Lamunan tentang masa laluku buyar begitu saja karena teriakan cempreng seseorang yang sangat kukenali, Gladys.
Suara yang berpotensi merusak gendang telinga itu memang sudah sangat kuhafal di luar kepala. Bukan karena dirinya penting tapi karena suaranya itu benar-benar khas.
Langsung saja aku menoleh padanya yang sedang menggerutu kesal seraya membersihkan seragamnya yang basah akibat jus jerukku. Ups, padahal aku belum menyiramnya sama sekali.
Tidak apa lah, jus jeruk mengenai tepat sasaran. Yah, kalau pun tidak tepat sasaran aku juga tidak peduli.
Gladys menatapku marah, menudingkan jari telunjuknya padaku. "Kenapa kau menabrakku, sialan? Lihat bajuku! Jadi basah semua."
"Hah? Aku? Menabrakmu? Apa kau tidak mimpi?"
"Jangan sok lugu! Jelas-jelas kau yang menabrakku sehingga minuman yang kau bawa mengenai seragamku!"
Dia tetap membentak marah. Keningnya mengernyit tak suka dengan tatapan tajam yang terus tertuju padaku.
"Bukannya kau yang menabrak Swift, Dys?" tanya Qywa, teman gengnya yang paling polos. Entah kenapa dia bisa berada di dalam genk cabe-cabean ini. Ehm, mungkin dia salah pergaulan.
Tatapan Gladys beralih ke Qywa. Ditatapnya gadis polos itu marah. "Diam kau!"
"Kan memang benar." cicit Qywa seperti tikus yang terjepit ekornya.
Kulihat Laudia menahan tawanya. Terkadang secara tidak langsung, Qywa selalu membela kami akibat kepolosannya itu. Haduh, kadang lucu juga membuat sesama mereka bertengkar akibat kepolosan Qywa.
Terkadang aku sengaja menggunakan kepolosan Qywa untuk membuat mereka saling bertengkar. Kadang, aku juga membuat mereka babak belur tanpa menyentuh mereka dengan cara mengadu domba sesama mereka. Seperti para penjajah yang mengadu domba suatu kerajaan di Indonesia pada zaman dulu, jangan heran aku bisa tahu karena aku sangat suka membaca cerita-cerita apapun termasuk cerita sejarah. Hebat bukan? Aku mempraktekkan itu di kehidupan nyata. Hahahaha... Swift gitu loh! Apa sih yang tidak bisa Swift lakukan?
"KAU INI TEMAN ATAU MUSUHKU SIH?!"
"Teman."
"KALAU TEMAN, KENAPA KAU LEBIH MEMBELA MEREKA?!"
"Aku tidak membela, aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya." Qywa masih menjawab dengan polos tapi takut-takut.
Aku menguap pelan melihat pertunjukan mereka. "Masih lama ya pertunjukannya? Aku sudah bosan melihat pertunjukan kalian. Kelas yuk, Lau!" ajakku pada Laudia lalu berbalik arah untuk meninggalkan kantin.
Tapi baru satu langkah aku berjalan, kurasakan rambut pirangku di tarik oleh seseorang dari belakang. Mau tak mau aku pun memutar tubuhku lagi untuk menatap si pelaku. Pelakunya adalah Gladys. Siapa lagi kalau bukan dia. Si nenek sihir jadi-jadian.
"Mau kemana kau, sialan? Urusan kita belum selesai!"
Aku tertawa sinis mendengar ucapannya. Kala tawa sinisku berhenti, aku menatapnya datar. "Lepaskan rambutku!"
Gladys tertawa mengejek. "Haha... Lepasin? Cih, jangan mimpi sebelum rambut ini tercabut dari kepalamu."
"Lepas atau kau akan menerima akibatnya!" peringatku sekali lagi dengan mengeluarkan aura intimidasiku. Aku dapat melihat setitik kegelisahan diraut wajahnya tapi dia tetap saja mengangkat dagunya dengan sombong. Melihat pemandangan itu aku hanya bisa tersenyum sinis.
"Tidak akan pernah! Akan kucabut rambut jelekmu ini!!" Menguatkan jambakannya di rambutku.
"Ohh, oke. Kalau itu maumu." sahutku sambil menyeringai.
Baiklah! Hari ini aku akan memberimu pelajaran Gladys. Siap-siap saja menginap di rumah sakit karena hari ini, aku akan melampiaskan seluruh kekesalanku padamu. Jangan salahkan aku kalau hal itu terjadi! Dia lah yang memancingku untuk melakukannya.
Kupelintir tangannya dengan mudah hingga dia menjerit kesakitan. Tanganku yang satu lagi kugunakan untuk menjambak rambut pirang kemerahannya. "ARGHHH!!" Baru dijambak sedikit saja sudah berteriak kesakitan. Dasar lemah!
"Kalau kau merasa gadis yang lemah tidak usah mencari masalah denganku karena sampai kapan pun kau tidak akan pernah menang dariku!"
"Arghh!! Sialan!! Aku tidak lemah!! Kau lah yang lemah!!" Balasnya berteriak.
Tawaku keluar tanpa dapat ditahan. "Oh ya? Kita butuhkan saja!" Berbisik lirih ditelinganya tanpa melepaskan jambakan sama sekali. "Bersiap lah menginap di rumah sakit sebentar lagi, Gladysku yang malang."
Tanpa aba-aba langsung saja kutinju perutnya dengan kuat. Bertepatan dengan itu, aku melepaskan jambakan di rambutnya.
Gladys terhuyung kebelakang sembari memegangi perutnya dan merintih kesakitan. Aku maju, menjambak rambutnya kuat hingga dia mendongak. Kutampar pipi kanan dan kirinya secara bergantian dengan keras hingga menimbulkan jejak kemerahan dan sudut bibir yang sobek.
"Kau!!!" teriaknya marah dan mencakar lenganku. Cakar? Hadeh, berkelahinya kok perempuan banget sih? Pakai yang ekstrim dong. Misalnya dengan cara meninju. Bukan menjambak atau mencakar.
Cakaran dilayangkannya bertubi-tubi, setidaknya sampai aku menahan dan mempelintir tangannya. "ARGHHH!!! SWIFTT SIALAN!!!"
"Aduh, sakit ya? Haha, maaf. Sengaja."
Gladys berusaha melepaskan tangannya. Aku yang tak mau bersentuhan lebih lama dengan kuman sepertinya segera saja kulepaskan dan kudorong ke lantai. Lagi-lagi dia berteriak lebay. Kutendang tulang keringnya dengan kuat, dan kembali dia menjerit kesakitan.
Tak puas, aku berjongkok dan meninju ulu hatinya kuat sehingga dia terbatuk darah. Menepuk-nepuk kedua tanganku seraya berdiri.
"WAHH!!! MANTAP, KECIL!! TERUSKAN AKSIMU!!" teriak Laudia heboh.
Dalam diam aku mendengus mendengar ucapannya. Mood berkelahiku seketika hilang mendengar teriakannya.
"AKAN KUBALAS KAU SIALAN!!"
Masih saja si Gladys melawan, padahal dia sudah diambang batas kesadarannya.
"Balas saja kalau bisa!" Sarkasku dan pergi ke arah Laudia.
"KECILL!! AWASSS!!!"
Teriakan Laudia membuatku menoleh kebelakang. Terlihat Gladys sedang berlari ke arahku sembari membawa benda tajam. Jika saja aku tidak menghindar dengan cepat, mungkin perutku lah yang menjadi sasaran tusukannya. Tapi karena menghindar, pisau tajam yang dibawanya malah menusuk lenganku. Darah merembes keluar dari seragamku. Seragam putihku berganti dengan warna merah seketika. Yang membuatku tidak menyangka adalah dia berani membawa alat tajam ke sekolah karena di sini sangat dilarang keras membawa alat-alat tajam. Para murid berteriak histeris.
"Kau curang dan kau harus menerima akibatnya." desisku marah. Kurampas pisaunya, akibatnya tanganku menjadi tergores oleh pisau itu tapi aku tidak peduli. Kulemparkan pisau tersebut ke tempat yang aman.
"Rasakan ini!" desisku tajam.
Tiga tinjuan kuat kulayangkan ke perutnya. Meski lenganku terasa sangat sakit, tetap kupaksakan untuk meninju makhluk tak tahu diri sepertinya.
Dia ambruk tepat di kakiku. Pandanganku tiba-tiba terasa berkunang-kunang. Pendengaranku berdengung dan setelahnya pandanganku pun menggelap. Terakhir yang kudengar adalah teriakan panik sahabatku, Laudia.
-Tbc-