Bagian 1

2632 Words
Indonesia 17 jam cowok dengan senyum manis dan wajah tampan itu berada di dalam pesawat menuju ke Indonesia. Setelah keluar dari bandara dia memutar-mutar badan untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku lantaran kebanyakan duduk. Dilepasnya kaca mata hitam yang bertengger manis di hidungnya, lantas dia menyapukan pandangan ke sekeliling mencari seseorang yang katanya akan menjemputnya di bandara. Cowok itu tidak tau bagaimana wajah orang yang akan menjemputnya, tapi dia mengenalnya bahkan sangat akrab orang itu meski mereka berdua tinggal di negara yang berbeda. Tepukan pundak mengangetkan cowok bernama River Ghent Wijaya yang sontak langsung menoleh ke belakang. Netra minimalisnya langsung disambut oleh wajah tampan si penepuk pundak, River mengamati dari bawah hingga ke atas dan berhenti pada wajah blasteran Indonesia-surga yang tengah tersenyum kepadanya. "Who are you?" tanya River otomatis dengan pandangan curiga. Dia takut lantaran tepukan pundak adalah suatu hal yang menakutkan karena sering dikaitkan dengan hipnotis baik di Indonesia maupun di Luar Negeri sekalipun. Cowok berdimple yang saat ini berdiri di depan River tersenyum lagi sembari membetulkan letak topi merk Balenciaga nya, bukan senyum ramah melainkan senyum geli. “Gue? Arsen Tajendra Purnama” akhirnya cowok berdimple itu membuka mulut, setelah menyebutkan namanya dengan santai yang justru terkesan cool, dia lantas menyemburkan tawanya melihat wajah cengo milik River, adiknya. Tepukan bahu beruntun tak diindahkan oleh River yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengar dan di lihatnya. Cowok itu mengerjap sebelum menyingkirkan tangan abang nya dari bahunya. “Arsen? Arsen abang gue?? Arsen yang dulu giginya ompong terus suka nangis kalo minta sesuatu? Arsen yang manja ke Oma sama Opa? Arsen—“ River menghentikan ucapan nya saat dia menyadari kalau yang berdiri di depan nya ini memanglah Arsen, abang yang dulu dia panggil kakak. Cowok ber netra sipit itu tak bisa menahan ekspresi bahagianya “Ya tuhan! Jadi ini beneran Bang Arsen?? Oplas dimana sampe bisa berubah jadi secakep ini, Bang??” Kalian pasti heran, River sudah 10 tahun tidak tinggal di Indonesia tapi kenapa logat yang dia pakai terasa sangat lokal meski tidak lokal-lokal amat, apalagi cowok yang baru saja menginjakan kakinya di Indonesia itu sudah berani memakai sebutan gue-elo sebagai panggilan percakapan nya. Itu semua berkat Arsen, selama ini mereka berdua memang dekat, sering melakukan panggilan telepon dan berbincang selama berjam-jam. Tapi ada satu hal yang tidak kalian ketahui bahwa mereka hanya melakukan panggilan telepon saja, tidak pernah melakukan panggilan Video. Kenapa? Karena mereka berdua ingin melihat pertumbuhan  secara langsung seperti saat ini. Arsen meredakan ledakan tawanya, dia mengusap kepala River yang umurnya 2 tahun di bawah nya. Lantas menjawab pertanyaan River tadi. “Ini Asli ya, gue nggak pernah yang namanya Oplas. Mahal, sayang duit nya” jawab dia jujur, seandainya kalian tau pasti kalian juga akan berpikiran kalau Arsen itu Oplas mengingat perbedaan wajah nya saat masih kecil dibanding sekarang yang umurnya sudah 19 tahun. Keduanya saling tatap, lantas sama-sama mengembangkan senyum. Disusul pelukan kerinduan selama puluhan tahun lamanya, mereka berdua tidak pernah bertemu semenjak River pindah, lebih tepatnya Arsen yang selalu menolak ikut ke London saat kedua orang tuanya pergi kesana untuk menjenguk anak serta cucu nya. Jadi, wajar saja kalau saat ini mereka sama-sama menahan kerinduan yang besar. “Sepuluh tahun, nggak kerasa lo udah sedewasa ini. Padahal dulu lo kecil banget” ucap Arsen seraya melepaskan pelukan nya “Gimana kabar lo? Kak Ra?” lanjut cowok berdimple itu, tangan nya mengambil alih koper milik River. River tersenyum, mulai melangkahkan kakinya mengikuti kemana Arsen akan membawanya pergi. “As you see it, very well. Mommy juga” jawab Si Perfect smile lips and eyes sembari menyunggingkan senyum terbaiknya hingga membuat matanya melengkung indah. “Setelah sekian lama ya, Bang. Akhirnya gue bisa lihat wajah lo, dan begitu pula sebaliknya” “Haha, bener-bener nggak kerasa banget. Semenjak lo pergi gue nggak ada temen main di rumah, ya lo tau sendiri lah kebiasaan gue dulu yang suka nangis. Dikit-dikit nangis, apa-apa nangis” River tertawa, sepanjang perjalanan mereka bernostalgia, terlempar ke masa lalu, masa kanak-kanak yang begitu menyenangkan. Sadar tak sadar sedari tadi banyak pasang mata yang menatap kearah River dan Arsen lantaran keduanya memiliki visual bak dewa, tampan, ah, sepertinya kata tampan saja tak cukup untuk mendeskripsikan visual mereka yang sempurna. Kini pijakan mereka sampai di tempat parkir, Arsen memasukan koper milik River kedalam bagasi, lantas dia sendiri masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. "Kenapa Kak Ra ngebiarin lo dateng ke Indo sendiri sih, sesibuk itu dia di London” celetuk Arsen, tangan nya sibuk memasang seatbelt. “Mama-Papa udah heboh di rumah pas tau lo bakal pindah ke sini, meski nggak selama nya sih” River tersenyum, mobil brio hitam meluncur ke jalanan “Mommy sibuk, tapi beliau punya alasan lain kenapa nggak mau ikut kesini dan gue nggak tau apa alasan Mommy karena beliau juga nggak pernah bilang” jawab cowok itu santai, tangan nya tergerak untuk mengambil benda pipih yang ada di saku coat nya “Wah, gue kangen banget sama Opa-Oma.” lanjut River dengan senyuman mengembang. Sama seperti River, Arsen juga tidak tau kenapa Kakak nya jadi anti berpijak pada tanah kelahiran nya. Dia hanya tau kalau Kakak nya pindah ke London lantaran sakit hati karena suaminya a.k.a Daddy River meninggal. Hanya itu yang Arsen tau, mungkin masih banyak rahasia yang tersimpan, tapi dia tidak terlalu peduli dan ikut campur lantaran itu bukan sifat cowok berdimple dengan visual dewa. Kendaraan beroda empat itu berhenti saat lampu menyala merah, setelah ke heninggan beberapa saat River mulai membuka suara lagi. “Oh iya, Bang. Sejak kapan kalian pindah ke Jakarta?” tanya River si Perfect smile lips and eyes, dia kira keluarga Purnama masih stay di Bogor sama seperti dulu. Arsen kembali menjalankan mobilnya saat lampu beralih ke hijau, tatapan nya fokus kedepan. Jalanan lumayan macet membuat mobil yang dia kendarai bergerak lambat. “Pas gue masuk SMA. Nggak tau juga kenapa Papa tiba-tiba pengen pindah ke sini, gue sempat menolak apalagi karena disana kan ada,..” ucapan Arsen terhenti, dia tidak bisa melanjutkan nya lagi. “Ada apa?” tanya River kepo. “Bukan apa-apa” jawab Arsen singkat, dia sudah tak berniat melanjutkan ucapan nya tadi lantaran sekarang bukan waktu yang tepat. River mengangguk percaya, kalau Arsen punya sifat yang tidak suka kepo dengan urusan orang lain maka River pun juga punya sifat yang mencerminkan