4

1486 คำ
Harper terbangun dari tidurnya karena merasakan adanya turbulensi. Badannya gemetar, tetapi sepasang lengan itu memeluk tubuhnya erat dan membisikkan kata, “tidak apa-apa, Quin. Aku di sini menjagamu.”           Ia memejamkan kembali matanya dan memeluk tubuh itu dengan erat hingga guncangan itu berhenti tidak sampai satu menit kemudian. Ia membuka mata dan menatap sabuk pengaman yang entah kapan sudah terpasang di badannya. Harper mendongak dan mendapati Al tersenyum padanya. Sebuah senyum yang tidak pernah lagi hadir sejak bertahun-tahun lalu.           “Are you okay?” Tanyanya lembut. Lagi-lagi nada suara yang sudah lama hilang.           Harper menyadari wajahnya memanas. Ia mengangguk dengan salah tingkah dan melepas tangannya yang sejak tadi memeluk Al. Ia mendengar Al terkekeh disebelahnya.           “Lepas sabuk pengamanmu!” Perintahnya kemudian.           Harper menoleh padanya dan mengerutkan dahi. Al menaikkan alis dan mengisyaratkan untuk melepas sabuknya.           “Untuk apa?”           “Aku mau tidur.”           “Apa hubungannya denganku?”           “Ck! Tadi kau tidur di pelukanku. Sekarang gantian aku yang tidur di pelukanmu.”           Harper melotot. “In your dreams!”           “Quin, jangan mau menang sendiri! Ayolah, aku butuh tidur. Sebentar saja.”           “Tidur di kamar saja sana!”           Al menggeleng keras kepala. “Aku mau di sini.”           Harper tetap pada pendiriannya dengan tidak melepas sabuk pengamannya. Al berdecak dan mengulurkan tangan untuk melepas sabuk pengaman Harper.           “Hei, apa yang kau...”           “Diam! Aku mengantuk. Berjam-jam aku menjagamu tidur tahu!” Potong Al sambil memposisikan dirinya berbaring di pangkuan Harper.           “Kau bohong. Aku tidak tertidur selama itu. Dan jika aku tidur berjam-jam seharusnya kita …”           “Diamlah, Quin. Kau berisik sekali tahu!”           Harper mengomel panjang pendek, tetapi tetap saja Al tertidur pulas tidak lama kemudian. Harper mengembuskan napas pelan dan menatap Al yang bernapas dengan teratur. Matanya melirik gelas kopi, dan makanan yang masih utuh di hadapan mereka. Dia meraih gelas dan mulai meminumnya.           Matanya kembali melirik Al. Harper sudah mengenal Al hampir seumur hidupnya. Al kecil yang selalu berebutan perhatian dari ibunya. Al kecil yang mendorongnya dari tangga. Al kecil yang menganggunya setiap hari dengan permintaan maafnya. Lalu Al yang mulai berubah. Al yang tidak lagi baik. Al yang dingin. Al yang galak. Dan Al yang menyebalkan seperti sekarang ini.           Lelaki ini sebenarnya baik. Dan terutama, dia sangat menyayangi Erika dan Kanaya. Harper tahu lelaki itu sangat penurut pada bundanya. Walaupun mungkin dirinya tidak suka, ia akan melakukan apapun perintah bundanya. Memang bukan salah Al jika lelaki itu menjadi seperti ini padanya. Itu salahnya. Harper ingat bagaimana Al selalu mengekorinya. Bahkan saat Harper masuk sekolah, lelaki itu rela pindah sekolah hanya agar mereka satu sekolah. Harper risih. Ia tidak pernah dekat dengan orang lain selain ayah dan mommy-nya. Ia tidak pernah punya teman. Entahlah, ia selalu takut memulai pertemanan. Dan keberadaan Al membuatnya sangat tidak nyaman. Hingga sore itu. Saat itu, Harper kelas satu SMP dan Al kelas tiga. Karena mereka satu sekolah saat sekolah dasar, ayahnya pun memasukkan di sekolah yang sama dengan Al saat SMP. Sore itu, hujan turun dengan sangat deras. Harper terlambat pulang karena Pak Hadi terjebak macet. Ia menunggu dengan kesal di depan sekolahnya. Sudah dua jam ia menunggu. Perutnya lapar dan ia kedinginan. Lalu tiba-tiba Al muncul dari arah kelas tiga. Anak-anak kelas tiga baru saja selesai pendalaman materi. “Quin, kau belum pulang?” Sebenarnya Harper malu Al memanggilnya Quin. Apalagi semua temannya dan teman Al tahu panggilan itu. Mereka selalu menjadi gosip karena Al yang notabene idola sekolah, selalu mengekorinya begitu ia masuk sekolah itu. Belum lagi bully-an yang diterimanya dari kakak kelas perempuan yang menyukai Al. Al tidak pernah tahu itu. Tidak ada yang tahu bagaimana ia menerima kata-kata kotor dan tidak pantas dari kakak kelasnya. Setiap hari. Tidak ada yang pernah tahu hal itu selain satu sahabat baru yang dimilikinya, Chelsea. “Aku masih di sini, berarti aku belum pulang!” Jawab Harper dengan ketus. “Ayo pulang bersamaku!” Al meraih tangannya. Harper menarik tangannya dari genggaman Al hingga lelaki itu menatapnya dengan dahi berkerut. “Ada apa? Ini sudah sore.” Dari sudut matanya, Harper melihat gerombolan kakak kelas yang siang tadi mengancamnya. Bahwa jika Harper masih dekat-dekat dengan Al, bukan hanya kata-k********r yang akan diterima Harper, tetapi juga siksaan fisik. “Pak Hadi sudah menjemputku!” “Bilang saja pada Pak Hadi, kau pulang bersamaku. Jemputanku sudah datang.” Harper menggeleng dan menjauh dari Al, tetapi dengan keras kepala, Al mengikutinya dan terus memaksanya untuk pulang bersamanya. Al terus menarik tangannya hingga mereka menjadi olok-olokkan teman lelaki Al. Harper berbalik dan melepaskan genggaman tangan Al dalam sekali sentak.  “Kau, berhenti mengganggu hidupku, Al! Kau pengganggu! Kau selalu membuatku tidak nyaman! Aku membencimu, Al! Sangat membencimu!” Harper berlari meninggalkan wajah Al yang tampak pias. Dan sejak itulah, Al dingin padanya. Tidak ada lagi teriakannya memanggil Harper dari ujung koridor. Tidak ada lagi senyum manis yang menyambutnya saat ia keluar kelas. Juga tidak ada lagi bully-an dari kakak kelasnya. Entah, ia harus senang atau sedih. Ia sendiri bingung. Harper meraih buku novelnya untuk mengenyahkan pikirannya. Akan tetapi matanya terus saja melirik Al yang tertidur di pangkuannya. Mereka tidak pernah sedekat ini sebelumnya. Dan Harper akui, ketampanan Al bertambah berkali-kali lipat seiring bertambahnya usia. Alisnya yang tebal dan matanya yang tajam benar-benar mewarisi ayahnya. Harper berpaling dan memukul-mukul dahinya.  Sial! Berapa lama lagi penerbangan ini? Ia butuh udara segar. Akhirnya, Harper tidak bisa menyembunyikan kelegaannya saat suara pilot memberitahu mereka untuk memasang sabuk pengaman karena pesawat akan segera mendarat. “Banguuun, Allll!!” Teriaknya tepat di telinga Al. Al bangun dengan linglung membuat Harper terkikik geli. “Pakai sabuk pengamanmu. Kita akan mendarat.” ~~~~ Al tersenyum lebar saat kakinya menapak di bandara. Bienvenido a España[1]. Selangkah lagi, cita-citanya tercapai. Walaupun ia harus rela menjadi 'pengasuh' anak manja itu. Al menoleh menatap Harper yang kesusahan dengan dua kopernya. Ia berdecak. Apa sih yang dibawa gadis itu? Tanpa bicara, Al meraih satu koper Harper yang tampak lebih berat dan lebih besar. “Lamban! Aku lelah! Ayo cepat!” Harper menggerutu tidak jelas padanya. Al terkekeh pelan. Sudah sangat lama sejak mereka tidak lagi berinteraksi seperti ini. Jujur, kadang Al merindukan gadis pemarah ini. Rasanya, walau sekuat apapun ia mencoba untuk tidak peduli, selalu ada bagian dari dirinya yang menjadi milik Harper. Selalu ada bagian dari dirinya yang menyuruhnya peduli, untuk menyuruhnya selalu menjaga Harper. Seperti janjinya dulu pada aunty Naya-nya. “Al, aunty minta maaf jika Harper menyakitimu.” Itu yang diucapkan aunty Naya saat wanita itu datang ke rumahnya. Sudah dua minggu sejak Harper mengucapkan perkataannya yang menyakitkan itu. Jika memang Harper terganggu, jika memang ia hanya bisa membuat hidup Harper tidak nyaman, ia akan menjauh. “Kau tahu bagaimana dia. Bersabarlah dengannya ya, Nak?” Bagaimana Al bisa menolak permintaan wanita itu? Demi Tuhan, aunty Naya adalah perempuan ketiga yang paling ia sayangi setelah bunda dan bunbun Kinan. Lalu, yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga Harper dari jauh. Jika memang harus berdekatan, ia bersikap dingin atau galak. Yang penting gadis itu masih berada dalam jangkauannya. Walaupun tidak suka, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat aunty Naya merasa tenang di Indonesia. Mereka tiba di rumah mungil yang telah dipersiapkan uncle Ted dan ayahnya untuk mereka. Dua rumah berwarna putih yang berdampingan. Rumah kecil bergaya Mediterranian yang sangat cantik. Tidak jauh dari pantai dan resorts milik keluarga Sandjaya. Al melihat mata Harper bersinar bahagia. Gadis itu tidak tahu jika ayahnya sudah menyiapkan rumah ini untuknya. Harper menjerit bahagia saat dirinya masuk ke dalam rumah. Dan Al tahu apa yang menyebabkan gadis itu menjerit. Pintu kaca yang langsung terhubung ke pantai. Desir angin laut yang bisa dirasakan hanya dengan membuka pintu. Burung-burung yang beterbangan. Siapapun akan menjerit bahagia melihatnya. Al meletakkan koper milik Harper di dalam rumah dan hendak berbalik keluar saat ada seorang lelaki di belakangnya. Lelaki itu masih muda. Mungkin seumuran dirinya, dengan rambut sepanjang pundak dan tato yang terlihat dari balik jaket kulitnya. “Siapa kau?” Lelaki itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Namaku Enrique. Aku manager di Quinina's Resorts.” “Aldrian. Aku putra Pierre Bramastya.” “Ah, aku tahu. Senang bertemu denganmu.” Enrique tersenyum ramah padanya. Ayahnya memiliki sedikit saham di resorts ini, jadi wajar jika Enrique mengenal ayahnya. “Jadi kau yang akan memimpin resorts ini sekarang?” Al menggeleng. “Tidak, aku hanya beberapa hari di sini. Aku akan tinggal di Barcelona.” “Oh, lalu...” “Quin! Kemarilah!” Harper muncul dari dalam rumah dengan kaki dan celana panjangnya yang basah. Tampaknya gadis itu baru saja bermain di pantai. “Dari mana kau?” “Bermain di pantai,” jawab Harper dengan santai. Lalu matanya menatap Enrique. Satu yang Al tangkap, mata itu bersinar. Bukan sinar ketakutan seperti saat ia melihat orang asing untuk pertama kalinya. Akan tetapi binar yang lain. Binar bahagia seolah ia baru melihat matahari untuk pertama kalinya. Dan sialnya, Al tidak menyukai itu!       [1] Selamat datang di Spanyol
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม