Bibir Emily mencebik saat ia mengemudikan mobil milik ibunya ke distrik tempat papanya tinggal. Oke, mungkin kalian belum mengerti kenapa ia memiliki ‘papa’ lain selain pria yang tadi marah-marah padanya.
Papa, yang ia maksudkan ini bukan ayahnya, tetapi pria itu sudah lebih seperti ayah baginya. Papa adalah adik Mom. Meskipun hanya adik angkat, tetapi mereka benar-benar sudah seperti keluarga kandung.
Sejak kecil, Emily biasa memanggil pria bernama Devandra itu Papa, bukan paman. Ibunya sendiri yang mengajarkan panggilan itu pada Emily hingga ia tidak ingin mengubahnya meskipun kini sudah dewasa. Lagipula, Dad juga tidak merasa keberatan dengan panggilan itu. Sudah ia katakan jika mereka hidup dengan bahagia dan saling menyayangi kan?
Atau setidaknya sebelum hari ini, mereka hidup seperti itu. Dad kini mungkin sudah tidak sesayang itu padanya, karena jika masih sayang, Dad tidak akan membiarkannya menghabiskan masa liburan musim panas di Vernon. Jika Dad masih sayang, mereka akan menjalani liburan musim panas yang menyenangkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Di Florida, Miami, Hawai, atau ke Eropa. Bukannya menyingkirkannya seorang diri ke peternakan.
Mobil yang Emily kendarai berbelok menuju pemukiman tempat papanya tinggal dan dari jarak sejauh ini, ia sudah bisa melihat rumah keluarga Alexander yang sangat besar di ujung jalan. Abigail, istri papanya, sangat tergila-gila dengan princess dan dunia khayal, jadi papanya membangun rumah itu seperti kastil para putri dari kerajaan.
Yeah, seperti itulah pria yang sangat mencintai istrinya. Ia akan melakukan apapun untuk mewujudkan keinginan orang tercintanya. Termasuk membangun sebuah rumah besar seperti kastil dengan halaman yang sangat luas. Mereka bahkan memiliki lapangan kuda mini dengan beberapa kuda poni di halaman belakang. Hanya Devandra Alexander yang bisa mewujudkan semua itu di Ohio.
Terkadang, Emily merasa iri dengan apa yang dimiliki orang tuanya, juga paman dan bibinya itu. Beberapa orang beruntung menemukan seseorang yang begitu mencintai dan mereka cintai dengan sepenuh hati dalam waktu yang cepat. Meskipun untuk Devandra dan Abby, jalan mereka sedikit jauh lebih berliku daripada jalan kedua orang tuanya. Namun, pada akhirnya, bahagia itu datang dan menghampiri mereka.
Sama seperti ayah dan ibunya, Devandra dan Abby juga sudah saling jatuh cinta sejak usia remaja. Hanya saja, ada beberapa masalah yang membuat mereka harus saling menjauh dan terpisah selama bertahun-tahun sebelum akhirnya bertemu kembali.
Emily masih mengingat bagaimana pertemuan pertama lagi Devandra dengan Abby. Saat itu, ia juga ada di sana dan masih berusia lima tahun. Devandra mengira jika Abby adalah kekasih Uncle Dave yang juga sahabat Devandra sendiri.
Saat itu, Emily langsung menyukai perempuan yang ia panggil dengan panggilan aunty princess itu. Tidak salah memang wanita itu menyukai segala hal yang berbau princess karena memang dirinya benar-benar cantik seperti putri-putri yang pernah Emily lihat di film.
Selain itu, suaranya juga sangat lembut dan feminim hingga membuatnya terlihat seperti putri sejati. Dalam segala hal, Abby benar-benar mirip dengan Michelle, putri sulungnya meskipun gadis berusia lima belas tahun itu hanyalah anak angkat mereka.
Kadang, Emily bermimpi akan seberuntung itu. Bisa menemukan seseorang yang tepat untuknya di usia muda dan bertahan hingga mereka menikah kemudian hidup bahagia. Namun, semua itu hanya mimpi kan? Tidak banyak orang seberuntung orang tua, juga paman dan bibinya. Dan dirinya jelas tidak termasuk seseorang yang beruntung itu.
Ia akui, dirinya memang cantik, pintar, dan terutama, memiliki segalanya. Siapapun di Ohio mengenal nama besar keluarga Xanders dan Alexander. Pemilik perusahaan aerodynamic terbesar dan beberapa anak perusahaan lain yang keluarganya miliki, membuat mereka menjadi keluarga paling kaya di wilayah tersebut.
Akan tetapi, hal tersebut justru menjadi boomerang bagi Emily sendiri. Para pria mengencaninya karena tahu ia adalah putri sulung jutawan Xanders. Karena ia adalah bagian dari pewaris keluarga Alexander. Bukan karena siapa ia sebenarnya. Tidak pernah ada pria yang mendekatinya tanpa peduli uang dan kekayaan yang Emily miliki.
Karena itulah, Emily tahu jika dirinya tidak akan seberuntung itu dalam urusan asmara. Semua orang selalu memiliki motif tersembunyi setiap kali berhubungan dengannya. Oke, untuk urusan pertemanan, Emily tidak terlalu memusingkannya. Akan tetapi, jika itu berhubungan dengan asmara, Emily tidak akan menerimanya. Ia tidak mau berhubungan dengan pria yang hanya akan menjadi benalu dalam hubungan mereka.
Emily sampai di rumah besar tersebut dan segera turun dari mobil. Devandra, atau mungkin Abby, pasti sudah tahu ia akan datang kemari. Mom pasti sudah menelepon salah satu dari mereka. Satu, untuk memastikan dia benar-benar pergi kemari, dan dua, tentu saja untuk mengabarkan ‘dosa’ yang telah ia lakukan tadi malam.
Kadang, orang tuanya memang sangat keterlaluan padanya. Hingga berusia sebesar ini, Emily tidak pernah boleh menyetir lebih jauh lagi selain kemari. Nah, kalian semua bisa tahu bagaimana protektifnya Bryan Xanders padanya kan? Ketika semua teman-temannya di kampus sudah mengendarai mobilnya sendiri, Emily masih diantar jemput oleh sopir keluarga seperti anak kecil.
Pintu depan terbuka sebelum Emily sempat mengetuk dan ia menemukan papanya berdiri di balik pintu itu. Satu bukti yang membenarkan dugaannya jika Mom sudah menelepon. Sialnya, kenapa harus Papa? Kenapa bukan aunty-nya yang berdiri di balik pintu dan menyambutnya?
Walaupun Papa juga memanjakannya, tetapi pria itu lebih sering menuruti perkataan Mom. Bisa jadi, Papa juga akan berceramah kali ini. Berbeda dengan aunty yang pasti tidak akan mengomelinya.
Terlebih, raut wajah Papa tidak terlihat senang saat melihatnya. Itu jelas sebuah pertanda yang sangat buruk. Biasanya, Papa akan tersenyum lebar saat melihatnya. Hal itu tidak berubah semenjak Emily masih seorang gadis kecil hingga saat ini.
“Kau pikir dengan kabur kemari semuanya akan aman, Anak manis?” sapa Devandra begitu melihatnya.
Nah, benar kan dugaannya? Mom pasti sudah mengadu macam-macam pada Papa.
“Hai, selamat pagi juga, Pa. Aku sangat mengantuk dan hanya ingin tidur. Apa aku boleh menginap hari ini?” Tanya Emily tanpa memedulikan ‘sapaan’ papanya itu.
“Ini masih terlalu pagi untuk datang menginap. Ibumu menyuruhmu pulang.” Devandra bersedekap di depan pintu dan menghalangi jalan Emily untuk masuk ke rumah.
Jika tubuh papanya tidak sebesar itu, tentu Emily akan menerjangnya dan menerobos masuk. Namun, pria ini jelas bukan tandingannya. Devandra sangat tinggi dan memiliki badan atletis tanpa lemak. Akan sangat mudah baginya menggotong Emily seperti sekarung beras.
“Aku tidak mau!” bantah Emily dengan keras kepala. “Mom hanya akan menyuruhku berkemas. Dan apa Papa tahu ke mana mereka menyuruhku pergi?” tanyanya mencoba terdengar begitu sedih. Biasanya, Papa tidak pernah tega padanya.
Devandra mengangguk. “Grandma Westfield akan senang sekali menyambutmu. Dan omong-omong, sebenarnya pakaianmu sudah dikemasi oleh ibumu. Kau hanya tinggal berangkat saja.”
“Aku tidak mau!!!” bantah Emily lagi sambil menghentakkan kakinya. “Aku tidak mau berada di rumah nenek cerewet itu dan menghabiskan tiga bulanku di sana. Lebih baik aku mati!”
“Jangan berlebihan. Grandma West tidak secerewet itu hingga membuatmu memilih untuk mati. Lagipula, menghabiskan liburan di peternakan akan baik itu. Di sana masih alami dan segar. Kau akan menjadi jauh lebih dewasa setelah pulang dari sana, Nak.”
Mata Emily menyipit menatap papanya. Pria ini tampak seperti bukan papanya ketika berbicara seperti itu. Pasti Mom sudah membesar-besarkan apa yang ia lakukan tadi malam.
“Apa yang Mom ceritakan padamu, Pa?”
“Bahwa kau berpesta dan tidak pulang semalaman. Oh, dan tubuhmu bau rokok juga alkohol. Berapa banyak yang kau minum?”
“Aku tidak mabuk!”
Setidaknya tidak semabuk itu, lanjut Emily dalam hati. Meskipun sudah boleh mengonsumsi alkohol, tetap saja ia minum agak terlalu banyak tadi malam. Dan saat diam-diam mengendus tubuhnya, Emily memang bisa mencium bau samar sisa alkohol dan rokok yang tertinggal di pakaiannya. Sial! Seharusnya ia membawa baju ganti.
“Em, apa yang kau lakukan semalam memang tidak bisa dibenarkan.”
“Astaga! Aku hanya pulang pagi, Pa! Bukan berkeliaran di jalanan apalagi pulang dalam keadaan hamil!”
Emily seharusnya tahu jika datang ke tempat ini adalah sesuatu yang salah. Seharusnya ia kabur berjalan kaki ke mana saja selain rumah ini. Sayangnya, ia tidak bisa pergi ke tempat lain. Kakek dan neneknya sedang tidak berada di rumah. Kabur ke rumah temannya, hanya akan memperkeruh masalah yang sudah dibuatnya dan ia tidak ingin masalah ini semakin keruh.
Dan lagi, ia tidak ingin teman-temannya tahu jika ia mendapat masalah hanya karena pergi ke pesta. Bisa dipastikan ia tidak akan diajak ke pesta lagi jika mereka tahu apa yang terjadi padanya sekarang.
“Apa kau tidak menyadari jika bukan itu inti masalahnya??” Devandra kini berkacak pinggang. “Kau berbohong tentang ke mana kau akan pergi dan itulah yang salah! Seandainya kau bicara jujur, orang tuamu tidak akan semarah ini, Nak. Kau hanya perlu jujur, tetapi kau malah memilih untuk berbohong.”
Oh, seolah Papa tidak mengenal orang tuanya saja. Ia sudah tahu kemungkinannya jika berbicara jujur. Dilarang pergi, dikurung di kamar, dan pada akhirnya, Emily akan menjadi bahan tertawaan semua temannya. Ia tidak mau itu terjadi. Ia sudah terlalu sering dilarang ke sana kemari.
“Jika aku bicara jujur, mereka tidak akan membiarkanku pergi,” ujar Emily akhirnya. Mungkin Papa akan membelanya.
“Apa kau pikir akan seperti itu? Apa kau bahkan sudah mencobanya?” suara Devandra terdengar melunak.
“Tidak perlu mencoba, aku sudah tahu. Papa tahu sendiri bagaimana Dad! Dia sangat berlebihan padaku! Apa kau masih ingat ketika teman-temanku akan mengadakan pesta kelulusan ke Vegas? Aku dikurung di dalam kamar selama tiga hari penuh!”
Devandra baru akan membuka mulutnya lagi ketika Abby bergabung bersama mereka. Seperti biasa, wanita itu selalu tampak cantik meskipun hanya memakai baju rumahan terusan dan tanpa riasan di wajahnya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian harus bertengkar di depan rumah?” Lalu Abby menoleh pada Emily dan tersenyum dengan lembut. “Kau sudah sarapan, Nak? Aunty membuat pancake.”
Sebenarnya, Emily hanya ingin tidur. Namun, ia tahu jika hanya itu satu-satunya cara agar terbebas dari kicauan papanya, jadi ia mengangguk dan meraih tangan Abby.
“Abs, dia harus pulang. Dia sedang dihukum,” protes Devandra ketika mereka melangkah memasuki rumah.
“Anak yang sedang dihukum pun butuh makan, Dev.”
Emily menoleh pada papanya dan tersenyum penuh kemenangan. Tidak salah memang jika bibinya ini disebut malaikat oleh semua orang. Wanita ini memang memiliki hati yang luar biasa. Ah, kadang, Emily berpikir kenapa bukan Abby saja yang menjadi ibu kandungnya. Ia pasti akan dibela setiap kali ingin berkumpul dengan teman-temannya.
Ketika tiba di ruang makan, empat Alexander junior sudah menunggu dan menyapanya dengan riang. Emily selalu dekat dengan Michelle dan ketiga adiknya. Mereka sudah seperti adik-adik kandungnya sendiri.
Abby menyerahkan satu piring besar yang berisi tiga tumpuk pancake dengan saus maple pada Emily dan berkata, “makanlah segera. Orangtuamu sedang dalam perjalanan kemari untuk mengantarmu ke Vernon.”
Emily memekik sementara Devandra tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. Sialan! Ia dijebak!