Sesampainya Sian di rumah, langit kota Argon yang semula nampak berat, kini telah melepaskan bebannyang ditanggungnya. Awan - awan kelabu yang nampak berat, kini menumpahkan air keberkahan itu ke bumi.
Syukurlah, Sian tidak kebasahan karena sampai rumah sebelum hujan turun. Diparkirnya motor matic itu di halaman rumah sederhana bercat hijau nerpadu putih.
Kepulangannya disambut oleh sang ibu dan ketiga adik perempuannya. Pria itu nampak menatap keempatnya dengan aneh.
"Kenapa? Kok, natap abang gitu? Kayak abang baru balik dari merantau aja," heran Sian seraya menyeka bekas - bekas rintik hujan yang menempel di kaus yang ia kenakan.
Ia melangkah masuk ke dalam rumah. Ibu dan ketiga adiknya mengekor dari belakang. Langkah Sian berhenti di dapur rumahnya. Menarik kursi yang menghadap meja makan kemudian mendaratkan bokongnya di sana.
Menuangkan segelas air minum ke dalam gelas hingga hampir penuh. Meneguknya hingga tanda dan mengucapkan hamdallah setelahnya.
"Ini beneran abang, kan?" tanya Kuna, adik bungsu Sian dengan terbata dan menatap Sian dengan ekspresi wajah yang aneh.
"Una kenapa tanya gitu? Iya lah, ini abang. Memangnya abang kalian ada berapa?" jawab Sian serya bangkit dari posisi duduknya dan menatap ibu serta ketiga adiknya dengan tatapan heran dan penuh tanda tanya.
Memangnya apa yang terjadi di rumah ini? Pikir Sian bingung.
Kenapa ibu dan adiknya menatap Sian seolah melihat hantu?
"Tapi, sebelum abang pulang, abang bilang kalau abang bakalan di kamar sampai petang. Gak mau diganggu," jelas ibu Amina dengan terbata dan tatapan aneh. Kenapa Sian ada dua?
Pasalnya, setelah menjemput Kana dari sekolah, Sian keluar lagi sebentar. Hanya berapa menit. Lalu pulang dan mengatakan kalau ia ingin istirahat di dalam kamarnya. Dan meminta untuk tidak diganggu oleh siapapun.
Ibu dan ketiga adik perempuan Sian mulai bercerita saat Sian merasa tidak pulang secepat seperti yang keempatnya ceritakan.
"Abang kan, udah pamitan mau nganterin temen kamu? Dan seperti yang kamu tahu, rumah temen kamu lumayan jauh." Bu Amina dan ketiga putrinya mengangguk - anggukkan kepala setelah mendengar penjelasan Sian barusan.
"Kami bingung, yang mana bang Sian yang asli." Kena, adik kedua Sian berkomentar seraya memindai penampilan abangnya itu.
"Kayaknya, bang Sian yang ini palsu, deh." Kuna memberikan suara seraya menilai penampilan abangnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Sian mengerutkan kedua alis tebatnya yang rapi. Menatap kedua adiknya itu dengan wajah tak percaya akan apa yang dikatakan kedua adiknya barusan.
Sejak kapan ada Sian asli dan Sian palsu? Pikir pria itu bingung seraya menghela napas berat dan mengembuskannya dengan lemah.
"Abang sebelumnya, kan, pake almet kampus abang? Sekarang udah gak pake. Wajar dong, kami mencurigai abang," komentar Kuna seraya menelisik penampilan abangnya.
Ah benar, Kana baru menyadari setelah mendegar penuturan adik bungsunya itu.
Ke mana perginya almamater kampus abangnya itu? Pikir Kana heran.
"Bu, masa ibu percaya sama prasangka aneh tiga anak ini?" rengek Sian pada ibunya yang ikut - ikutan menjaga jarak dengannya.
Bu Amina bungung. Antara ikut mencurigai anak sulungnya atau mempercayai anak sulungnya ini.
Pasalnya, bu Amina juga menyaksikan bagaimana Sian sebelumnya meminta untuk tidak diganggu dan berlalu memasuki kamar dengan gontai.
"Memangnya kalian liat, abang pulang pake motor? Atau, kalian pikir, abang kayak Amoeba? Bisa membelah diri jadi dua?" tanya Sian dengan kalimat sarkasme seraya menatap ketiga adik perempuannya secara bergantian.
Ketiganya lantas menggelengkan kepala.
"Lalu, kalian percaya kalau itu abang? Sejak kapan abang pulang jalan kaki, kecuali motor abang sedang diperbaiki di bengkel."
"Nah, kami pikir begitu. Abang pulang gak bawa motor, karena motornya lagi di bengkel," balas Kana yang disetujui oleh ibu dan kedua adiknya.
Sian mendesah, "Udah mau maghrib, abang mau mandi dan siap solat jama'ah. Kalian banyakin ngaji, biar di rumah kita gak ada setannya." Ketiga adiknya hanya mengangguk pasrah dan menatap kepergian Sian dengan tatapan was - was.
"Bu, yang tadi kayaknya beneran bang Sian, deh. Buktinya, bang Sian mau solat. Setan mana ada yang solat." Bu Amina nampak berpikir sejenak. Lalu menganggukkan kepala.
Lagian, ia tidak begitu percaya dengan hal - hal seperti itu. Akan tetapi, saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, di mana ia menemui putranya itu dengan keanehan yang terjadi di rumah ini. Bu Amina merasa ia mulai berhalusinasi.
Ya, tidak mungkin ada setan di rumah ini.
"Yaudah, kalian juga siap - siap gih. Udah mau maghrib," titah bu Amina kepada ketiga anak perempuannya. Lalu berlalu meninggalkan ketiga dengan kepala yang masih dipenuhi dengan tanda tanya besar.
"Kalian liat sendiri kan, kalo bang Sian masuk kemar. Terus, gak lama setelah itu, bang Sian muncul bersama motor maticnya. Kan aneh?" Kuna berspekulasi seraya menatap kedua kakak perempuannya itu secara bergantian.
"Kayaknya, itu tadi jin yang nyamar jadi abang deh," timpal Kena seraya mengetuk - ngetukkan jari telunjuknya ke dagu.
"Udah ah! Dengerin kata ibu tadi, apa. Kita harus siap - siap. Bentar lagi adzan maghrib," pungkas Kana seraya mengibaskan tangan di hadapan kedua adiknya.
***
Di sebuah kamar yang penuh dengan kertas--yang berbentuk bulat, seperti sehabis diremas--yang berserakan dan tersebar di berbagai sudut ruangan.
Terdapat seorang pria yang tengah duduk di sebuah kursi yang menghadap layar benda berbentuk kotak yang ada di atas meja belajar.
Sebelumnya kamar itu nampak begitu rapi dan nyaman. Tidak ada satu kertas pun yang tergeletak di lantai. Namun, saat Sian membuka pintu kamar, matanya terbelalak. Mulutnya menganga dan dagunya hampir jatuh.
Bagaimana tidak, apa yang liat sekarang ini membuatnya syok. Meski ia tahu betul, siapa dalang di balik perbuatan tidak terpuji ini.
"Eh! Sian. Kamu sudah pulang ternyata?" sapa Arsen dengan ramah seraya bangkit dari kursi setelah menutup benda berbentuk kotak itu dengan cepat.
Satu hal yang Sian benci. Kenapa ia tidak bisa melihat dan menyentuh arwah menyebalkan macam Arsen. Kalau saja ia bisa melakukannya. Maka dapat dipstikan, ia akan mencekik pria menyebalkan itu tanpa ampun.
Sian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan perlahan. Ia berisfighfar seraya melangkah masuk dan menutup pintu kamar serta menguncinya.
Diacuhkannya suara yang berasal dari depan meja belajarnya itu. Sian terus melangkah mendekati sisi kanan tempat tidur. Meraih handuk yang tergantung bebas di sisi dinding. Kemudian melangkah memasuki kamar mandi.
Setelah selesai, Sian bergegas bersiap - siap dan merapikan pakaian yang ia kenakan. Ke luar kamar dan tak lupa menguncinya. Mengabaikan suara - suara yang berasal dari seorang arwah bernaa Arsenik. Berpamitan pada ibu, lalu bergegas melangkah ke luar rumah. Menuju Masjid terdekat. Karena adzan sudah selesai hampir dua menit yang lalu.
***
Arsen, pria itu kini nampak mondar mandir seraya mengumpulkan kertas - kertas yang sebelumnya ia lempar ke sembarangan arah. Memasukkan semuanya ke dalam sebuah kotak sampah berwarna silver yang ada di dekat meja belajar Sian.
Melihat dari respon yang ditunjukkan Sian, pria itu nampak cemas. Ia khawatir kalau - kalau Sian akan mendepaknya dari rumah pria itu.
Selama hampir satu bulan lamanya ia mengenal Sian. Arsen jadi tahu, bagaimana pria itu terobsesi dengan kerapian dan kebersihan. Bahkan satu carik kertas pun tak boleh ada di lantai atau sudut manapun.
Tidak heran, kenapa Arsen cemas bin khawatir. Sebab, Sian sangat membeci hal - hal yang berantakan atau kotor.
"Apa Sian akan mengusirnya?" pikirnya dengan cemas seraya bertanya - tanya dalam diam.
Atau, "Apa Sian marah besar dan mengacuhkannya?" ia terus berasumsi sampai sebuah pertanyaan lain muncul dan membuatnya khawatir maksimal.
Atau, "Janganjangan....! Sian akan membatalkan kesepakatan yang sudah mereka buat waktu itu?"
Arsen menggelengkan kepalanya berkali - kali.
"Tidaktidak! Sian tidak boleh membatalkan rencana mereka waktu itu!" ucapnya dalam hati.
Setelah melihat keadaan kamar sudah kembali rapi dan enak dilihat seperti semula. Arsen mengembuskan napas lega, lalu mengempaskan tubuhnya di atas kasur Sian.
"Yang paling penting, aku sudah membantunya menyelesaikan bab cerita yang Sian keluhkan waktu itu," ucapnya pada diri sendiri dengan meyakinkan diri.
Lebih tepatnya, ia menenangkan dirinya sendiri dari kecemasan yang melanda.
***