3

1520 คำ
Harper kesal setengah mati. Rasa sedihnya karena akan terpisah jauh dari ibu dan ayahnya tergantikan oleh rasa marah yang teramat sangat. Apalagi alasannya kalau bukan karena lelaki pemarah yang duduk tidak jauh darinya itu.           Apa sih yang ada di kepala ayah dan ibunya? Bukannya mereka tahu bagaimana dia dan Aldrian tidak pernah akur sejak dulu?           Hhh...menyebut namanya saja Harper malas, apalagi harus duduk berdua selama berjam-jam berdua saja. Biasanya jika pergi naik pesawat begini, ia selalu duduk dekat ayahnya dan akan memeluk ayahnya karena Harper sesungguhnya takut terbang. Ia takut ketinggian dan tidak ada yang tahu hal itu, bahkan ibunya. Harper hanya akan duduk dekat ibunya dan memeluk wanita itu erat tanpa pernah mengatakan yang sebenarnya bahwa ia takut. Lalu sekarang, siapa yang harus ia peluk? Tidak mungkin lelaki menyebalkan itu kan?           s**t! Saking takutnya, ia merasakan desakan yang hebat di kandung kemihnya. Harper benci harus beranjak dari tempat duduknya selama pesawat masih belum mendarat. Karena itulah ia selalu meminimalisir buang air kecilnya setiap kali terbang. Harper mendesah keras dan bangkit dari duduknya. Al menoleh ke arahnya.           “Ada apa?” Al bertanya. Tangannya membuka satu earphone-nya.           Harper menggeleng. “Toilet,” jawabnya pendek. Ia berjalan pelan ke toilet. Untung ayahnya mendesain pesawat ini tidak seperti pesawat pada umumnya hingga Harper tidak terlalu merasa terganggu dengan kenyataan bahwa ia berada puluhan ribu kaki di atas tanah.           Saat Harper kembali, tempat duduknya sudah berubah menjadi tempat tidur. Harper menatap Al kesal. “Kau apakan kursiku?”           Al tersenyum sinis. “Aku tahu kau ketakutan, lebih kau tidur saja, Gadis penakut.”           Harper bersedekap dengan angkuh, khas Harper. “Kembalikan kursiku seperti semula.”           Al menatapnya datar, membuat Harper ingin menjambak bulu jambangnya yang tebal itu.           “Hei, aku hanya membantumu! Dengan tertidur, kau tidak akan tahu jika ini masih di udara.”           “Tetapi aku tidak mau tidur! Kembalikan. Kursiku. Sekarang!”           Al berdecak dan kembali melipat kursi itu hingga kembali menjadi tempat duduk yang nyaman. Lelaki itu menyimpan bantal dan selimut di tempat penyimpanan.           “Dasar keras kepala! Mana ada lelaki yang mau menjadi pacarmu!” Gerutu Al sambil kembali ke kursinya.           Harper melotot. “Menyebalkan!”           Al terkekeh dan kembali memasang earphone miliknya. Ia bersandar di kepala kursi dan memejamkan mata. “Tidak semua lelaki suka gadis keras kepala, Quin,” katanya dengan mata yang tetap terpejam.           Harper yang sudah duduk di kursinya menoleh menatap Al. Sejak dulu lelaki itu selalu memanggilnya Quin. Tidak pernah sekalipun Al memanggilnya Harper. Akan tetapi Harper tahu, lelaki itu memanggilnya Quin hanya untuk mengoloknya.           “Namaku Harper, bukan Quin!”           Al kembali terkekeh tetapi tetap tidak membuka matanya. “Seribu kali kau bilang begitu, seribu kali aku akan tetap memanggilmu Quin.”           Harper melempar bantal kursi saking kesalnya pada Al, membuat lelaki itu semakin terbahak. Tampaknya mengganggu Harper sudah menjadi jadwal rutin lelaki menyebalkan itu setiap bertemu dengannya.           Suasana kembali hening saat lelaki itu entah tertidur atau hanya mendengarkan musiknya. Al telah melepas topinya, ia berbaring nyaman dengan memeluk bantal yang tadi Harper lempar padanya. Harper mendengar musik sambil membaca novel. Ia selalu membunuh waktu selama terbang dengan membaca. Membaca membuatnya lupa jika dirinya sedang terbang. Membaca membuatnya lupa bahwa setelah mendarat kali ini, ia akan hidup sendirian.           Harper mendesah keras. Untuk yang satu itu, sudah jelas gagal teralihkan dari pikirannya. Baru beberapa jam, dan ia bahkan sudah ingin pulang. Waktunya satu minggu untuk membuktikan, dirinya bisa bertahan atau gagal. Jika ia bertahan, hidupnya akan berlanjut di Madrid. Jika ia gagal, ia akan pulang ke Jakarta. Tinggal kembali bersama orangtua dan saudaranya.           Namun ayahnya pasti akan kecewa padanya jika ia sampai gagal. Dan Harper jelas tidak ingin mengecewakan orang yang sangat disayanginya itu. Ayahnya adalah pahlawannya. Lelaki terbaik yang pernah dimilikinya. Harper selalu ingat bagaimana ayahnya begitu sabar dengannya. Ayahnya dulu bahkan sering absen ke kantor hanya karena ia tidak mau ditinggal.           Harper menghapus air mata yang tanpa sadar sudah menetes. Seberat apapun, ia harus bisa membuat ayahnya bangga. Mungkin hanya ini kesempatannya untuk bisa membanggakan ayahnya. Untuk bisa membanggakan ibunya. Untuk bisa membuat mereka tersenyum dan menemukan bahwa dirinyalah alasan dibalik senyum itu.           Harper mengusap ponselnya yang terpasang wallpaper ayah dan ibunya yang tengah tersenyum bahagia. Ayah, Mommy, aku akan membuat kalian bangga, ucapnya dalam hati. Tekadnya sudah kuat, ia harus bisa bertahan di Spanyol.           “Quin?”           Harper menghapus air matanya dan menoleh.           “Kau baik-baik saja?” Tanya Al lagi.           Harper berdehem pelan sebelum menjawab,“ya, aku baik,” jawabnya pelan dan kembali berpaling. Menolak untuk menatap Al.           Harper mendengar Al menghela napas dan ia merasakan tekanan di kursi sampingnya. Ia kembali menoleh dan melihat Al sudah duduk di sampingnya.           “Tidurlah,” perintah Al tegas tetapi lembut. Sebuah intonasi yang tidak pernah digunakan Al padanya.           “Aku tidak mengantuk.” Ia berbohong tentu saja. Harper ingin tidur, tetapi ia tidak akan bisa tidur tanpa memeluk atau memegang tangan seseorang. Sialnya, boneka andalannya tertinggal di rumah. Boneka beruang butut berwarna coklat hadiah ulang tahunnya yang kelima dari ayahnya. Biasanya boneka itu selalu dibawanya ke mana saja, tetapi ia lupa memasukkannya ke koper tadi malam.           “Quinina, bisa tidak sih, tidak membantahku sekali saja?”           “Kau juga, bisa tidak sih, tidak menggangguku sekali saja?”           “Kalau tidak karena Bunda dan aunty Naya, aku tidak akan mau menemanimu tahu! Lebih baik aku naik pesawat komersil kelas ekonomi daripada harus di sini!”           Harper melotot. “Ya sudah, turun saja sana! Siapa juga yang butuh ditemani pria menyebalkan sepertimu!”           Al berdecak dan kembali ke kursinya. Ia memandang Harper dengan kesal. “Silahkan lanjutkan melamunmu, Nona egois!” ******           Al kesal. Sangat kesal pada gadis cantik yang duduk tidak jauh darinya itu. Jika bukan karena janjinya pada aunty dan bundanya tersayang, ia tidak akan mau menemani ratu kecil itu. Bukan hanya menemani, ia bahkan diharuskan menjaga gadis itu selama mereka tinggal di Spanyol.           Satu minggu ini, telinga Al sudah penuh dengan wejangan bundanya tentang apa yang harus dilakukannya nanti. Tentang bagaimana ia tidak boleh terlalu galak pada Harper. Tentang bagaimana ia harus ke tempat gadis itu dua hari sekali untuk memastikan Harper baik-baik saja. Dan masih banyak lagi 'tugas negara' yang harus Al lakukan.           Sial, ia tidak ubahnya seorang babysitter sekarang. Apa memang gadis itu harus selalu ditemani pengasuh seumur hidupnya?           Al tahu gadis itu menangis tadi. Iamendengarnya karena sebenarnya ia tidak tidur. Satu earphone-nya pun tidak terpasang di telinga. Entah kenapa ia merasa sedikit khawatir pada Harper. Sedikit.           Dirinya tahu gadis itu takut terbang. Sejak kecil Al tahu itu. Bagaimana Harper kecil selalu memeluk ibunya erat-erat atau akan duduk meringkuk dipangkuan ayahnya. Bundanya bilang, Harper banyak berubah setelah penculikan itu. Gadis itu menjadi sangat penakut, bahkan hingga saat ini. Setelah lebih dari lima belas tahun berlalu.           Al menoleh dan melihat Harper masih melamun. Gadis itu sangat keras kepala dan susah dilawan kemauannya. Karena alasan itulah, Al memanggilnya Quin. Ia benar-benar seorang ratu. Namun, dibalik itu semua, Al bisa melihat bagaimana gadis itu begitu mencintai kedua orangtuanya. Harper rela pergi melintasi benua hanya untuk membahagiakan ayahnya. Al bahkan merasa kalah. Dirinya saja belum bisa melawan egonya untuk mengalah pada ayahnya dan menjalankan perusahaan. Ia masih ingin bersenang-senang.           “Quin …”           Sekesal apapun, ia tidak akan tega membiarkan gadis itu terus terjaga. Perjalanan mereka masih berjam-jam lagi. Tidak mungkin gadis itu tidak butuh tidur.           “Aku tidak mengantuk!” Gadis itu memotong dengan ketus.           Al harus memaksa kali ini. Mau tidak mau. Tidak peduli nanti gadis itu akan marah-marah padanya. Toh, Al sudah terbiasa dimarahi Harper. Al kembali duduk di samping gadis itu, membuat Harper kembali melotot padanya.           “Pergilah! Banyak kursi di sini, kau bisa duduk di mana saja,” suruhnya dengan ketus.           “Aku ingin duduk di sini,” jawab Al dengan santai. Ia merubah posisi kursinya senyaman mungkin dan meluruskan kaki.           “Maumu apa sih??” Teriak Harper kesal.           “Aku mau duduk di sini, Quin. Aku mau tidur, jangan menggangguku.” Al mulai memejamkan matanya. Ia tersenyum saat mendengar gadis itu menggerutu.           Sering liburan bersama saat mereka kecil membuatnya hapal bagaimana kebiasaan Harper saat di pesawat. Gadis itu butuh seseorang ada di sampingnya hingga ia merasa aman. Tidak lama, Al bisa mendengar napas teratur gadis itu. Tangannya bahkan tanpa sadar sudah memeluk lengan Al.           Al tersenyum menatap gadis itu tertidur. Wajahnya yang cantik itu tampak damai. Harper sungguh luar biasa cantik, walaupun kadang-kadang menyebalkan dan seenaknya. Namun entah kenapa, Al bahkan tidak bisa menjauh darinya. Selalu saja ada sesuatu yang membuat mereka seolah tetap berdekatan.           Seandainya saja Harper tidak semanja dan segalak itu, mungkin mereka bisa... Al menggeleng untuk menghalau pikirannya. Tidak, gadis manja ini bukan tipenya. Ia butuh perempuan yang dewasa dan lembut. Seperti bundanya. Seperti bunbun Kinannya.           Al kembali menoleh pada Harper yang kini sudah bersandar di bahunya. Kedua tangannya memegang erat lengan Al seolah takut Al pergi. Tangan Al terangkat, ia membelai rambut Harper dengan lembut. Ia masih ingat janjinya dulu untuk menjaga Harper. Ia lelaki sejati. Lelaki sejati selalu menepati janjinya. Walaupun mungkin dengan cara yang berbeda. Walaupun mungkin dengan pertengkaran-pertengkaran mereka, tetapi itulah cara Al menjaganya. Dan Al akan selalu menepati janjinya.           “Tidurlah, Quin. Aku di sini. Menjagamu. Selalu.”  
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม