6

1517 คำ
“Kau kenapa?”           Diva menoleh mendengar suara itu. Abby berdiri di depan pintu kamar dengan ransel di bahunya.           “Baru pulang kuliah?”           Abby mengangguk dan masuk ke kamarnya. Ia berbaring di sebelah Diva. “Kak Dave bilang kau sakit. Kau bohong ‘kan?”           Pernahkah kau memiliki sahabat dan ia langsung tahu kau berbohong bahkan sebelum kau bertemu dengannya?  Kadang hal itu sangat mengganggu kan? Diva memilih meraih bantal dan menyembunyikan wajahnya. Abby selalu bisa menebaknya. Raut wajahnya seolah lembaran buku yang terbuka bagi gadis itu. Namun hanya bagi Abby. Bagi orang lain, Diva adalah seorang yang sulit ditebak.           “Jangan mengelak. Ada apa?” Abby meraih bantal dari wajah Diva dan menyembunyikannya di belakang punggung.           Diva mengerang dan berbalik menghadap gadis cantik yang menatapnya dengan galak itu. “Abs, apa semua laki-laki itu b******k?”           Abby mengerutkan alis dan Diva tahu gadis itu sedang kembali 'membaca' dirinya.           “Siapa?”           See? Seharusnya gadis ini mengambil jurusan Psikologi. Diva sangat yakin pasiennya akan membludak.           Diva menghela napas dan duduk tepat di depan Abby yang masih menatapnya curiga. “Ia sangat b******k. Bahkan langsung berani meminta nomor teleponku di hari pertama kami bertemu tanpa menanyakan namaku lebih dulu,” cerita Diva meluncur seperti air bah. “Aku sangat ingin menendang selangkangannya saat dia melotot menatap dadaku. Dan sialnya lagi, si b******k itu sahabat kakakku.”           Sampai di sini, mata Abby melebar. Dan Diva tahu apa yang ada di dalam benak Abby.           “Apa ia setipe dengan Kak Dave?”           “Lebih parah. Semalam aku melihat ia berciuman seperti binatang di depan apartemen seorang jalang!”           “Oh, Sayang.” Abby memeluk dan mengusap punggungnya dengan sayang. “Dan kau jatuh cinta padanya secepat itu?”           Diva menggeleng, tetapi ia semakin menenggelamkan diri ke dalam pelukan Abby. Semalaman ia mencoba mengenyahkan bayangan menjijikkan itu dari kepalanya dan ia GAGAL TOTAL. Semakin ia ingin lupa, justru si b******k itu makin senang mendiami kepala Diva dengan senyumnya yang luar biasa seksi.           Ada apa dengan pria Spanyol? Kenapa -bahkan dengan predikat player- mereka selalu membuat kaki para wanita gemetar? Dan kenapa Diva menjadi salah satunya??           Seumur hidupnya, tidak pernah ada pria yang benar-benar menggetarkan kakinya apalagi hatinya. Bahkan saat akhirnya ia menyadari perasaannya dulu pada pria yang menghinanya, itu hanyalah cinta monyet yang dengan mudah dilupakannya. Akan tetapi dengan pria satu ini, Diva merasakan benci dan gemetar sekaligus. Dan Diva tahu itu bukan dalam artian yang baik.           Ia tahu dirinya bisa dengan mudah tergelincir jatuh ke dalam jurang dan tidak akan pernah bisa bangkit naik lagi ke daratan. Lalu nasibnya akan sama seperti Abby, bertahun-tahun mencintai pria yang bahkan tidak ia ketahui keberadaannya hingga saat ini.           “Div, mungkin memang inilah saatnya untukmu membuka hati.”           Diva mencibir pada apa yang Abby ucapkan. “Kau sadar dengan ucapanmu? Seolah hatimu terbuka lebar saja.”           Abby melempar bantal pada Diva. “Itu beda kasus tahu! Jangan mengalihkan pembicaraan!”           Diva tertawa dan kembali memeluk sahabatnya itu. Hanya dengan Abby di sini saja suasana hatinya langsung berubah lebih baik. Girls can survive without a boyfriend, but they can't survive without a best friend.           “Kau menginap saja ya?”           “Aku harus bekerja.”           Diva cemberut mendengarnya. Ia tidak suka dengan kenyataan bahwa Abby harus bekerja keras hanya untuk hidup. Kakaknya selalu mentransfer uang ke rekening gadis itu, tetapi setiap kali itu pula Abby selalu mengembalikannya. Pun dengan uang kuliah yang diam-diam dibayarkan ayahnya, semuanya dikembalikan Abby setiap waktu pembayaran kuliah tiba.           Kadang Diva malu pada dirinya sendiri. Ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup kekurangan. Ia tidak pernah merasakan arti berjuang yang sesungguhnya seperti yang Abby lakukan saat ini. Dan luar biasanya, gadis itu tidak pernah mau dikasihani.           “Kapan kau mau bekerja di restoran?” Diva bertanya. Bahkan ditawari pekerjaan sampingan di kantor pun, Abby menolaknya.           “Sepertinya aku keluar akhir bulan ini. Tempatnya terlalu jauh dari kosku yang sekarang.”           Mata Diva berbinar mendengarnya. “Oke. Aku akan bilang pada Papa untuk memberi tempat di kantor untukmu.”           “Diva, aku tidak mau di kantornya. Pekerjakan saja aku di dapur untuk membantu bersih-bersih.”           “Tidak akan pernah, Abigail! Kau sahabatku! Saudaraku! Bagianmu di kantor, bagian keuangan. Titik!”           Dan Diva pun tersenyum puas saat melihat Abby hanya mampu menggerutu. ~~~~           Daniel menghabiskan botol anggur keduanya dan menghela napas kasar. Matanya terpejam dan bayangan tadi malam kembali membanjiri pikirannya. Tadi malam, ia langsung meluncur ke apartemen Sandra dengan kondisi juniornya yang menegang. Rasanya sudah begitu lama ia tidak berhubungan sejak… Yah, cukup lama sejak nama Diva mulai merajai otaknya.           Sampai di apartemen Sandra, ia menemukan wanita jalang itu membuka pintu hanya dengan memakai jubah tipis yang bahkan tidak mampu menyembunyikan payudaranya yang menegang. Daniel hilang akal. Ia menciumi Sandra dengan membabi buta di depan apartemen wanita itu. Dan tepat saat Sandra hendak menariknya ke dalam, matanya melihat sosok Diva yang menatap mereka dengan pandangan menusuk.           Daniel melepaskan Sandra, tetapi wanita itu membelitnya erat bagaikan seekor ular. Butuh waktu bagi Daniel untuk melepaskan diri darinya. Dan anehnya, detik di mana matanya bertatapan dengan Diva, juniornya langsung turun. Sandra yang telanjang di hadapannya tidak lagi menarik baginya.           Daniel segera berlari keluar dari apartemen Sandra. Tanpa benar-benar berpikir, ia membawa mobilnya ke rumah Dave. Namun saat berhenti di depan rumah itu, ia berpikir. Apa yang akan dikatakannya pada Diva? Mereka bahkan tidak ada hubungan apa-apa. Dan terakhir mereka bertemu satu minggu lalu, gadis itu bahkan menolak untuk memaafkannya.           Kemudian, Daniel memutar mobilnya untuk kembali pulang, dan sekarang di sinilah ia, seharian berdiam diri di apartemen Devan. Ya, pulang yang ia maksud adalah ke apartemen Devan. Ia juga tidak tahu apa yang membuatnya mencari sahabatnya itu. Namun yang jelas, ia hanya ingin ketenangan. Devan meninggalkannya tadi pagi dengan sarapan dan kopi yang tersaji di meja makan, tetapi Daniel tidak menyentuhnya. Ia lebih memilih mengambil dua botol anggur persediaan terakhir Devan. Hal terakhir yang diinginkannya adalah makan. Sejak semalam ia berperang dengan batinnya sendiri untuk menelpon Diva dan meminta maaf. Namun meminta maaf untuk apa? Daniel adalah pria bebas yang bisa melakukan apapun dengan wanita manapun. Akan tetapi mengapa rasa bersalah itu terus menerus muncul di hatinya? Mengerang frustasi, Daniel meraih ponselnya. Tangannya berhenti di satu nama. The One, ia memberi nama itu di ponselnya. Ia 'mencuri' nomor ponsel Diva dari ponsel Dave saat pria itu ke kamar kecil, satu minggu lalu. Jarinya gatal ingin menelepon gadis itu. Menguatkan hatinya, Daniel menekan tombol hijau. Berbagai doa ia rapalkan agar gadis itu tidak memakinya nanti. “Halo?” Daniel memejamkan mata saat mendengar suara gadis itu. Setiap sel di tubuhnya seolah hidup kembali hanya dengan mendengar ucapan lembut itu. “Halo?” Ucapnya kembali. “Diva,” panggil Daniel dengan suara serak. “Ya? Dengan siapa saya bicara?” “Aku...aku minta...aku mohon maafkan aku.” “Minta maaf? Apa maksud Anda? Anda siapa?” “Daniel.” “Dan...brengsek!” Daniel menghela napas saat gadis itu mematikan teleponnya. Tidak akan ada harapan lagi. Gadis itu benar-benar telah menganggapnya b******n terbesar abad ini. Sebuah tangan menepuk bahunya. Devan tersenyum dan duduk di lantai di hadapannya. “Ada yang mencuri anggurku rupanya.” Daniel tersenyum malu. “Aku minta maaf. Aku__” “Sedang galau,” Devan memotongnya. “Tutup mulutmu, Alexander!” Devan terbahak-bahak di hadapannya membuat Daniel berdecak sebal. “Pergi sana!” “Ini apartemenku, Bodoh!” Daniel menggerutu. Ia tidak yakin Devan mendengarnya menelepon Diva atau tidak, tetapi sepertinya pria itu tahu. “Jangan menyerah, Dan. Apa yang sulit didapatkan akan lebih kita hargai saat kita sudah memilikinya.” “Ia membenciku, dan sekarang semakin membenciku.” Daniel menunduk dengan putus asa. Satu gadis ini benar-benar membuatnya tidak mengenal dirinya sendiri. Membuatnya merasakan apa yang sebelumnya tidak pernah ia tahu itu ada. “Keajaiban selalu datang pada mereka yang keras kepala dan tidak menyerah.” “Jadi menurutmu aku harus berjuang?” Devan mengangguk dan tersenyum. “Lalu kenapa kau sendiri tidak berjuang?” “Oh, jangan mulai lagi! Ayo makan. Aku membawa risotto untukmu.” Devan bangkit dan keluar dari kamarnya. “An,” panggilnya sebelum Devan menutup pintu. Devan menahan tangannya di pintu dan menatapnya tanpa menjawab panggilannya. “Kalau jatuh cinta itu sesakit ini, kenapa semua orang harus jatuh cinta?” “Tidak. Jatuh cinta itu tidak sakit, perjuangannyalah yang membuat kita merasakan sakit. Tetapi yakinlah, semua itu akan sepadan dengan kebahagiaan yang akan kau rasakan nantinya.” “Kau mau berjuang bersamaku?” Daniel bangkit dan berjalan keluar kamar mengikuti Devan. “Ceritaku sudah selesai, Dan. Ini jalan yang kupilih untuk tidak mencarinya.” “Itu berarti kau menyerah kan? Bagaimana kau bisa menasehatiku jika kau sendiri tidak mampu melakukannya?” Devan berbalik dan menepuk bahunya. “Karena aku tidak ingin kau seperti aku. Berjuanglah untuk ia, untuk kalian. Jangan jadi seperti diriku yang pengecut dan memilih lari.” Daniel menatap sahabatnya ini. Ia tahu Devan masih sangat mencintai gadis yang entah ada di mana itu. “An, maukah kau berjanji satu hal padaku?” Devan menaikkan alisnya. “Jika aku berhasil mendapatkan Diva, maukah kau berjuang kembali untuk mencarinya?” “Makanlah! Risotto-mu hampir dingin.”      
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม