2. (BUKAN) PERTEMUAN

1338 Words
Happy Reading & Enjoy All *** Tapi Tuhan sepertinya tidak mengabulkan keinginan Laras dengan mudah untuk yang satu ini. Pasalnya, beberapa hari kemudian Laras mendapat pesan –atau ancaman, kalau dia boleh menyebutnya begitu- yang mengharuskan dirinya untuk pulang ke rumahnya yang ada di Bogor untuk bertemu dengan keluarga Faisal. Mereka diundang untuk makan malam bersama, katanya begitu. Dengan pekerjaan Faisal yang merupakan dokter spesialis patologi klinik di rumah sakit, Laras pikir pria itu tidak akan punya waktu untuk datang. Tapi siapa sangka justru pria itulah yang membukakan pintu rumah keluarga besarnya kala Laras dan ibunya bertamu malam ini. Awalnya Laras agak ragu karena ini adalah kali pertamanya melihat Faisal dalam kondisi tanpa masker. Tapi setelah diperhatikan lekat-lekat lengkap dengan beberapa gestur Faisal yang khas selama pertemuan terakhir mereka, Laras jadi yakin kalau pria yang ada di depannya memang Faisal. Lumayan ganteng sih, menurut Laras. Tapi pertemuan pertama mereka yang lumayan menjengkelkan membuat Laras kehilangan sedikit respect-nya terhadap pria itu. Keduanya terdiam selama beberapa saat ketika mata mereka bertemu dan kenangan pertemuan mereka beberapa hari lalu berterbangan di atas kepalanya. “Eh, sudah datang. Ayo, silakan masuk.” Ibu Faisal-lah yang menginterupsi keheningan di antara mereka. Dua ibu-ibu tersebut langsung bersalaman dan saling rangkul untuk kemudian masuk bersama-sama ke dalam rumah. Sementara Laras dan Faisal ditinggalkan menggantung di ambang pintu masih dengan suasana aneh mereka. “Masuk, Ras.” perintah Faisal dengan suara yang terdengar biasa saja. Pada titik ini Laras bingung. Apakah dirinya yang terlalu berlebihan dalam memikirkannya atau Faisal memang jenis orang yang bisa beradaptasi dengan mudah di segala lingkungan? Entahlah. Yang penting malam ini tugasnya tunai untuk menuruti kemauan sang ibu yang katanya mereka diundang makan malam bersama. “Oh ya, Fayyola di mana ya? Minta tolong panggilin Fayyola dong. Ini Tante Laras udah dateng, katanya udah nggak sabar pengen ketemu.” kata ibu Hesty dengan mata mengedar. Namun saat tak menemukan sang cucu di mana pun, pada akhirnya dia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk memanggilkan Fayyola. Pada momen yang sama, Laras langsung terenyuh mendengar nama Fayyola didengungkan. Jujur saja ini adalah momen yang paling dinantikan olehnya. Setelah sekian lama akhirnya dia bisa bertemu Fayyola. Sudah tak terdefinisikan bagaimana penasarannya dia akan sosok Fayyola, si bocah kecil yang mendapat banyak kemalangan di usianya yang masih belia. Dan rasa haru Laras langsung menjadi-jadi saat sosok bocah kecil muncul dengan sikap malu-malunya yang khas. Pertama-tama dia bersembunyi di belakang kaki neneknya sampai akhirnya berani menunjukkan wujudnya setelah dibujuk oleh sang nenek. “Fay, itu Tante Laras. Katanya pengen ketemu banget. Ayo, jangan sembunyi. Salam dulu yang bener sama Tante Laras.” Dengan agak malu-malu Fayyola mendekati Laras lalu mengambil tangannya dan menciumnya dengan sopan. Manis sekali, pikir Laras. “Bilang apa sama Tante Laras, sayang?” kata sang nenek lagi. “Makasih ya, Tante.” Ini merujuk pada pertolongan Laras pada Fayyola waktu itu. Sepertinya keluarga Faisal benar-benar mendidik cucu mereka agar tidak seperti kacang yang lupa pada kulitnya tanpa mempedulikan berapa usia mereka. Intinya, orang baik harus dikenang dan diperlakukan dengan baik juga. “Sama-sama, Fayyola. Sehat-sehat selalu ya, nak.” jawab Laras dengan senyum lebar yang tercetak jelas di wajahnya. Dan berkat keramahannya ini, sosok Fayyola yang tadinya agak malu-malu langsung menunjukkan cengiran khasnya. Sepertinya sikap aslinya akan terbongkar setelah ini, yakin Laras. Beralih ke ruang tamu, kini mereka semua duduk di ruang tamu keluarga Faisal yang cukup luas dan dipenuhi dengan perabotan nuansa kayu yang khas. Mereka memutuskan untuk mengobrol sejenak sambil menunggu makan malam dihidangkan. “Kata ibu, Laras sibuk banget di Jakarta, jadi nggak tahu deh bisa dateng atau nggak. Tapi syukurnya bisa. Makasih ya, nak, udah ngeluangin waktunya buat ke sini.” kata ibu Hesty dengan senyum sopan yang menenangkan. Dan melihat itu, Laras penasaran dari mana ekspresi serius nan suram anak laki-lakinya berasal. Mungkinkah dari Papanya? Tapi dari penglihatan matanya Papanya Faisal terlihat cukup ramah. Lalu dari mana ekspresi itu berasal? Atau dari tekanan pekerjaannya yang seabrek? “Laras katanya sudah lama ya tinggal di Jakarta? Faisal juga tinggal di Jakarta lho. Lain kali kalo ada apa-apa boleh banget minta tolong ke Faisal. Nggak usah sungkan ya, nanti Tante kasih nomor w******p dia.” “Sudah ada, Ma. Kemaren aku sama Laras sudah pernah ketemuan.” Pada detik yang sama Laras langsung melemparkan tatapan tajamnya ke arah pria itu. Memang benar kalau mereka sudah pernah bertemu, tapi apa perlu dibahas juga? Secara tiba-tiba pula. Kalau seperti ini kan jatuhnya akan menimbulkan rasa penasaran orang-orang yang tidak tahu kenapa mereka bertemu waktu itu. “Ohhhhh, sudah pernah ketemu...” Laras menghela napas. Semoga saja ibunya Faisal bukan jenis ibu-ibu rempong yang suka berfikir berlebihan. Bisa bertambah orang-orang yang tidak disukai Laras karena mengurusi kehidupan pribadinya secara berlebihan. “Waktu itu Faisal sempet minta ketemu untuk ngucapin makasih atas bantuan aku untuk Fayyola, Tante.” Laras menjelaskan dengan setenang mungkin, persis seperti sikap pria yang sudah membuatnya ada di posisi ini. “Tapi Faisal dapet kontak kamu dari mana, Ras?” “Laras pernah kerja di lab rumah sakit tempat aku kerja, Ma. Rekan-rekan di sana juga rekan-rekannya Laras. Jadi wajar kalo mereka punya kontak chat-nya dan aku minta untuk kebutuhan berterima kasih atas bantuannya.” “Wah, wah, wah, dunia sempit banget ya. Nggak nyangka kalo mereka pernah satu tempat kerjaan cuma di waktu yang berbeda. Seandainya aja Laras nggak resign, pasti udah ketemu tuh.” celetuk ibu Laras yang diyakini Laras punya makna ganda yang terselubung. Laras mentapa ibunya dengan mata menyipit curiga. “Bener banget. Pantes juga waktu itu pertolongan Laras rasanya cepet banget, karena ternyata memang dia paham banget alur di sana, jadi nggak ada misskomunikasi satu pun.” Kedua ibu-ibu tersebut saling menganggukkan kepala. “Tapi kalo kalian udah pernah ketemu, kenapa tadi pertama kali sikapnya kayak nggak kenal gitu sih? Kan Tante pikir ini memang first time-nya kalian banget.” Laras dan Faisal terdiam. Keduanya hanya berpandangan sekilas namun tetap tidak ada yang berinisiatif untuk menjawab. “Kayak nggak paham anak muda saja, Bu Hesty.” Bu Hesty terkekeh. “Memang anak muda, tapi mereka juga nggak semuda itu, Jeng. Kalo Laras pun aku yakin memang bener-bener masih muda, tapi Faisal kan duda beranak satu. Jadi harusnya dia lebih bisa menjelaskan situasi ini dong.” *** “Mama kok tadi gitu banget menegaskan status aku ke orang lain?” tanya Faisal saat Laras dan ibunya sudah pulang ke rumah. Saat ini sang mama sedang beres-beres di dapur membantu asisten rumah tangganya. “Gitu gimana?” “Ya, gitu. Pake bahas status aku yang duda beranak satu.” “Emangnya salah ya?” tanya Hesty dengan tatapan polosnya. Faisal menipiskan bibirnya. Mamanya ini pura-pura bodoh atau bagaimana sih? “Mama nggak pernah lho kayak gini.” “Ya suruh siapa sikap kamu sama Laras aneh. Kan Mama mikirnya kejauhan,” ada jeda sejenak. “Mama menegaskan kayak gitu supaya apa pun yang terjadi di masa depan memang bener-bener terjadi karena semuanya udah jelas. Jadi nggak ada yang ditutup-tutupi. Dia masih gadis dan kamu duda. Itu fakta.” “Memangnya apa sih yang akan terjadi di masa depan di antara kita?” Faisal memutar bola matanya. “Mama jangan coba-coba buat jodohin aku sama Laras ya.” tegas Faisal. “Kata siapa Mama mau jodohin kamu sama Laras?” Sang ibu balik bertanya dan membuat Faisal nampak salah tingkah. “Kamu tenang aja, Faisal, Mama nggak akan jodohin kamu dengan siapa pun. Di kondisi kamu yang sekarang Mama tahu bahwa menikah lagi itu bukan hal yang mudah. Ada banyak hal yang kamu pertimbangkan, jadi Mama nggak akan ikut campur.” Faisal terdiam mendengar perkataan Mamanya yang terdengar sangat meyakinkan. “Kamu mau menikah lagi ya Mama akan mendukung. Nggak menikah lagi pun Mama akan menerimanya. Cuma...” ada jeda sejenak. Sebuah seringai tipis muncul menghiasi wajah paruh bayanya. “.... Cuma apa nggak sayang kalo ternyata Tuhan menciptakan pasangan untuk kamu, tapi kamu malah menutup diri karena orang yang sudah bahagia di atas sana. Yakin nggak pengen ketemu orang baru?” TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD