5

1618 คำ
Seminggu berlalu dan Daniel masih belum bisa menyingkirkan mata tajam Diva dari benaknya. Mata itu melotot marah tetapi tetap terlihat sangat cantik di mata Daniel. Ia bahkan rela menerima bogem mentah dari Dave saat ia bilang ingin mendekati adiknya.           Daniel hanya penasaran. Selama ini, tidak pernah ada wanita yang menolaknya. Semua akan dengan senang hati membuka celana dalam mereka untuknya. Namun gadis satu ini terang-terangan menolaknya.           Dave langsung menghajarnya begitu Daniel bilang ia penasaran dengan Diva. Mereka sama-sama orang b******k, tentu saja Dave tidak akan membiarkan adik kesayangannya jatuh dalam pelukan Daniel. Setelah itu, Daniel pura-pura sudah lupa. Ia bisa berakting di hadapan sahabatnya bahwa ia tidak lagi peduli. Namun saat sendirian seperti ini, gadis itu terus berputar-putar di benaknya.           Diva tidaklah seseksi Molly. Tidak juga secantik Sandra. Namun ada hal lain yang entah kenapa membuat Daniel tidak bisa melupakannya begitu saja. Mungkin karena gadis itu tidak tertarik padanya hingga ia jadi penasaran. Atau mungkin karena hal lain yang Daniel sendiri tidak tahu apa.           Daniel menghela napas kasar. Ia harus menghilangkan gadis galak itu dari kepalanya secepatnya. Ini mungkin terjadi karena ia sudah lama tidak tidur dengan wanita sehingga kepalanya menjadi kacau. Ia bahkan tidak bercukur beberapa hari ini.           Meraih ponselnya, Daniel menyusuri satu demi satu nama gadis yang sering ia kencani. Namun bukannya menemukan satu nama, jari-jarinya malah dengan lincah menghapus satu persatu nama itu dari ponselnya hingga tidak ada lagi satu pun nama mereka di ponselnya.           Ia pastilah sudah gila. Satu kali penolakan dan dirinya berakhir seperti ini? Ini sangat tidak masuk akal. Dan pasti akal sehatnya sudah tidak berfungsi. Ia tidak ingin seperti Devan yang -bahkan ia yakin- belum pernah tidur dengan wanita sebelumnya.           Berdecak kesal, Daniel bangkit dari sofa dan pergi ke dapur. Rumah ini terlalu besar untuk ia tinggali sendirian, tetapi ia juga tidak suka tinggal di apartemen. Ia lebih suka berada di rumah. Karena itulah beberapa bulan lalu ia meminta ayahnya untuk membawa dua pelayannya ke sini. Kini di rumah ini hanya ada dirinya, Pedro dan Maria.           Maria adalah pengasuhnya sejak kecil. Selain dengan Rania -ibu tirinya, hanya Maria wanita yang tahu persis bagaimana Daniel. Daniel sudah menyayanginya sama seperti ia menyayangi Rania. Pedro adalah suami Maria. Mereka berdua pelayan pribadi Daniel sejak kecil. Dua anak mereka kadang Daniel terbangkan ke Jakarta jika mereka saling merindukan.           Daniel tahu mungkin ia egois telah membawa Pedro dan Maria jauh dari keluarganya, tetapi Daniel bukan orang yang mudah percaya pada orang lain. Apalagi ia sering pergi untuk waktu yang lama jika sedang mengurus bisnisnya. Ia tidak mau ada sembarangan orang di rumahnya yang mengurus semuanya. Jika satu saat Pedro dan Maria ingin pulang ke Spanyol, Daniel akan meminta ayahnya mengirim pelayan lainnya. Namun Daniel akan melakukan segala cara agar itu tidak terjadi.           Seperti yang ia bilang, ia menyayangi Maria sama seperti ia menyayangi Rania. Karena itulah ia tidak ingin jauh dari 'ibunya'. Hanya dari Maria, ia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah didapatkannya.           “Daniel, kau belum tidur?” Maria muncul dari ruang samping dapur mengenakan mantel tidurnya.           “Aku lapar.” Daniel memang belum sempat makan malam tadi. Ada beberapa pekerjaan yang mesti diselesaikannya.           Maria tersenyum dan membuka kulkas. Ia mengeluarkan casserole daging lalu menghangatkannya di microvawe.           “Sudah kubilang tidak usah meninggalkan makan malam untukku.” Daniel pura-pura cemberut pada Maria.           Wanita itu selalu menyediakan makanan di kulkas untuknya walaupun Daniel bilang akan makan di luar.           “Tetapi hampir setiap malam, kau selalu mengendap-endap di dapurku seperti pencuri.”           Daniel tertawa. Memang. Walau seribu kali ia bilang tidak makan malam di rumah, tetapi tetap saja saat membuka kulkas ia akan menemukan makan malam untuknya meski hanya satu piring. Daniel selalu cinta masakan rumah. Jadi, biarpun ia makan malam di luar, ia akan tetap 'mencicipi' apa yang Maria siapkan untuknya          .           “Sana tidurlah. Pedro bisa mencincangku jika terbangun dan tidak menemukanmu di sampingnya.” Daniel mengambil satu botol bir dari kulkas sebelum Maria merebutnya.           “Aku akan tidur asal kau berjanji tidak minum malam ini,” ucap Maria dengan galak.           “Jangan terlalu kejam padaku, Maria.”           “Ya atau tidak, mi hijo[1]?”           Walaupun cemberut, Daniel mengangguk dan kembali duduk di kursi menunggu casserole-nya hangat. Maria menepuk kepalanya pelan dan meninggalkan Daniel sendirian.           Dalam keheningan, Daniel kembali mengingat ibunya. Ibunya dulu sangat cantik sebelum ia mulai suka mabuk. Daniel suka bermain-main dengan rambut ibunya yang panjang dan halus. Akan tetapi kecantikan dan kelembutan ibunya sirna saat wanita itu mulai mengenal minuman keras.           Apa benar Daniel membenci ibunya? Sejujurnya tidak. Ia hanya marah. Marah karena wanita itu tidak memperhatikannya. Marah karena ibunya selalu memukul Daniel jika ia tidak mendapatkan uang. Dan marah karena wanita itu membuatnya seperti ini.           Ponsel yang bergetar membuatnya sadar dari lamunan. Casserole yang ada di hadapannya bahkan telah kembali dingin. Sederet nomor asing muncul di ponselnya. Daniel tidak tahu siapa, tetapi pasti salah satu dari gadis-gadis itu.           “Hai tampan! Aku merindukanmu,” ucap wanita itu bahkan sebelum Daniel bilang halo.           “Kau ...”           “Sandra! Aku Sandra. Apa kau lupa?”           “Oh, ya, aku ingat padamu.”           Sandra, gadis cantik peranakan Belanda yang berambut coklat dan ikal. Sandra sangat cantik dengan bibir yang penuh dan mata yang besar berwarna coklat. Sandra jauh lebih cantik dari Diva. Daniel sudah beberapa kali tidur dengannya dan gadis itu sangat liar di atas ranjang. Memikirkannya saja tiba-tiba membuat miliknya menggeliat. Ah, sial!           “Kau jarang terlihat di club akhir-akhir ini, sibuk sekali?”           Daniel memejamkan mata. Ia berharap bisa melawan semua ini. “Aku ...”           “Aku sedang berada di apartemenku, telanjang, dan basah karena memikirkanmu.”           Apa benar suara Sandra selalu semenggoda ini? Atau ini semua dirinya yang sudah begitu terangsang hanya dengan membayangkan gadis ini berteriak di bawahnya?           “Sandra,” suaranya tiba-tiba serak.           “Aku menunggumu, Daniel. Di apartemenku.” Dan Sandra mengakhiri panggilannya.           Daniel bangkit dan meraih kunci mobilnya. Sekali ini saja ia berjanji. Sekali ini saja. ~~~~           “Kak, aku ijin tidak ke kantor ya hari ini?” Dave yang sedang meminum kopi, melirik dari balik cangkirnya. “Ada apa?”           “Aku tidak enak badan.”           Mereka bertatapan sejenak sebelum akhirnya Dave mengangguk tanpa bertanya apa-apa. Diva tersenyum lemah dan kembali naik ke kamar tanpa menyentuh sarapannya. Ia bersyukur kakaknya memilih untuk tidak bersikap bawel pagi ini.           Ia memang sakit. Sakit hati tepatnya. Dan semua ini gara-gara playboy b******k cap Jack Daniels itu. Diva membencinya, dan kini kebencian itu bertambah jadi berkali-kali lipat. Kenapa? Karena sudah terbukti bahwa pria itu memang manwhore.           Tadi malam, Diva memenuhi undangan Karin, temannya saat kuliah di London dulu. Karin baru saja bertunangan dan gadis itu mengadakan private party di apartemennya. Hanya makan dan kumpul-kumpul khusus untuk teman-teman wanitanya. Sebenarnya Diva tidak terlalu dekat dengan Karin, tetapi Diva merasa tidak enak karena Karin sering menemaninya menghabiskan weekend saat mereka di London dulu. Diva susah dekat dengan orang lain, karena Karin hampir mirip Abby-lah, ia bisa beberapa kali menghabiskan waktu bersama gadis itu.           Pukul sebelas malam, Diva memutuskan pamit pada Karin. Ia sangat lelah dan ingin beristirahat. Tepat saat ia keluar dari apartemen Karin itulah, ia melihat Daniel berciuman mesra dengan seorang wanita yang bahkan Diva yakin tidak memakai apa-apa di balik jubah tidur tipisnya.           Pria itu memang b******k. Sangat b******k. Daniel mendekatinya satu minggu lalu, dan kini sudah berciuman mesra dengan wanita lain. Tidak hanya berciuman kalau ia bisa menambahkan.           Sekali lagi, hal ini membuat kepercayaan dirinya kembali turun. Bahwa dirinya bukanlah tipe gadis yang membuat seorang pria berjuang untuk mendapatkan cintanya. Satu kali Diva menolaknya, dan pria itu mencari wanita lain untuk ditiduri.           Diva berdiri di depan cermin dan tersenyum pada bayangannya sendiri di cermin. Ia cukup yakin bahwa ia sudah kurus dan cantik. Akan tetapi, kenapa tidak ada pria yang mau berjuang untuknya? Apa lagi kekurangannya?           Ia sudah kenyang dengan segala macam bullying dan pandangan sinis yang diarahkan padanya saat dirinya masih sekolah. Diva remaja adalah gadis yang sangat-sangat gemuk dan tidak menarik. Ia memang pintar, tetapi ternyata itu tidak cukup untuk membuatnya disukai. Para pria lebih suka melihat gadis cantik dan enak dilihat daripada gadis pintar dan kutu buku sepertinya. Oh, dan gemuk!           Setiap waktu, ia hanya bisa memandang iri pada teman-temannya yang tidak pintar tetapi menjadi gadis populer. Kenyataan bahwa dirinya kaya juga tidak membantu apapun. Diva bersyukur bisa bertemu Abby dan bersahabat dengannya. Gadis itu adalah malaikat yang tidak pernah melihat orang lain dari kekurangannya. Namun sayang, begitu lulus sekolah menengah pertama, mereka memilih sekolah yang berbeda. Walaupun mereka tetap bersahabat, tetapi kenyataannya ia tidak bisa bersama Abby lagi saat di lingkungan sekolah.           Tiga tahun itu dirasa bagai neraka bagi Diva. Ia benar-benar menjadi olok-olokan karena penampilannya yang gemuk. Namun Diva menyimpan semua itu rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Tidak ada satupun anggota keluarganya yang tahu, begitu pun Abby. Diva benar-benar bisa berakting dengan baik.           Mengembuskan napas pelan, Diva berbalik dan membanting tubuhnya di kasur. Satu peristiwa yang membuatnya ingin menjadi kurus adalah saat dirinya dihina oleh pria yang disukainya. Diva mendengar pria itu berkata pada temannya bahwa ia mendekati Diva karena ingin mendapatkan nilai bagus di setiap pelajarannya, bukan karena ia menyukainya. Lagipula -ucapnya kala itu- ia tidak mungkin menyukai gadis gendut dan tidak menarik seperti Diva.           Diva sakit hati. Bahwa ternyata selama ini ia hanya dimanfaatkan. Sejak itulah ia bertekad untuk berubah. Diet ketat dan olahraga menjadi 'temannya' pada masa awal kepindahannya ke London. Ia juga bertekad tidak akan dengan mudah mempercayai pria. Karena terbukti, apa yang mereka perbuat dan katakan, kadang tidak sama dengan kenyataan yang mereka rasakan. Dan ternyata, semua pria itu sama saja.           Diva hanya ingin menemukan satu orang yang benar-benar mencintainya dengan tulus dan mau berjuang untuknya. Namun rasanya itu semua hanya mimpi. Atau memang di dunia ini tidak ada pria seperti itu?                                   [1] anakku
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม