1. Prolog

601 Words
“Satu hari lagi, survival kita akan segera berakhir ... malam ini adalah pertarungan terakhir kita tinggal di hutan!” jelas seorang pemuda bernama Windu yang menjadi salah satu ketua kelompok mahasiswa pencinta alam saat menjalani kegiatan survival di hutan selama tiga hari. Sembilan mahasiswa tersebut hanya dibekali satu korek api dan satu lilin. Selebihnya mereka belajar bertahan hidup menyatu dengan alam. Malam ini adalah malam terakhir ujian survival sebagai syarat pelantikan menjadi anggota pencinta alam Buana Sejati di kampus mereka. “Dewa! Acong! Kalian saya tugaskan mencari kayu bakar sore ini! Mengerti?” suara lantang Windu memecah keheningan hutan tropis itu. “Siap!” Dewa dan Acong menjawab dengan mantap. “Untuk anggota lain, silakan kerjakan apa yang sudah saya perintahkan seperti biasanya!” jelas Windu pada anggota yang lain. “Interupsi!” Seorang mahasiswi bernama Darmianti atau sering disapa Mia mengangkat tangannya. “Maaf ketua ... persediaan air menipis, tampaknya tidak akan mencukupi kebutuhan untuk malam ini,” jelas Mia pada Windu. “Itu urusan kalian! Saya tidak mau tahu bagaimana caranya kalian mendapatkan air itu! Silakan saja jika kalian mau kembali turun ke sungai! Ingat! Sebentar lagi hari sudah petang! Kalau kalian memaksa berjalan ke sungai, saya tidak akan bertanggung jawab atas keselamatan kalian! Ingat, ini hutan!” jelas Windu pada Mia. Windu adalah tipe pemimpin yang kurang memiliki empati pada anggotanya. Ia hanya sibuk memikirkan keselamatan dirinya sendiri tanpa peduli anggota yang lain. “Tapi, Biantara sudah dehidrasi! Apa nggak ada yang peduli?” Mia merasa kecewa sambil menatap Windu dengan sorot mata tajamnya. “Biar kami yang turun ke sungai ... kalian tunggu saja! Kami akan segera kembali sebelum malam!” Dewa rela berkorban untuk turun ke sungai walau jarak dari tenda tempat mereka menginap cukup jauh. Dewa dan Acong mau menjalani kegiatan yang agak berbahaya itu sekalian mencari kayu bakar untuk menghangatkan tubuh mereka nanti malam. Ketika Dewa dan Acong mulai berjalan, waktu sudah sangat senja. *** Dewa dan Acong mengambil secukupnya air bersih di sungai. Lalu mereka kembali memanjat untuk kembali ke lokasi mereka menginap. Tak terasa matahari sudah terbenam. Senja yang indah seketika berubah petang dengan awan yang menggumpal seakan ingin menerkam mereka. Tampaknya malam ini akan turun hujan lebat. “Acong! Ayo lebih cepat jalannya! Langit sudah mendung! Kita harus sampai sebelum hujan turun!” Dewa mengajak Acong untuk mempercepat langkahnya. Namun sayang, gerimis mulai turun membasahi mereka. Sedangkan jarak mereka menuju tempat menginap masih setengah perjalanan. Gerimis semakin deras mendera mereka. Dewa dan Acong berlari menyusuri hutan yang sangat lebat. Dewa menghentikan langkahnya sejenak. Ia seakan melihat sebuah gubuk bambu di antara pepohonan dan rintik air gerimis yang mengalir di sela bulu matanya. “Cong! Itu!” Dewa menepuk bahu Acong. “Apa?” Acong dengan cepat menoleh pada arah yang Dewa tunjuk. “Gubuk! Kita berteduh! Ayo!” Dewa berlari menuju gubuk itu untuk berteduh bersama sahabatnya. Dewa dan Acong melihat sekelilingnya. Sunyi dan gelap. Hanya suara rintik gerimis yang menemani mereka berteduh di depan gubuk tua itu. Kreeekkk!!! Seketika mereka melompat dan berteriak mendengar pintu gubuk yang terbuka. “Set ... set ....” Dewa dan Acong memejamkan mata. Namun kaki mereka terasa berat untuk melangkah. “Cu ... jangan takut! Ini Kakek ... ayo masuk! Berteduhlah di dalam! Sudah Kakek buatkan kopi untuk kalian!” Suara seorang Kakek tua yang terlihat karismatik. Penampilannya terlihat seperti seorang Demang pada zaman kerajaan. Mengenakan blangkon, memakai setelan khas ningrat pada zaman kerajaan. “I—iya, Kek!” Dewa berusaha menjawab sapaan kakek tua itu walau suara Dewa terasa tercekat dan bulu kuduknya merinding melihat sosok kakek tua itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD