1. PRIA YANG TIDAK TERDUGA

1620 Words
From: +62 813-5995-xxxx Selamat siang. Benar ini nomornya Larasati temannya Nindya bukan ya? Saya ayahnya Fayyola. Bisa buat janji temu nggak ya? Ada yang mau saya katakan dan rasanya sangat nggak pas kalo dikatakan via telepon. Oh ya, sebelumnya terima kasih atas bantuannya buat Fayyola. Salam hangat, Faisal Mahardika. Laras terpukau dengan chat asing yang secara tiba-tiba masuk dan menjadi chat teratas. Padahal kurang dari tiga puluh menit lalu temannya bilang ayahnya Fayyola minta nomornya untuk berterima kasih dan tak lama berselang pesannya masuk. Kalau istilah sekarang adalah gercep sekali. Sebenarnya Laras tidak peduli dengan hal semacam ini. Ketika dia memutuskan untuk membantu ya urusannya adalah dengan Tuhan, bukan dengan orang yang dibantunya atau wali orang yang dibantunya. Dia tidak menginginkan ucapan terima kasih atau apa pun karena takut dirinya akan merasa besar kepala dan terbayang-bayang dengan pahala yang merupakan urusannya Tuhan. Tugas manusia adalah berbuat baik, sedangkan sebanyak apa pahala yang akan didapatkan biar jadi urusannya Tuhan, bukan? Tapi karena manusia yang memahami hal-hal dasar semacam ini pasti akan melakukannya, jadi mau tidak mau Laras harus menerimanya. Oleh karena itu Laras menjadwalkan pertemuannya dengan pria yang bernama Faisal Mahardika tersebut tiga hari kemudian. Walau sejujurnya, dia agak malas keluar rumah dan bertemu dengan orang asing. Siang itu Laras datang lebih awal karena sekalian mengantar cucian ke tempat laundry. Sesampainya di sana dia benar-benar tidak berharap apa pun karena dia sudah sering datang terlebih dahulu dan menjadi pihak yang menunggu. Tapi siapa sangka ini tidak berlaku untuk pertemuannya dengan ayahnya Fayyola. Laras mengamati dalam diam pria yang diduganya sebagai ayahnya Fayyola. Pria itu memakai kemeja warna biru dongker dan celana kain warna hitam legam. Dan ini sesuai dengan chat mereka terakhir kali yang saling memberikan clue pakaian yang mereka pakai—ini benar-benar sama persis. Tapi Laras masih ragu untuk menyapanya karena tidak yakin dengan sosok yang dilihatnya. Orang itu tidak terlihat seperti seorang ayah. Dia seperti.... “Dengan Larasati temannya Nindya?” Seorang pria bertanya dengan tingkat kesopanan yang tidak perlu diragukan lagi. Sopan sekali, pikirnya. Dan pikiran Laras langsung buyar karena pertanyaan itu. Ternyata dia memang ayahnya Fayyola. Di balik masker double-nya, dia tertawa malu-malu seraya mengenyahkan segala pemikiran aneh yang melintasi kepalanya barusan. Bagaimana mungkin dia sempat mengira laki-laki itu sebagai bujangan? “Ya, saya Laras. Dengan Bapak Faisal kan?” “Panggil saja Faisal, tanpa embel-embel Bapak.” Laras tidak tahu bagaimana ekspresinya sekarang, tapi yang jelas suara pria itu tetap terdengar dingin. Begitu juga dengan tangan yang menjabatnya dengan mantap seolah-olah Laras sedang bertemu dengan calon partner bisnis. Dari sikapnya yang seperti ini, Laras yakin kalau ayahnya Fayyola ini pasti bukan orang sembarangan. “Silakan duduk, Laras.” Faisal mempersilakan Laras duduk dan Laras menganggukinya. Perempuan yang menjelang usia tiga puluhan itu terus mengawasi gestur Faisal, apalagi saat pria itu menuangkan handsanitizer ke tangannya. Dan hal ini disadari oleh Faisal. Pria itu menaikkan sebelah alisnya lalu menyodorkan handsanitizer ke arah Laras. “Mau?” Tawaran itu langsung digelengi oleh Laras. Buru-buru perempuan itu menga8mbil handsanitizer miliknya dan menunjukkannya dengan bangga. Di musim pandemi seperti ini memiliki handsanitizer adalah kewajiban, termasuk Laras sekali pun. “Saya punya kok.” Faisal mengangguk. “Saya melakukan ini karena sekarang lagi pandemi, jadi jangan mikir saya jijik setelah salaman sama kamu makanya buru-buru make handsanitizer. Dengan lingkungan tempat kerja saya, bisa jadi bukan kamu yang membawa kuman atau virus, tapi saya sendiri.” “Emangnya pekerjaan Pak Faisal apa?” Laras langsung mengutuk bibirnya yang bertanya dengan spontan. Demi Tuhan, itu bukan urusan lo, Laras! Karena sudah terlanjur, Laras berdoa semoga saja ayah Fayyola itu tidak merasa terinterogasi karena pertanyaannya. “Kan sudah dibilang nggak usah pakai embel-embel ‘Bapak’ atau sejenisnya.” Laras melongo selama beberapa detik. Dia pikir pria bernama Faisal itu akan tersinggung karena Laras bertanya hal yang seharusnya tidak perlu dia ketahui. Tapi siapa sangka dia malah tersinggung karena embel-embel ‘Bapak’ yang lupa Laras tanggalkan saat bertanya tadi. Sekali lagi, Laras hanya mampu menampilkan cengirannya yang tertutupi masker. “Sorry, saya agak nggak nyaman manggil nama langsung tanpa embel-embel untuk orang yang baru ditemui.” “Ya sudah, terserah kamu deh kalo gitu. Saya juga nggak bisa maksa...” Faisal pasrah. Kemudian melanjutkan dengan sopan. “Dan kamu tadi nanya pekerjaan saya kan? Saya dokter spesialis patologi klinik tempat Nindya kerja.” Laras merasa malu karena sudah bertanya, tapi ketika apa yang menjadi pertanyaannya dijawab dengan sopan, tak urung perempuan itu ber-oh-ria juga. Rasa penasarannya sudah terbayarkan dengan tunai. Pantas saja dia begitu memerhatikan hal-hal yang berbau protokol kesehatan, pikirnya. Dan pantas saja sang teman –Nindya- bilang tidak bisa menolak kala ayahnya Fayyola meminta nomor ponselnya. Ya mana bisa nolak kalau ternyata Faisal sendiri adalah Sp.PK-nya di laboratorium. “Kalau boleh tahu sebenernya Pak Faisal bikin pertemuan ini untuk apa ya?” tanya Laras to the point. “Nggak mau pesen makan atau minuman dulu?” Tawaran itu langsung digelengi oleh Laras. Suasananya sudah canggung dan dia tidak mau menambahnya dengan keharusan makan dan minum sampai habis dengan orang asing juga. Yang ada malah dia jadi tidak nafsu makan nantinya. “Di musim pandemi gini saya agak nggak nyaman untuk makan di luar. Apalagi kita berdua masih asing banget.” kilahnya yang tidak sepenuhnya berbohong. Dan memahami itu, Faisal mengangguk. “Saya juga sebenernya nggak nyaman,” akunya. Kemudian dia melanjutkan kalimatnya dengan gestur yang lebih serius dari sebelumnya seraya menyodorkan sebuah amplop coklat ke arah penolong putrinya. “Laras, saya punya sedikit uang untuk kamu sebagai balas jasa karena kamu udah menyelamatkan putri saya. Tolong diterima ya.” Dan Laras langsung terdiam. Pria ini benar-benar... tidak terduga. Kurang dari semenit lalu sikapnya terbilang humble sekali meski suaranya sangat datar dan terkesan dingin. Tadinya bisa bertanya-tanya kenapa ada orang sebaik ini yang bersembunyi di balik suara serak-seraknya yang menakutkan. Tapi siapa sangka hanya dalam hitungan detik semuanya berubah dan terlihatlah wujud aslinya. Laras menatap amplop coklat yang disodorkan padanya. Terlihat tebal dan menggiurkan. Tapi untuk Laras yang sudah pernah mendapatkan uang puluhan juta dari bisnis kecilnya, dia merasa tersinggung. Pada titik ini Laras merasa menyesal karena tidak memesan makanan atau minuman. Seharusnya dia memesannya, dengan begitu dia bisa melemparkannya ke wajah pria bernama Faisal-Faisal itu. “Saya nggak akan menerimanya.” kata Laras dengan keputusan yang tidak mau dibantah sama sekali. Sikap malu-malunya sudah tidak ada, yang tersisa hanya kejengkelan karena pria bernama Faisal-Faisal itu. “Laras, tolong jangan tersinggung—” “Tapi saya sudah tersinggung, Pak Faisal,” potong Laras dengan cepat untuk menunjukkan sebesar apa rasa tersinggungnya saat ini. “Sebenernya saya heran kenapa masih ada orang yang berfikiran uang bisa menyelesaikan segalanya, bahkan untuk sebuah budi sekali pun.” “....” “Bukan berarti saya pengen sesuatu yang lebih besar dari ini—sama sekali bukan. Niat saya kemarin benar-benar hanya ingin menolong Fayyola saja, nggak lebih. Saya merasa bisa menolong makanya saya menolong Fayyola. Prinsip saya adalah kalau bisa menolong, kenapa harus nggak kan? Sesama manusia itu harus tolong-menolong. Jadi Pak Faisal nggak perlu berbagi kelebihan uang Bapak pada saya sepeser pun.” “Saya nggak bermaksud berbagi sedikit pun, Laras. Justru sebaliknya, saya berniat membayar jasa kamu.” Walau sudah dihakimi oleh Laras seperti ini namun suara Faisal tetap terdengar tenang dan datar. Pria tersebut sepertinya sudah terbiasa berada di keadaan seperti ini hingga ketidaksukaan lawan bicaranya tidak akan mempengaruhi apa pun. Dan karena ini juga Laras bertanya-tanya sebenarnya orang seperti apa Faisal-Faisal ini. “.... sama halnya dengan kamu yang menolong seseorang karena sudah jadi kewajiban kamu sebagai umat manusia, maka saya pun sebagai orang tua dari orang yang kamu tolong pun punya kewajiban untuk membalas jasa kamu. Saya tahu ucapan terima kasih saja cukup bagi kamu, tapi bagi seorang ayah yang anaknya sudah kamu selamatkan seperti saya—terima kasih saja jelas nggak cukup, Laras.” Laras memandang dari perspektif lain berkat perkataan Faisal barusan. Dan kalau sebelumnya dia cukup tersinggung, maka yang sekarang dia jauh lebih rileks. Terlalu sinis dan berfikiran pendek adalah sifat buruknya yang masih sulit untuk dikendalikan. Untung saja Faisal tidak terprovokasi dan ikut-ikutan emosi. “Tapi saya tetep nggak mau menerima uang ini. Pokoknya saya nggak mau.” “Kalo gitu kamu mau apa? Saya janji akan menurutinya.” Duh, cobaan apalagi sih ini?! batin Laras dengan gemas. Laras menarik diri dari sandaran kursinya lalu menautkan kedua jemari tangannya yang berada di atas meja. Di balik maskernya dia tersenyum dengan agak dipaksakan. “Pak Faisal...” Laras menjeda dengan suara seserius mungkin. “Saya nggak bisa menerima uang yang Pak Faisal berikan. Tapi meskipun begitu saya juga nggak punya keinginan apa pun untuk diwujudkan.” Laras memberitahu dengan pelan namun tegas. Dia memastikan kosa katanya terdengar dengan jelas agar Laras tidak perlu mengulang kalimatnya lagi. ‘Tapi, Laras....” “Gimana keadaan Fayyola sekarang?” Faisal terlihat bingung, tapi dia tetap menjawab dengan sopan. “Dia udah baik-baik saja. Bahkan udah lari-larian dan merepotkan Mama saya lagi.” “Kalau begitu itu cukup.” Faisal terlihat ingin membantah lagi, tapi Laras mengangkat tangannya untuk menghentikan kalimat apa pun yang ingin disampaikan pria itu. Tujuannya menolong Fayyola sudah tunai. Sebagai bentuk pengalihan, Laras berpura-pura melirik jamnya dengan buru-buru. Dia harus segera pergi sebelum dipaksa menerima sejumlah uang untuk sesuatu yang dilakukannya dengan tulus. “Pak Faisal, saya ada janji temu sama temen saya, jadi saya pamit dulu ya. Dan uangnya tolong disimpan aja. Itung-itung buat tambahan beli vitamin buat Fayyola nanti.” Dan tepat setelah mengatakan itu, Laras langsung pergi. Untuk kesopanannya, Laras mengacungkan semua jempol yang dimilikinya untuk pria itu. Tapi untuk kewarasannya yang menggunakan uang sebagai bentuk balas budi—Laras meragukannya. Semoga saja mereka tidak perlu bertemu lagi. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD