Satu I I Radista Pov

1846 Words
Sebelum olahraga, aku mulai melakukan peregangan otot, disampingku sudah ada sahabat sehidup dan sematiku (kalau dia mau sih) namanya Rivan Arthur. Kita berdua bersahabat sejak masuk SMP saat keluargaku pindah ke Bogor. Ivan teman pertamaku, dia juga yang menjagaku selama ini, tapi sayang hubungan kita hanya sebatas teman. “Gue kesana dulu, biasa ketemuan sama yayang” Aku mendengus tak kala dia nge-wink kearahku, sedangkan aku hanya memasang wajah ingin muntah. Ivan itu aneh, masa iya barbell di panggil yayang sih? sementara disini ada cewek super cantik, ehm, bukannya aku sombong tapi itulah kenyataan nya. Dari pada pusing memikirkan tingkah Ivan yang sedikit normal dan banyak absurd nya, lebih baik aku memulai olahraga juga dengan berjalan di treadmil. Sekitar satu jam kemudian aku dan Ivan memilih untuk istirahat sejenak setelah melakukan berbagai macam olahraga. Oh iya, aku jadi suka pergi ke gym juga karena Ivan, awalnya aku sih ogah banget tapi setelah mencoba sekali dua kali akhirnya aku kecanduan. Yah, tak masalah kan kecanduan olahraga? Justru itu lebih baik. Ivan meraih botol minum, membuka tutupnya lantas meneguk isinya. Sementara aku diam menatap terpesona kearahnya, keren. “Van, gue mau kuliah. Kira-kira bokap nyokap izinin nggak ya?” tanyaku membuka pembicaraan. Ivan menoleh ke arahku, dia menatapku sebentar sebelum menjawab “Maybe, pada dasarnya lo kan emang disuruh kuliah, Ra.” kata dia sembari menutup botol minumnya kembali. “Iya sih, tapi mereka pengennya gue ke Aussie. Tapi lo tau sendiri gue gagal” jawabku sambil mengelap keringat dengan handuk kecil yang aku bawa dari rumah “Dan gara-gara itu mereka jadi benci sama gue” lanjutku, menghela nafas. Kalian pasti penasaran kenapa cewek sepintar aku bisa gagal masuk universitas. Fyi, bukannya mau sombong atau apa, tapi lagi-lagi itulah kenyataan nya. Apa? Kalian butuh bukti? Sekali-kali kalian boleh mampir ke rumah mewahku, ehm, bukan nya aku sombong lagi tapi memang itulah kenyataan nya. Jadi, sampai mana pembicaraan kita tadi? Ah iya, alasan kegagalan ku. Sebelumnya perlu kalian tau, aku mantan atlet renang yang memenangkan Olimpiade nasional dan mendapatkan beasiswa sekolah atlet di Aussie, tapi Mama-Papaku mencegah pelatih yang akan mendaftarkan ku sekolah atlet di Aussie lantaran mereka ingin aku masuk kuliah dan mengambil jurusan yang selinier dengan pekerjaan mereka agar di masa depan aku bisa meneruskan perusahaan. Sayangnya saat itu aku menolak mentah-mentah keinginan mereka, lantaran aku ingin jadi atlet. Hey, kalian pasti tau kan kalau kita dibebaskan untuk memilih dan memeluk agama mana yang kita inginkan, lah ini hanya soal pendidikan kenapa malah di atur-atur? Kedua orang tuaku tetap ngotot, hingga pada akhirnya aku terpaksa ikut tes masuk kuliah mengambil Business School dengan jurusan Management & Organisation lalu berakhir dengan kegagalan lantaran aku menjawab setiap soal dengan asal-asalan. Yah siapa peduli? Disaat mereka tidak mempedulikan keinginanku lantas kenapa aku harus memperdulikan keinginan mereka? Jangan ditiru! Karena ulahku itu sekarang aku jadi anak yang di benci. Dan rasanya begitu sakit, sumpah! Ivan mengusap keringat di dahinya menggunakan handuk yang melingkar di leher, lagi-lagi aku terpesona akan ketampanan Ivan yang luar biasa, tapi aku heran, cowok setampan Ivan masih saja menjomblo sampai sekarang. Pernah aku menuduhnya gay, dan dia marah besar kepadaku. Alhasil aku harus membujuknya agar mau memaafkanku. Pokoknya Ivan itu tampan dan keren, Apalagi saat berkeringat seperti ini. “Van, seandainya gue punya orang tua kayak tante Melisa dan om Riki pasti menyenangkan” celetukku lagi, mengalihkan topik serta membuyarkan lamunan yang isinya hanya tentang kekagumanku pada visual Ivan. “Yah, bukannya lo udah jadi anak mereka ya sekarang?” tanya Ivan sensi, dia cemburu saat kedua orang tuanya memperlakukanku seperti anak mereka sendiri. Aku menoleh, lalu terkekeh menatap wajah kesal Ivan yang malah terlihat lucu di mataku, aku menjentikan jari “Ah, gimana kalo kita tukeran orang tua aja, Van. Habisnya orang tua lo asik, sementara orang tua gue..ya lo taulah, annoying banget” kataku sebari memutar bola mata malas mengingat seberapa annoying nya sikap kedua orang tuaku. “Ogah, lagian nggak lucu kalo gue tiba-tiba disuruh pindah ke Aussie” jawab Ivan langsung tanpa berpikir dua kali, aku terkekeh, lantas menepuk pundak Ivan “Pulang yuk” -Batas- Kendaraan roda empat yang aku tumpangi kini berhenti tepat di depan rumah keluarga Purnama, aku menoleh kearah sahabat sekaligus supir pribadiku dengan cengiran lebar "Thanks, Van. Mau mampir?" Ivan menggeleng dengan semangat, netranya menatap mobil yang terparkir di garasi rumah "Males, dirumah ada bokap nyokap lo." kata dia sebari bergidik ngeri, Ivan punya kenangan buruk dengan kedua orang tuaku, maka dari itu dia sekarang anti banget berkunjung kerumah kalau sedang ada kedua orang tuaku. Aku hanya mengangkat bahu, tak masalah. “Oke deh kalo gitu, hati-hati ya" tambahku lagi Ivan mendengus seraya melotot ke arahku, padahal kalau dia santai juga bisa loh. Gak usah melotot-melotot gitu. "Rumah gue disitu, Ra. Pake lo hati-hatiin segala" jawab dia seraya menunjuk rumah bercat putih yang tak jauh dari rumahku. Aku terkekeh "ya siapa tau aja disitu mobil lo nabrak semut kan?" balasku tak mau kalah, Ivan hanya mengangguk mengiyakan dari pada mendebatku lagi. Mobil hitam kembali melenggang pergi, aku masuk ke dalam rumah, langsung menuju ke dapur karena haus. “Bi, makananku bawain ke kamar ya” ucapku ke Asisten Rumah Tangga yang sedang santai duduk-duduk di pojok ruangan. Langkah kakiku menaiki tangga, sebelum masuk ke dalam kamar aku menyempatkan diri untuk menyapukan pandangan mencari dimana orang tuaku berada. "Palingan juga di kamar" gumamku, lantas masuk ke dalam kamar, aku menaruh tas di lantai dan bergegas mandi karena sudah berkeringat dan lengket. Di tengah guyuran air shower aku mulai memikirkan tentang hubunganku dengan kedua orang tuaku. “Gue heran, kenapa anak-anak di cerita novel bisa akur banget sama orang tua mereka? Sedangkan gue nggak. Entah dosa apa yang pernah gue perbuat” tanganku terulur untuk mematikan shower, lantas melangkah masuk ke dalam bathup, memejamkan mata menikmati keheningan dan aroma wangi sabun. Tiba-tiba saja kenangan masa lalu melintas, membuatku spontan kembali membuka mata. “Sialan!" umpatku kesal "Ngapain mikirin dia lagi sih? Dia aja belum tentu mikirin gue, cih!" Dari pada mood ku berubah jelek lebih baik aku bergegas menyelesaikan kegiatan mandiku. Terdengar bibi memberitahuku kalau makanan sudah siap. “Taruh aja di meja, bi!” Meski aku tau jawabanku percuma mengingat kamar mandi ini kedap suara. Aku buru-buru memakai handuk kimono dan keluar kamar mandi. Ritual memakai baju dan make up hanya butuh waktu beberapa menit saja. Setelah itu aku segera mengambil makanan yang sudah di siapkan. “Ya lord, semoga makanan yang masuk ke dalam tubuhku bisa jadi daging, bukan hanya pup doang. Soalnya badan aku kek triplek warteg. Amiin” -Batas- For your Information, kalau kedua orang tuaku sedang di rumah maka aku jarang sekali menampakan wajah di bawah. Seperti saat ini, sometimes aku merasa bukan mereka yang membenciku namun aku yang mulai menjauh dari mereka. Tapi yaudah lah, percuma memikirkan hal yang membuat perasaanku berubah tidak enak, lantas hal apa yang harus aku pikirkan sekarang? Ah, iya.. KAMPUS! Kuraih benda pipih yang teronggok bisu di sampingku, lantas mulai menuliskan nama universitas di laman pencarian. “Gila! Kenapa gue nggak daftar satu kampus sama Ivan aja ya? Bener, bener, daripada pusing mending disana aja” aku bermonolog penuh semangat. Fyi lagi nih, sebenarnya aku dan Ivan satu angkatan saat SMA, namun karena aku gap year maka Ivan akan jadi kakak tingkat ku nanti. Jangan tanya kenapa aku bisa sampai gap year, karena ceritanya sangat panjang. Nanti aku ceritakan kalau sempat, oke? Ya, intinya masalah renang itu sih. Masih dengan semangat yang berapi-api aku mendial nomor ponsel Ivan, terdengar nada sambung tak lama suara seorang wanita memasuki indera pendengaranku “Halo,” aku mengerutkan kening bingung. “Sejak kapan Ivan transgender jadi cewek?” Ups! Aku menutup mulut yang suka sekali kelepasan, belum selesai aku merutuki mulut sialanku ini wanita yang ada di seberang kembali berbicara “Tante kenal nih suaranya, Radista kan?” Double s**t! Itu tante Melisa! Ya tuhaaaannnn.. Demi apapun kalau bisa aku ingin menenggelamkan diri saja di kanal samping rumah, malu banget sudah mengolok-olok Ivan di depan Mama nya sendiri apalagi dengan mengatai cowok itu transgender! Semoga Tante Melisa tidak marah dan melarang Ivan untuk berteman denganku lagi. “Eh, tante Melisa?” ucapku memastikan. “Ya ampun Ra, masa lupa sama suara tante sih kamu?” “Hehehe, bukan gitu tan," jawabku tak enak sebari menggaruk rambut yang tidak gatal sama sekali "Aduh, gimana ya ngomongnya.. pokoknya bukan gitu lah, tan” aku diam saat mendengar kekehan tante Melisa yang baik dan cantik luar dalam nya, kalau wanita itu terkekeh tandanya beliau tidak marah kan? Sekarang aku boleh bernafas lega kan? “Jadi gini, tan” ucapku lagi setelah beberapa saat “Berhubung Ivan nggak ada aku ngomong sama tante aja deh” “Ngomong apa sih, Ra?” tanya tante Melisa sembari meredakan kekehannya. Aku menggigit bibir bawahku “Jadi,..Ra mau kuliah tan, dan rencananya mau satu kampus sama Ivan-“ Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat tau tante Melisa akan menjerit histeris “Dasar tante-tante hiperaktif!” gumamku dalam hati lantas menempelkan kembali benda pipih itu di telingaku. Tante Melisa kembali berbicara “Pilihan yang bagus, Ra. Dan tante setuju banget kamu kuliah di kampus Ivan, lagipula dia juga pasti setuju” Aku menghela nafas lega, lalu mengangguk dengan senyum mengembang. “Siap deh tan, makasih tante Melisa yang cantik, baik dan menyenangkan” “Radista mah bisa aja, yaudah kalo gitu tante tutup dulu ya teleponnya” “Iya, tante” Setelah sambungan telepon terputus aku kembali rebahan, memikirkan sebentar lagi aku akan kuliah membuat dadaku deg-degan hingga tak sadar aku menutupi wajah dengan telapak tanganku. Aku menoleh saat pintu kamar diketuk, dan muncul wajah pembantuku. “Non, di panggil tuan sama nyonya di bawah” Aku mengerutkan kening bingung, lantas meloncat turun dari ranjang. “Ngaco banget nih, si bibi.” “Bibi serius, Non. Buruan gih, dari pada dimarain nanti” “Lah, kok bibi nyuruh aku? kan aku majikan” “Astagfirullah, ini bukan nyuruh Non—“ “Iya-iya, aku ke bawah. Hehe..” Suara langkah kakiku menuruni tangga menggema lantaran sandal yang aku pakai beradu dengan lantai membuat kedua orang tuaku yang tengah menonton tv menoleh. Suhu Ac mendadak menjadi sangat dingin saat tatapanku bertemu dengan tatapan mata Papa. Diam-diam aku merinding juga di tatap setajam itu, muncul satu pertanyaan di pikiranku, sebenci itukah mereka kepadaku hingga menatap saja tidak bisa biasa? “Kayaknya penting banget sampai kalian panggil Ra. Ada apa?” tanyaku pertama membuka suara setelah sampai di depan mereka. “Yang sopan kamu sama orang tua.” Aku hanya mengangkat bahu tak acuh, suara mama menengahi “Duduk, Ra” Setelah aku duduk, papa kembali menatapku “Papa denger kamu pengen kuliah” ‘Sejak kapan kamarku ada cctv-nya?’ gumamku dalam hati, lagi. Aku mengangguk, menatap papa dan mama yang memandangku dengan serius “Papa akan kasih kamu satu kesempatan lagi buat kuliah-“ “Yes!” pekikku pelan. “Asal… kamu mau dijodohkan!” Dan seketika senyumku langsung pudar, dunia seakan mulai runtuh, penerangan seakan mulai redup, dan kebahagiaan seakan mulai menjauh meninggalkan aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD