Part 1 : Kedatangan Jaden

1793 Words
Salah satu hal yang membuat orang-orang malas menghadiri undangan reuni adalah ketika semua orang berlomba dalam memamerkan apapun yang sedang mereka miliki saat ini. Kekayaan, karir, entah itu karirnya sendiri atau karir pasangan mereka, dan juga anak, saling memamerkan proses berkembang anak dan juga prestasi yang anak-anak mereka miliki. Namun ada yang lebih menyebalkan daripada itu, yaitu ketika kamu hadir dengan kondisi yang sama di setiap tahunnya. Masih sendiri, tanpa pasangan yang mendampingi dan dengan karir yang masih sama seperti sebelumnya. Begitulah yang dirasakan oleh Kayana, perempuan berusia dua puluh sembilan tahun yang masih belum memiliki pasangan sama sekali. Perempuan dengan wajah tegas namun lembut secara bersamaan itu hanya menatap teman-temannya yang terus mengoceh dengan sesekali memberikan senyuman tipis, tanpa mengeluarkan komentar sama sekali terhadap semua yang mereka katakan. “Kamu sendiri bagaimana Kayana? Kenapa daritadi tidak berbicara?” tanya Mira, seorang perempuan beranak dua yang memiliki suami seorang manager di perusahaan besar. “Ah ya ... beberapa bulan lalu aku mendengar kamu akan segera menikah Kayana? Kenapa kamu tidak menceritakan calon suamimu itu?” kali ini Indah yang bertanya, perempuan beranak satu yang memiliki suami seorang pejabat pemerintahan. “St ... jangan bertanya begitu. Kayana gagal menikah lagi.” ujar perempuan lain, Anne. Dia yang paling membanggakan suaminya karena memiliki sebuah perusahaan yang sedang melejit. Senyuman Kayana yang sebelumnya terparti apik luntur, tapi beberapa saat kemudian ia tersenyum lagi seolah tidak terjadi apapun. Ia memang sempat akan menikah beberapa bulan lalu, tapi sayang sekali mantan pasangannya itu pergi menikah dengan perempuan lain, menipunya. Keempat perempuan itu masih saling berbisik, menggunjingnya seolah ia tak ada dihadapan mereka. Kayana menghela napas panjang. “Kalian benar, aku memang gagal menikah lagi. Tapi kalian tidak perlu khawatir, aku tetap bahagia dan tetap percaya bahwa pasangan yang tepat akan datang di waktu yang tepat juga.” “Tapi Kayana kapan? Usiamu sudah tidak muda lagi. Dua puluh sembilan tahun. Anakku bahkan sudah kelas dua SD.” Ungkap Susan, perempuan yang sangat membanggakan anaknya yang selalu juara kelas dan sudah mendapatkan banyak penghargaan sejak dini, anaknya bahkan mulai merambah jadi model cilik. Sementara suaminya bekerja di dunia hiburan, seorang reporter. “Menikah bukan sekedar tentang usia, tapi harus mapan secara material dan juga yang paling penting mental. Aku tidak bisa menikah dengan sembarangan laki-laki, aku juga harus memastikan dia sehat secara mental dan siap menerimaku sebagai satu-satunya perempuan di hidupnya, agar kedepannya dia tidak bermain mata dengan perempuan lain.” “Kamu terlalu banyak alasan Kayana. Kalau memang belum punya ya belum punya saja. Tidak perlu berbicara ini itu, tidak jelas. Pesanku satu Kayana ... jangan terlalu pemilih, bisa-bisa kamu jadi perawan tua, ujung-ujungnya kamu memilih sembarang laki-laki. Pekerjaanmu juga apa? Penghasilannya juga tidak seberapa, tidak akan bisa mengubah hidupmu. Berpikirlah secara realistis Kayana.” Kayana mengatupkan rahangnya sesaat seraya mengepalkan tangan. Ia akan diam saja jika dihina tentang ini itu, tapi tidak dengan pekerjaannya. Memang apa yang salah dengan jadi Guru? Memang ia tidak mendapatkan gaji sampai puluhan juta perbulan, tapi ia merasa cukup. Ia bahkan tidak kekurangan apapun. Ingin berbelanja tinggal belanja, ingin jalan-jalan pun tinggal jalan. Rumah milik sendiri, kendaraan pun meskipun sudah sering mogok tetap milik sendiri. Ia tidak pernah menyusahkan orang lain. “Setidaknya Kayana tidak pernah menjadi beban untuk orang lain.” Kayana terperanjat, ia kemudian menoleh ke belakang. Menatap sesosok lelaki dengan stelan jas rapih berjalan begitu tegap, penuh percaya diri ke arahnya. “Sayang ... apa reuninya sudah selesai?” tanya lelaki itu seraya merangkul bahunya. Kayana mengerjapkan mata, menatap lelaki itu dalam diam. “Sayang?” tanya Anne. Kayana masih menatap lelaki itu selama beberapa saat kemudian menghela napas kecil seraya menatap ke arah teman-temannya. “Kayana! Kenapa kamu tidak bilang sudah memiliki kekasih baru?!” “Iya benar, kenapa kamu justru berbicara seolah tidak memiliki kekasih?” “Jangan bilang kamu sengaja tidak mau mengenalkan dia pada kami? Jahat sekali. Katanya kita ini sahabat.” Kayana menarik ujung bibirnya, tersenyum masam mendengar kalimat itu. Sahabat katanya? Sahabat jenis apa yang selalu mengolok-olok? “Sayang ... apa aku perlu mengenalkan diri?” Kayana mendongak menatap lelaki itu lamat lalu mengalihkan pandangan lagi. “Terserah.” Lelaki itu tersenyum kemudian mengeluarkan kartu nama dari dalam saku jasnya. “Ini kartu nama saya.” “Jaden Palevi Rajaswa? Wah! Anda ini anggota keluarga Rajaswa yang sangat terkenal itu? Adik James Palevi Rajaswa?” tanya Susan dengan sangat exited. “Saya sudah mendengar kabar anda akan kembali dari luar negeri, saya tidak menduga bisa melihat anda secara langsung.” Lelaki itu hanya mengangguk seraya tersenyum kecil. “Oh ya ... Kenalkan saya Susan, suami saya kebetulan reporter, jadi saya cukup tahu tentang anda.” Lanjut perempuan itu kemudian dilanjutkan oleh tiga temannya yang lain yang ikut berkenalan. Lelaki itu, Jaden Palevi Rajaswa. Seorang anak bungsu dan seorang pewaris kekayaan melimpah dari keluarga Rajaswa yang begitu terkenal. Bahkan digadang-gadang sebagai calon menantu idaman dan juga suami impian untuk seluruh gadis di penjuru negeri. “Sudah, saatnya kembali Jay.” Ujar Kayana tanpa minat. “Kayana ... jangan sedingin itu. Pantas saja dulu kamu ditinggalkan. Kamu juga akan ditinggalkan lagi jika terus-terusan bersikap dingin.” ungkap Susan seraya tersenyum palsu ke arah Jaden. Sangat memuakkan. “Mereka meninggalkan Kayana bukan karena Kayana dingin, tapi karena mereka saja yang tidak benar-benar mencintai Kayana. Saya ... mencintai Kayana karena Kayana apa adanya. Tidak peduli Kayana bersikap dingin, aku akan tetap mencintainya.” Jelas lelaki itu seraya menatap Kayana dengan begitu dalam. Kayana menghembuskan napas perlahan seraya mengalihkan pandangan, sebelum meneguk kopi miliknya. “Cheesy sekali. Kamu akan cepat bosan nanti.” ujar Mira. “Terimakasih atas perhatiannya. Tapi sepertinya tidak perlu. Kayana ... ayo. Kita pulang. Kita memiliki jadwal makan siang bersama.” Ujar Jaden seraya merangkul pundak Kayana. Kayana mendongak menatap Jaden dengan kening mengerut, heran dengan perlakuan lelaki itu. “Ayo. Tidak perlu tak enak pada yang lain. Tidak apa-apa bukan aku membawa Kayana pulang?” Tanya lelaki itu pada teman-temannya yang tentu saja di angguki, tak lupa juga diiringu senyuman palsu mereka. “Sayang sekali ... padahal kami berencana menghabiskan makan siang bersama. Bagaimana jika kita makan siang bersama saja?” saran Susan seraya tersenyum lebar. Kayana membasahi bibirnya sesaat sebelum menoleh ke arah Jaden lagi setelah menyadari situasi untuk melarikan diri, lalu menatap keempat orang temannya itu secara bergantian. “Jaden benar, kami sudah berjanji untuk makan siang bersama. Jay juga sudah melakukan reservasi jadi sayang sekali jika rencana kami gagal. Terimakasih kalian sudah menyambutnya dengan baik, tapi kami memang harus pulang sekarang.” Jelas Kayana seraya berdiri lalu meraih shoulder bag-nya. “Sampai jumpa lagi nanti semuanya, aku pamit ya ... .” ujar Kayana lagi sebelum meraih lengan Jaden, merangkulnya, membawa lelaki itu pergi dari hadapan keempat temannya. ... “Berapa usianya? Kenapa terlihat muda sekali?” tanya Indah. “Apalah arti usia jika dia setampan itu? dia juga kaya raya, tubuhnya bagus. Super hot!” jawab Susan “Apalagi dia seorang pewaris Rajaswa. Sudah bisa dipastikan tidak akan pernah merasakan yang namanya hidup susah.” Tambah Mira. “Hebat juga Kayana, tidak sia-sia hidup sendiri sampai usia setua itu.” lanjut Indah lagi. “Eh tapi lihat ... mereka sepertinya sedang ada masalah?” tanya Anne yang membuat ketiga oranglainnya menoleh ke arah jendela, menatap ke arah parkiran café tempat mereka melakukan reuni. Melihat interaksi antara Kayana dengan lelaki itu yang tampak begitu panas dan tegang. ... Kayana melepaskan genggaman tangannya dari tangan lelaki itu, akan tetapi setelah genggaman tangan itu lepas, tangan lebar itu justru merangkul pinggangnya, membuat tubuh mereka semakin merapat, tanpa jarak. “Lepas.” “Diam.” Kayana mendengus kecil tapi kemudian melepaskan rangkulan itu secara paksa setelah sampai di depan sebuah mobil mewah hitam mengkilat. Jaden membuka pintu mobilnya namun Kayana bergeming. Ia tak beranjak sama sekali. “Aku bisa pulang sendiri.” “Teman-temanmu masih memperhatikan kita. Masuklah.” Sepasang matanya bertemu dengan semasang mata elang milik lelaki itu. Kayana kemudian menghela napas panjang lalu mengikuti keinginan lelaki itu. Masuk ke dalam kendaraan mewah tersebut. “Tidak ada makan siang. Antarkan aku pulang. Sekarang juga.” Tanpa ada kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu lagi, kendaraan pun hidup, lalu di kendarai dengan tenang. Sepanjang jalan pun tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut lelaki itu, hingga ia menduga bahwa lelaki itu mungkin akan memaksanya pergi. Hingga tiga puluh menit kemudian kendaraan yang lelaki itu kendarai sampai tepat di depan hunian sederhananya. Kayana mengerjapkan mata, lalu menoleh menatap Jaden dengan tajam. “Darimana tahu aku tinggal di sini?” “Aku tahu apapun tentangmu, tidak pernah ada satu hal pun yang aku lupakan.” Tapi ia baru pindah ke rumah ini satu tahun lalu, sementara mereka bahkan tidak pernah bertemu selama tujuh tahun ini. Jangan bilang ... Kayana menatap lelaki itu dengan tatapan tajam. “Kamu menguntit?” “Tidak, aku hanya berusaha mengawasimu dan memastikanmu tetap aman.” Lelaki itu menghela napas panjang lalu duduk menghadap ke arahnya. “Kayana ... .” “Panggil aku dengan benar Jaden.” “Aku rasa ... aku tidak perlu memanggilmu dengan sebutan Miss lagi Kayana, karena aku datang menemuimu bukan lagi untuk menjadi muridmu. Tapi pasangan.” “Hentikan semua omong kosongmu Jaden, sampai kapanpun guru tetap guru, tidak ada mantan guru.” “Aku tidak mengatakan kamu mantan guruku, aku hanya mengatakan sekarang aku datang bukan sebagai murid, tapi sebagai laki-laki yang siap menjadi pasanganmu.” Kayana menghembuskan napas perlahan, menatap ke arah Jaden dengan tatapan lembut, juga lelah. “Jaden. Sampai kapanpun kita akan tetap Guru dan Murid. Tidak akan ada yang berubah.” “Aku yang akan mengubahnya. Lagipula Mr. Andrew menikah dengan temanku, apa salahnya?” “Tidak ada sejarahnya seorang guru perempuan menikah denga murid laki-laki Jaden.” “Kalau begitu aku yang akan membuat sejarah.” “Keras kepala.” Ujar Kayana seraya meraih pintu, mencari handle agar bisa keluar dari dalam kendaraan tersebut. Akan tetapi mobil itu terlalu mewah hingga membuatnya bingung, selain itu pintu masih terkunci, pergerakan tangan Jaden pun lebih cepat, menggenggamnya, menahannya untuk tidak pergi. “Maaf ... .” Kayana berbalik kembali, menatap iris mata lelaki itu yang saat ini menatapnya dengan tatapan sendu. “Tidak perlu meminta maaf, sekarang buka pintunya.” Ujar Kayana dengan tenang seraya berbalik lagi, tapi lelaki itu lagi-lagi menahannya. “Apa lagi Jaden?” “Maaf aku mengingkari janjiku, aku tidak datang di waktu yang ku janjikan.” Kening Kayana mengerut heran, dengan wajah yang mulai kesal. “Kamu ini berbicara apa?” Tanpa bicara banyak Jaden meraih sebuah paper bag dari dalam dashboard di depannya, lalu lelaki itu memberikan paper bag tersebut padanya. “Kamu ingat ini?” Kayana meneguk ludahnya kasar ketika kilasan-kilasan masa lalunya perlahan mulai muncul kembali di dalam ingatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD