Seharusnya Sian tahu, siapa dalang di balik kekacauan yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
Ya. Siapa lagi kalau bukan Arsen penyebabnya.
"Apa lo pikir lo hebat, hah? Lo udah bikin gue dicurigai sebagai hantu atau Jin, tau gak?!" Sian mengehela napas sebelum melanjutkan aktivitas marah - marahnya.
"Lo sekali lagi bikin kesalahan kayak gini, gue gak mau tau, lo kudu keluar dari rumah gue!" Untungnya, kamar Sian sudah dalam keadaan dikuci. Kalau tidak, bisa - bisa seseorang masuk dan melihatnya dalam keadaan marah - marah dan mengomeli udara hampa.
Kecuali, kalau yang masuk itu adalah Kuna. Ya. Adik bungsunya itu terindikasi dapat melihat sosok Arsen, si arwah penasaran.
"Aku cuma mau bantu kamu. Aku gak bisa diganggu saat sedang mengerjakan sesuatu. Makanya, aku bilang kalau kau akan beristirahat dan tidak ingin diganggu. Aku tidak tahu kalau kau sedang mengantarkan kekasihmu." Arsenik, pria itu menjelaskan pada Sian dengan wajah memelas dan berdosa. Padahal Sian tidak dapat melihatnya. Hanya bisa mendengar suaranya dan merasakan kehdirannya.
"Satu lagi!" pangkas Sian dengan cepat. "Gue gak punya pacar! Ingat itu!" Sian hampir saja mengatakan kalimat itu dengan nada tinggi dan menggebu - gebu. Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia bisa saja dianggap gila karena teriak - teriak tidak jelas.
Arsen menganggukkan kepalanya mengerti. Hampir saja ia mendapat masalah baru karena salah bicara. Pria itu masih merasa heran, kenapa Sian mengatakan kalau gadis hyperactive itu bukan kekasihnya? Padahal, gadis itu sudah terlihat menginap di rumah ini secara cuma - cuma. Lalu, Sian tak segan - segan mengantarkannya pulang meski jarak dari sini ke rumah gadis itu terbilang cukup jauh.
Jadi, apa iya, mereka bukan sepasang kekasih? Pikir Arsen bingung. Lalu menggelengkan kepalanya kuat. Anggap saja ia hanya salah dalam berasumsi.
"Maaf," ucap Arsen pelan.
"Apa?" balas Sian pura - pura tidak mendengar ucapan Arsen barusan.
"Kalo ngomong, yang jelas," sindir Sian dengan sengaja.
"Maaf karena telah membuat kekacauan di rumahmu." Arsen mengatakan kalimat itu dengan cepat dan lebih kuat. Membuat Sian mengangguk - aggukan kepala.
"Baiklah, gue maafin lo. Satu lagi, jangan nyentuh barang gue sembarangan! Apapun itu! Catet!" Lagi - lagi Sian mengeluarkan ultimatumnya. Arsen hanya bisa menganggukkan kepala seraya menjawab dengan patuh.
"Siap! Tuan Sian!" Sian hampir saja tersedak salivanya sendiri saat mendengar jawaban dari Arsen barusan.
"Gak udah pake acara nyebut gue Tuan, juga! Kayak biasa aja bisa, kan?" tanya Sian di akhri kalimatnya.
Arsen menganggukkan kepala mengerti, "Baik, Sian!" ulangnya dengan cepat.
"Gue capek. Mau istirahat. Lo jangan ke mana - mana kalau itu bisa menimbulkan masalah. Dan satu lagi, jangan melakukan apapun yang bisa mengusik ketenangan istirahat gue nanti, ngerti!" Sian memberi peringatan panjangnya seraya bersiap menarik selimut. Mengomeli Arsen ternyata bisa menguras energinya.
Bagaimana tidak, arwah tunawisma itu sudah lancang menyamar menjadi dirinya. Membuat semua penghuni rumahnya heboh dan meragukan Sian.
Setelah menenangkan diri dengan ber-istighfar, Sian mulai memejamkan matanya dan terlelap.
Sementara itu, di sudut kamar tengah berdiri pria jangkung berwajah pucat dengan setelan pakaian yang tidak pernah berubah. Masih dengan kameja putih lusuh, celana dasar berwarna hitam dan sepatu pantopel yang sama lusuhnya.
Arsen bingung harus melakukan apa. Karena peringatan dari Sian sebelumnya membuat pria itu takut dan cemas kalau ia bisa saja membuat kesalahan untuk kesekian kalinya. Dan ia benar - benar mematuhi apa yang Sian peringatkan padanya.
Bukan apa, Arsen tidak ingin menjadi tunawisma kembali. Ia tahu betul kalau Sian tidak pernah main - main dengan ucapannya.
Daripada mati kerena bosan. Arsen lebih memilih untuk beranjak menuju kursi yang menghadap sebuah meja belajar di dekat jendela kamar Sian.
Mendaratkan bokongnya di kursi dan nampak terdiam sejenak. Ia mulai berpikir, kalau saja ada manusia yang bisa melihat dirinya. Tidak hanya bisa mendengar seperti Sian.
Arsen merasa bosan. Ia sempat berpikir ingin melanjutkan naskah novel Sian. Tapi, ia urungkan niatnya itu setelah mengingat ultimatum keras dari pemiliknya. Sian akan mendepaknya keluar dari rumah ini, kalau ia berani menyentuh barang - barang pria itu.
Jadi, yang bisa ia lakukan saat ini, hanya membaringkan kepalanya ke atas meja.
Tiba - tiba saja ia teringat akan sesuatu. Arsen mengangkat kepalanya dan menegakkan punggungnya kembali.
Si bungsu, Kuna. Ya. Arsen ingat kalau adik bungsu Sian adalah satu - satunya orang yang bisa melihat keberadaan Arsen.
Apa ia coba saja, mendekati adik Sian dan mengajaknya berteman? Entah kenapa, tetapi, pria itu nampak yakin kalau Kuna adalah gadis yang menyenangkan. Dan bisa diajak berteman dengan baik.
Tapi, ingatan di mana Kuna menjerit histeris saat mendapatinya di kamar gadis itu, membuat Arsen sedikit ragu.
Apa wajahnya semenakutkan itu? Sampai - sampai gadis itu menjerit saat melihat keberadaannya di kamar gadis itu?
Iseng, Arsen mencari benda yang dapat memantulkan bayangan wajahnya. Cermin. Matanya sibuk menelisik meja belajar Sian yang dipadati buku dan alat tulis.
Di mana ia bisa menemukan benda itu?
Sejurus kemudian, .... "Yes!" ia menemukan benda itu. Tergeletak di dalam laci meja belajar. Kaca berbentuk persegi empat dengan pinggiran plastik berwarna silver.
Saat meraih benda itu, tanpa sengaja, matanya tertarik untuk menatap sebuah foto yang nampak sudah usang. Selembar foto yang menampilkan figur seorang anak lelaki berusia sekitar tujuh belas tahun dan seorang gadis kecil yang berusia sekitar sepuluh tahun.
Saat tangannya ingin meraih foto itu, tiba - tiba saja suara peringatan dari Sian memenuhi kepalanya.
"Jangan pernah nyentuh barang gue sembarangan!!!" kalimat peringatan itu berhasil membuat Arsen menarik tangan kanannya dengan menggunakan tangan kirinya.
"Jangan mencari penyakit. Ingat itu!" ucapnya pada diri sendiri. Lalu menutup kembali laci meja belajar itu dengan sisa - sisa pertanyaan yang mulai membuatnya kembali berasumsi yang bukan - bukan.
Siapa gadis kecil itu?
Apa ia salah satu adik perempuan Sian? Tapi, kan. Sian punya tiga adik perempuan dan kenapa juga ia hanya berfoto dengan salah satu adiknya saja lalu menyimpan fotonya.
Dan, kalau Arsen mengingat sosok yang ada di dalam foto itu lagi. Ia jadi yakin kalau gadis kecil itu, bukanlah salah satu dari ketiga adik perempuan pria itu.
Pasalnya, wajah meraka tidak mirip sama sekali.
Warna kulit gadis kecil yang ada di foto itu nampak putih kemerah - merahan sementara Sian dan ketiga adiknya berkulit sawo matang.
Siapa gadis kecil itu?
Rasanya, ia tidak begitu asing. Arsen nampak makin penasaran saat pikirannya kembali berasumsi lebih jauh.
Apa mungkin, Sian menyukai gadis kecil yang ada di foto itu?
Tidaktidak! Kau berpikir terlalu jauh! Batin Arsen memperingati.
Daripada ia strees karena terlalu banyak asumsi yang ia rangkai di kepalanya. Lebih baik ia ikut terlelap bersama Sian.
Akan tetapi, baru saja ingin menaiki kasur. Pikirannya kembali mengingat saat Sian marah - marah. Arsen mengurungkan niatnya. Mengambil posisi berbaring di lantai yang dilapisi tikar tipis.
"Baiklah. Berbaring di lantai sepertinya lebih baik daripada tidur di kasur dengan risiko diusir dari rumah dan kembali menjadi arwah tunawisma."
Arsen bergumam seraya mencoba bangkit dan bergerak pelan maraih satu bantal yang berada di dekat lengan Sian.
Pergerakkan tangannya sangat hati - hati agar tidak menimbulkan suara. Dengkuran yang bersal dari pria yang ini terlelap dengan nyaman itu hampir saja membuat Arsen kaget. Padahal, tiap kali Sian tidur dengan kondisi tubuh yanh kelelahan, maka pria itu akan mendengkur. Seharusnya Arsen sudah tidak kaget lagi.
Setelah berhasil meraih benda itu. Ia mulai meletakkannya di sisi kepala. Membaringkan kepalanya di bantal yang cukup empuk itu. Lalu mulai menyelami dunia mimpi.
***