DIANA DAN PERUBAHANNYA

1587 Words
  Dua tahun setelahnya.   Dua tahun berlalu dan tidak ada yang berubah. Ralat, jika perubahan yang dimaksud adalah perubahan fisik, maka Diana benar-benar berubah. Tubuhnya yang tinggi semakin mempesona, apalagi dengan kemampuannya dalam memadu padankan pakaian. Sosoknya benar-benar mencolok. Kemampuan memoles make up-nya juga tidak perlu diragukan lagi. Fisiknya memang semakin luar biasa seiring bertambahnya usia, tapi pada kenyataannya hatinya masih sama seperti dua tahun lalu. Terluka parah.   Hatinya selalu terkoyak setiap memikirkan moment yang terjadi selama dua tahun belakangan. Apalagi mengingat dua sejoli itu yang tersenyum sumringah di resepsi pernikahan mereka dan memorak-porandakan hatinya. Tidak ada yang mudah untuk urusan hati. Meskipun bertahun-tahun berlalu, lukanya tetap sama.   Dan hari ini –berkat perusahaan yang menaunginya di Singapura- luka itu semakin membesar. Perusahaan mengirim Diana untuk bekerja di cabang yang ada di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Karena itu di sinilah Diana berdiri sekarang.   Di saat semua orang memilih bergegas keluar dari pintu kedatangan dan menghampiri orang-orang yang menjemputnya, Diana justru memilih berdiri di ambang pintu dengan mata terpejam. Sejenak dia menghirup aroma Jakarta yang sudah lama tak dia rasakan. Dan aromanya masih sama, persis seperti lukanya yang masih sama. Hanya dirinya saja yang berubah.   Sambil menyeret kopernya Diana teringat perkataan neneknya yang jelas-jelas melarangnya kembali ke Indonesia.   “Kamu nggak usah balik ke Jakarta. Mau apa kamu di sana? Nenek nggak setuju.”   “Nek, ini perintah perusahaan, lho. Aku nggak bisa dong seenaknya nolak.”   Diana berkilah, walau fakta sebenarnya adalah dia yang membujuk manajer divisinya untuk merekomendasikannya pada manajer atas. Ini murni keinginannya sendiri. Tapi karena tahu neneknya tidak akan pernah menyetujuinya, karena itu dia butuh dalih yang kuat. Dan perusahaan adalah dalih yang sangat cocok.   “Kan kamu bisa menolak, Di.”   Diana diam karena pada dasarnya dia memang tidak berencana menolak. Dalam hatinya dia bertanya-tanya kenapa harus menyia-nyiakan kesempatan ini? Bisa jadi ini satu-satunya kesempatan agar dirinya bisa kembali ke Indonesia.   “Kamu sudah bahagia di sini.”   Diana terkekeh karena perkataan neneknya yang sangat salah. Diana tidak pernah merasa bahagia di sini. Yah, di sini memang menyenangkan, tapi tidak pernah membahagiakan. Di sini dia hanya berfokus untuk menutupi lukanya dari semua orang, terutama neneknya. Bahagia yang sebenarnya adalah ketika dia kembali ke Indonesia dan mendapati Doni menjadi miliknya. Untuk semua penderitaan yang sudah dia dapatkan, Diana rasa hanya Doni-lah yang pantas untuk semua itu.   “Walau bagaimana pun Indonesia adalah tempat aku akan pulang. Aku lahir dan dibesarkan di Jakarta, Nek. Apa salahnya kembali ke tempat itu?” Diana berkilah dengan suara lembutnya.   “Kamu yakin ini hanya perkara tanah kelahiran dan bukannya untuk orang lain? Seorang laki-laki, misalnya.”   Keteguhan Diana membuat neneknya mencurigai sesuatu, dan benar, dia menangkap maksud tersembunyi dari tatapan mata cucunya yang menyiratkan luka meski dua tahun sudah berlalu.   “Di, jangan.” Peringatnya lagi.   “Aku kembali ke Indonesia untuk pekerjaan aku, bukannya untuk hal lain. Nenek tidak perlu khawatir.” Diana mempertegas. “Dan memangnya kenapa kalau di sana ada pria itu? Aku tidak melakukan kesalahan, Nenek, jadi apa salahnya kembali? Tidak ada pula hukum yang melarang seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan untuk berada di satu tempat yang sama dengan pria yang pernah dicintainya itu.”   “Di, jangan, atau kamu akan menyesal.”   “Aku nggak akan menyesal.”   Doni-lah yang akan menyesal, batin Diana dengan langkah mantap meninggalkan bandara.   ***   “Diana?”   Dia berbalik mendengar namanya disebut. Matanya membulat pada orang yang berusaha menyapanya. Doni Atmajaya. Tadinya Diana sudah menyiapkan rencana untuk berpura-pura tak sengaja bertemu pria itu. Dia ingin melihat bagaimana reaksi Doni melihat dirinya sudah sesempurna ini. Tapi sepertinya takdir berkehendak lain. Takdir ingin pertemuan pertamanya dengan Doni benar-benar sebagai kebetulan.   “Doni?” Diana berpura-pura terkejut sambil berpura-pura mempertanyakan kebenaran identitas pria yang ada di depannya.   “Iya, ini Doni Atmajaya. Masa lupa sih? Rumah kita dulu cuma berjarak dua blok lho. Kita juga sering main bareng dulu.” Doni terkekeh.   Tentu saja Diana tidak lupa. Bagaimana mungkin dia bisa lupa pada pria yang sudah membuat dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya? Doni dan luka yang dia torehkan tidak akan pernah terlupakan.   “Nggak lupa kok, tapi cuma memastikan aja. Kamu kelihatan lebih dewasa banget ya.”   “Ya harus dong. Kan aku udah menikah, masa iya masih kayak ABG ingusan sih.”   Ah, topik sensitif ini. Kenapa Doni perlu mengingatkan statusnya yang sudah beristri? Menjengkelkan sekali.   “Kamu ngapain di sini jam segini, Don? Nggak kerja?” Diana berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Dia tak mau membahas kebahagiaan pernikahan Doni di pertemuan pertama mereka yang sangat kebetulan ini.   “Ya justru aku di sini buat kerja, Di.”   “Di hotel gini? Yakin?” Diana menaikkan alisnya dengan nada suara menggoda.   “Di restoran hotel, tepatnya. Ada klien penting, jadi ya tempat meeting-nya agak wah dikit.” Doni memperjelas dan Diana ber-oh-ria. “Oh ya, kamu kok di sini? Bukannya aku denger dari Mama kamu pindah ke Singapura ya?”   “Kenapa? Nggak boleh ya?” Diana berpura-pura merengut. “Jahat banget sih. Berasa Jakarta cuma punya kamu sama istrimu aja ya.” Itu candaan yang tak sepenuhnya bercanda. Ada sindiran halus di dalamnya, tapi sepertinya Doni tak menangkap sinyal itu.   “Ya bukan gitu juga kali!” Pria itu tergelak dengan lepas. “Maksudnya, agak kaget aja ngeliat kamu siang bolong begini di hotel. Di Jakarta pula. Soalnya Mama bilang kamu fix pindah ke Singapura dan nggak ada kabar lagi setelahnya.”   “Perusahaan tempat aku kerja di Singapura punya cabang di Jakarta, jadi ya mereka mengirim aku untuk kerja di sini. Bersyukur sih, kalo nggak gitu kayaknya aku nggak bakal ke Jakarta lagi. Udah nyaman banget sih di sana.”   Bohong banget, batin Diana. Dua tahun hidup di Singapura dan tak pernah sekalipun otaknya tidak berfikir bagaimana caranya kembali ke Jakarta. Diana begitu tersiksa karena terus ingin kembali tapi tak pernah punya jalan.   “Berarti kamu bakal stay di Jakarta lagi dong? Wah, asyik dong.” Doni terlihat cukup antusias, begitu pun dengan Diana.   “Hmm, mungkin sih. Tapi coba liat nanti. Soalnya kan aku perlu adaptasi juga, Don. Untuk orang yang sebelumnya udah nyaman kerja di suatu tempat, pindah jelas bukan hal yang mudah. Tapi kalo aku nggak nyaman ya aku pasti pergi. Aku nggak mau tersiksa untuk sesuatu yang nggak aku sukai.”   “Yah, sayang banget dong kalo gitu. Dicoba dengan keras dong, Di. Gimana pun kan ini tanah kelahiran kamu. Masa iya sih lebih nyaman di Singapura daripada di sini. Nggak kangen apa sama sate atau rendang yang bumbunya nendang banget?” kata Doni dengan nada menggoda.   Keduanya tertawa mengingat dua makanan itu adalah makanan favorit orang Indonesia. Dan untuk beberapa detik, hati Diana berdesir kembali. Rasanya sudah sangat lama sekali dia dan Doni bisa tertawa lepas seperti ini. Tapi lebih dari sekedar sate atau pun rendang, Diana justru lebih kangen dengan sosok Doni yang friendly seperti ini. Diana hampir saja lupa kalau pria friendly di depannya ini sudah beristri. Dan pernikahan merekalah yang membuat Diana sehancur ini.   “Oh ya, nenek mana? Udah lama banget nggak liat nenek. Pasti tambah tua dan banyak ubannya ya.”   Diana dan Doni sama-sama tergelak. “Kamu nih ada-ada aja. Kalo nenek denger, dia pasti emosi sambil bilang kamu kurang ajar.”   “Ya kan emang bener. “   “Ya nggak usah disinggung-singgung juga kali. Nenek itu tua-tua begitu tapi jiwanya masih kayak ABG.” Diana berpura-pura mengomel. “Nenek nggak ikut bareng aku. Tapi dia bakal secepetnya nyusul kok.” Jawab Diana untuk menutupi fakta kalau neneknya masih tak setuju dengan pilihannya kembali ke Indonesia.   “Yah, sayang banget dong. Pengen ketemu padahal. Kalo nenek udah dateng, kabar-kabar ya. Aku kangen banget mau godain dia,” Kata Doni yang sambil tertawa lebar. “Atau kalo perlu bawa aja main ke rumah Mama. Tempatnya masih yang dulu banget, nggak pindah-pindah. Mama juga pasti seneng bisa ketemu kalian lagi setelah sekian lama.”   Pasti, Don. Bahkan kalau Tante nggak suka ketemu sama aku, aku pastiin dia bakal suka banget sama aku setelahnya, Batin Diana sambil merencanakan banyak hal.   “Oh ya, Don, gimana kalo kita makan-makan dulu di restoran hotel? Kita ngobrol-ngobrol dulu. Udah lama juga kan,” usul Diana dengan riang. “Dan tenang aja, aku yang traktir. Aku udah bukan Diana yang dulu lagi kok, jadi tenang aja.”   “Yah, gimana ya, Di...”   Diana langsung muram mendengar suara Doni yang sudah menyiratkan jawaban dari tawarannya.   “.... aku udah janji sama Anggun bakal mampir sebentar sepulangnya dari sini. Dan dia pasti udah masakin. Nggak enak dong kalo aku batalin.”   Kedua tangan Diana yang ada di belakang tubuhnya langsung berkaitan saling memilin. Sekuat tenaga dia tidak menunjukkan ekspresi kecewanya akan keputusan Doni. Dan setelah dipikir-pikir pun tentu saja Doni harus memilih Anggun. Dia istri sahnya, dan Diana bukan siapa-siapanya, Pikir Diana yang membuat mood-nya langsung hancur.   “Oh, nggak apa-apa kok. Lagian kan emang kamu udah janjian ke Anggun duluan. Ini kan ya karena kebetulan aja, makanya aku nawarin secara spontan.”   “Lain kali aja ya...”   “Okay,” kata Diana sekilas. “Tapi kamu ya yang traktir? Kesempatan dari aku cuma berlaku hari ini aja soalnya.” Tambah Diana yang membuat keduanya tergelak bahagia.   “Itu sih bisa diatur, Di. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu.”   “Ya udah sana pergi. Jangan sampe kejebak macet, bakal lama banget pasti.” Kata Diana dengan suara sebiasa mungkin. Diana mempersilakan Doni pergi.   “Yaudah, Di, aku duluan ya.”   Walau berat, tapi Diana menganggukinya. Tak butuh waktu lama sampai Doni membalikkan badannya dan bergegas pergi. Langkahnya terlihat terburu-buru seolah-olah tidak mau membiarkan istrinya menunggu lama. Ah, wajar sih, Doni kan cinta mati ke Anggun.   Diana menatap punggung Doni yang perlahan menjauh. Dulu Doni meninggalkannya karena menikah dengan Anggun. Dan sekarang pun Doni meninggalkannya lagi karena sudah ditunggu Anggun di rumah. Kenapa selalu Anggun yang membuat kebersamaannya dengan Doni hilang?   Hari ini Diana memang membiarkan Doni pergi, tapi lain kali dia tidak akan membiarkannya. Ini adalah terakhir kalinya dia membiarkan sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya pergi dan menjadi milik orang lain. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD