Bagi Diva, hal ini terasa sangat konyol karena ia bahkan tidak bisa menghentikan senyumannya. Sekretaris Dave, yang notabene adalah teman baiknya selain Abby, sampai mengangkat alisnya dengan heran.
“Makan siang di mana?” Ia bertanya.
“Kenapa?”
“Sepertinya kau salah makan.”
Diva terbahak dan masuk ke ruangannya. Ia duduk di kursinya masih dengan senyuman lebar yang konyol itu. Ini benar-benar tidak masuk akal! Satu kali makan siang dan ia menjadi gila seperti ini?
Daniel menolak untuk membawa mobilnya. Pria itu memilih pulang naik taksi. Padahal sebenarnya, itu bisa menjadi alasan mereka bertemu kembali.
Kemarin-kemarin pastilah Diva buta. Daniel ternyata benar-benar tampan. Apalagi matanya. Bagi Diva, mata Daniel begitu seksi. Tatapannya yang tajam tetapi lembut mampu membuat kaki Diva gemetar.
Tadinya, Diva memang sengaja ingin mengerjai pria itu. Ia yakin jika Daniel tidak akan suka makanan Indonesia. Namun kenyataannya, pria itu bahkan menambah dua kali!
Ia menghidupkan komputernya dengan cepat dan mulai mengetikkan nama Daniel Armando de Castillo. Sederet berita tentang kesuksesan bisnisnya dan juga sepak terjangnya dengan para wanita memenuhi kolom hasil pencariannya.
Diva mengembuskan napas. Jadi pria itu benar-bebar Don Juan rupanya. Sederet nama-nama artis cantik terkenal di dalam dan luar negeri pernah tercatat sebagai 'kekasih' Daniel. Dan dirinya, walaupun dengan tubuh langsing seperti sekarang, jelas tidak ada apa-apanya dibanding mereka.
“Tadi kau tertawa seperti orang gila, sekarang cemberut seperti gadis sedang patah hati.”
“Ada apa dengan mengetuk pintu, Susan?” Diva cemberut dan buru-buru membersihkan kolom pencariannya.
“Aku sudah mengetuk pintu. Berkali-kali, Ma'am!” Susan duduk di hadapannya dan menyerahkan sebuah map. “CEO dari Kimura Corp. ingin memajukan jadwal pertemuannya malam ini.”
“Bukankah itu tugas Dave?”
“Kakakmu sudah ada janji katanya. Kau saja yang datang.”
Hah! Ada janji! Diva yakin kakaknya itu hanya akan ke club dan mencari jalang untuk ditiduri.
“Besok siang saja. Aku lelah.”
“Diva, ini kerjasama yang sangat penting. Perusahaan kita belum ada cabang di Asia Timur.”
Yeah, ini bisnis besar yang akan menghasilkan keuntungan jutaan dollar. Saat ia memutuskan untuk ikut terjun ke perusahaan, itu artinya ia harus siap dengan meeting mendadak seperti ini.
Diva menghela napas. “Di mana?”
Susan tersenyum dan menyebutkan nama sebuah restoran terkenal di sebuah hotel bintang lima. Satu tempat yang sebenarnya malas untuk Diva datangi. Makan malam dengan client selalu berujung dengan flirting dan ia benci itu.
“Kau temani aku.”
“Cromwell!! Aku ada kencan malam ini!!” Susan melotot padanya. Yeah, hanya pegawai kurang ajar ini yang berani melotot padanya.
“Kau pikir ini adil?? Semua orang bersenang-senang malam ini dan aku menghadiri meeting??”
Susan memutar bola matanya. “You're the boss! Lagipula aku yakin ini tidak akan menjadi meeting yang kaku. Mr. Kimura tertarik padamu!”
Gantian Diva yang memutar bola matanya. “Aku tidak tertarik pada pria Asia.”
“Oh ya? Lalu pria seperti apa yang menarik minatmu?”
Diva tersenyum. Bayangan Daniel menari-nari di kepalanya. “Spanyol...mungkin.”
Susan menyipitkan matanya. “Spanyol? Tetapi pria Spanyol susah ditemukan di kota ini. Kau...Shit! Kau pacaran dengan salah satu dari tiga pria tampan itu!!”
“Siapa yang punya pacar?”
Mereka berdua menoleh pada Dave yang berdiri mengamati mereka dengan matanya yang tajam. Kedua tangannya berada di saku celananya. Tampaknya Dave telah cukup lama mendengar pembicaraan mereka.
“Kau punya kekasih, adikku?” Dave mendekat pada mereka dan Susan menarik diri tanpa pamit.
Diva melotot pada sekretaris Dave yang kurang ajar itu. Berjanji dalam hati ia akan memotong gaji Susan karena meninggalkannya sendirian untuk dimangsa seekor singa. Singa jantan yang sepertinya kurang asupan gairah.
“Tidak, Kak. Aku...”
Ada saat-saat tertentu di mana Diva memanggil Dave dengan sebutan 'kak'. Termasuk ketika ia merasa 'takut' dengan kakaknya ini. Dave memang menyayanginya, tetapi terkadang, Dave juga bisa sangat tegas padanya.
Dave terus mengamatinya hingga membuatnya salah tingkah. Dalam hati, lagi-lagi ia bersumpah akan menyumpal mulut Susan dengan Louboutinnya jika Dave sampai curiga padanya. Pria itu tidak akan senang mengetahui fakta ia keluar bersama Daniel.
“Kenapa kau tidak menungguku makan siang?”
“Itu...itu...kakak lama sekali. Aku kelaparan.” Diva menunduk dan menggigit bibirnya. Kebohongan ini ia yakin tidak akan berhasil. Dave seperti predator yang siap memangsa lawannya yang tak berdaya.
“Diva, jangan kau berikan hatimu pada orang yang salah. Kau tidak tahu apa-apa tentang itu.” Perkataan yang tiba-tiba itu membuat Diva terdiam.
Apa ini sebuah peringatan? Apa kakaknya tahu ia pergi dengan Daniel?
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.” Diva tahu, berkelit pun tidak ada gunanya, tetapi entah mengapa ia masih mengucapkannya.
Kedua tangan Dave kini bersedekap. Pria itu masih menatapnya tajam. “Haruskah aku mengatakannya dengan jelas?”
Diva menaikkan dagunya. Bertekad untuk tidak gentar. “Ya. Katakan saja.”
Dave memejamkan mata dan menggeleng pelan. Matanya menatap lurus pada Diva saat akhirnya terbuka. “Daniel pria b******k. Jauhi dia. Jatuh cinta tidak pernah ada dalam kamusnya.”
“Kalau begitu kau juga b******k, Dave.”
“Ya! Aku dan Daniel itu sama. Karena itulah aku tidak ingin kau mendekatinya. Jangan pernah.”
“Dave___”
“Aku serius! Jangan pernah dekati dia.”
~~~
“Kau tidak ingin keluar malam ini?”
Daniel menggeleng mendengar pertanyaan Devan. Mereka berdua sedang bermain game di rumah Devan. Rumah dan apartemen Devan sudah menjadi tempat tinggal kedua bagi Daniel. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di sana.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” Daniel balas bertanya.
Devan mengangkat bahunya. “Kurasa aku ingin tidur.”
“Kalau begitu kita bertanding saja sampai pagi.”
Alis tebal Devan menatapnya dengan tidak percaya.
“Danny, kau serius? Ini malam Sabtu, dan ada undangan ke club.”
Daniel mengerutkan alisnya tidak suka. “Jangan panggil aku Danny. Kau seperti ayahku.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan! Ada apa dengan dirimu sebenarnya?”
Daniel sendiri juga tidak mengerti. Ada perasaan hangat menyusup ke hatinya saat mengingat kebersamaannya dengan Diva siang tadi. Dan entah mengapa, ia tidak ingin kenangan indah itu ternodai dengan wanita lain. Hal terakhir yang Daniel inginkan saat ini adalah tidur di pelukan seorang jalang. Tidak. Ia akan menghindari itu malam ini. Atau malam-malam berikutnya.
“Bilang saja pada Dave dan Damian kita kencan,” jawabnya enteng dan ia terbahak saat Devan memukul kepalanya dengan stik PS.
“Kau bertemu Diva lagi ya?”
Pertanyaan itu memang diucapkan sambil lalu dan terkesan tidak peduli, tetapi bisa membuat Daniel meletakkan stiknya dan berbaring di lantai. Matanya memandang langit-langit rumah Devan yang tinggi.
“An?”
“Hmm.”
“Apa jatuh cinta itu menyenangkan?”
Devan menoleh padanya. “Kau ingin selalu bertemu dia? Kau ingin melihat senyumnya? Kau tidak ingin bertemu dengan wanita lainnya? Jika semua jawaban itu adalah ya. Yeah, you're already in love, dude!”
Apa itu mungkin? Ia bahkan baru mengenal Diva. Tidak, ia belum mengenalnya.
Devan tertawa hingga membuat Daniel menoleh.
“Ada apa?”
“Bayangkan saja kau sedang berjalan di sebuah toko dan tiba-tiba melihat baju yang sangat indah. Kau pasti langsung jatuh cinta kan?”
“Bagaimana kau bisa tahu apa yang kupikirkan?”
Devan kembali tertawa. “Yah, kurasa pikiranmu bisa bersuara.”
Daniel tersenyum malu. “Tetapi Diva terlalu indah jika dibandingkan dengan sebuah baju. Ia___” ucapan Daniel terpotong oleh getar ponselnya.
“Ya Dave?”
“Kau di mana?”
“Di rumah Andra. Ada___”
Tut tut tut.
Daniel menaikkan alisnya. Ada apa?
“Kenapa?”
“Entahlah. Dave terdengar marah.” Jawabnya sambil bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya.
Kenapa suara Dave semuram itu? Apa ada yang salah dengan meeting siang tadi?
Pertanyaan Daniel terjawab saat Dave tiba dua puluh lima menit kemudian. Pria itu tidak tersenyum seperti biasanya. Matanya mengarah lurus ke Daniel.
“Kau!” Tunjuknya seraya berkacak pinggang. “Jauhi adikku!”
Devan dan Daniel saling berpandangan. Mengertilah Daniel mengapa Dave murka. Ia tahu jika Dave tidak akan membiarkan adik kesayangannya jatuh ke pelukan pria sepertinya.
“Dave, apa aku tidak boleh bahagia?” Tanyanya dengan pelan.
Seumur hidupnya, Daniel tidak pernah merasa benar-benar menginginkan sesuatu seperti sekarang ini. Bahkan tidak dengan kerjasama bisnis yang memberinya keuntungan besar.
“Kau tentu berhak bahagia, tetapi tidak dengan mendekati adikku!”
“Dave___”
“Tidak, Danny! Kau bisa memiliki wanita manapun di ranjangmu, tetapi tidak dengan adikku!!”
“Aku tidak menginginkannya di ranjangku!!” Daniel berteriak. Yah, ia memang b******k, tetapi ia tidak melihat Diva seperti itu lagi saat ini.
Dave tersenyum sinis. “Kau berani bilang seperti itu karena kau belum mendapatkannya.”
“Dave, kau salah paham.”
“Jangan ikut campur, Alexander!” Dave mengacungkan satu jarinya pada Devan lalu kembali memandang Daniel. “Aku serius, Daniel. Sekali lagi aku melihat kalian keluar berdua lagi, aku patahkan lehermu.”