasuk di mana saya tinggal!” ucap Rachel dengan tegas.
“Rachel, aku hanya ingin membantumu. Kau gadis yang pintar, sangat disayangkan kalau kau hanya menjadi seorang petugas kebersihan.”
“Tidak Sir, saya...” ucapan Rachel terhenti. Matanya nanar melihat ke satu arah.
Dave yang heran dengan perubahan sorot mata gadis itu, ikut menoleh. Di sana, di meja yang jauh dari mereka terlihat Jamie sedang asyik makan siang sambil bercanda mesra dengan seorang gadis pirang. Dave kembali menoleh dan mendapati Rachel masih menatap ke arah dua sejoli di mabuk asrama itu. Di dalam mata biru itu, Dave bisa melihat ada hati yang patah. Ada sebuah cinta yang tidak terbalas di sana. Dan Dave benci melihat itu.