dirinya banget. Cowok itu tidak pernah suka menuntut, apapun. Catat, apapun. Kalau dirasa lawan bicara nya menggantung maka River akan memenggal talinya, bukan memaksa tali itu untuk terlepas. Perumpamaan nya kurang lebih seperti itu. “Kalo lo pindah, berarti dia sendiri dong di Bogor? Eh, dia masih di Bogor kan, Bang?” River melontarkan pertanyaan baru. Mobil yang Arsen kendarai memasuki kawasan perumahan, River masih menunggu Arsen yang diam, bukan nya Arsen tak ingin menjawab. Tapi dia bingung jawaban apa yang hendak dia berikan kepada River lantaran dia sendiri juga tidak tau apakah dia yang di titipkan River kepadanya masih ada di Bogor atau sudah berpindah tempat tinggal, mengingat dia punya cita-cita yang cukup tinggi untuk di gapai. Mobil brio hitam itu berhenti tepat di depan rumah bernuansa monokrom, River menyukai suasana nya. Di depan pagar sudah menunggu Opa Johan dan Oma Mirna, River langsung turun dan memeluk kedua orang tua yang usianya sudah masuk usia pensiun dengan erat, sementara kedua pembantu yang juga sudah stay langsung mengambil alih barang-barang River untuk diangkut ke dalam rumah. “Omaaa” panggil River seperti bocah, senyum manis mengembang. “Cucu Omaa, sayang. Oma kangen banget sama kamu” Wanita tua itu langsung memeluk cucu nya dengan erat, sudah beberapa bulan terakhir ini dia dan suami tidak berkunjung ke London lantaran kesibukan di kantor menjelang pensiunan Opa Johan. “River juga kangen banget sama Oma, Oma sehat kan?” “Sehat dong, masih kuat juga” Pelukan mereka terlepas, kini River berganti memeluk Opa Johan dengan sama erat nya “Opa yang nggak pernah tua, River kangen banget sama Opa” ucap remaja itu di awali dengan gurauan membuat Opa Johan terkekeh-kekeh. “Dasar, gimana kabar Mommy mu?” “Always fine, kan ada River yang jagain Mommy. Maka nya Opa sering-sering main ke London biar tau kondisi Mommy kayak gimana” ucapan River terpotong saat Arsen menyenggol lengan nya, cowok ber netra sipit itu menaikan alisnya bertanya ada apa, kenapa Arsen tiba-tiba menyenggolnya seperti itu. “Seharusnya lo sama Kak Ra yang kesini, bukan Mama-Papa yang kesana, lagipula mereka sudah terlalu tua buat ber pergi an jauh.” “Siapa bilang kita udah tua?” sela Opa Johan a.k.a Papa Arsen sembari merangkul pundak istri yang sudah menemaninya selama puluhan tahun, setia sampai mati kalo kata orang-orang mah. “Kita masih muda kok, mengarungi benua Asia, Eropa, Amerika aja masih kuat, ya kan, Ma?” Oma Mirna menatap suaminya dengan pandangan geli, tapi tak urung wanita itu mengangguk juga meski setengah tidak yakin lantaran sekarang saja Opa Johan sudah jarang pergi ke kantor, kecuali kalau sibuk dan ada urusan yang urgent. Pria itu kini lebih sering bekerja dari rumah, meski kurang efektif setidaknya dia masih bisa menghandle perusahaan Purnama dengan sangat baik. Arsen dan River saling melempar tatapan geli mendengar jawaban Opa Johan yang terlihat sangat meyakinkan, tak lama tawa mereka meledak. Terlihat jelas kalau keluarga Purnama merasakan kebahagiaan yang haqiqi saat ini. Netra Arsen tak sengaja menangkap sosok manusia berpipi yang baru saja turun dari sepeda mininya, sosok yang punya rambut pendek dengan mata almond serta yang paling penting punya pipi mirip bakpao. Arsen berdehem, membuat atensi cewek yang hendak masuk ke dalam rumah teralihkan, dia menatap cowok berdimple di kedua pipinya dengan tatapan bingung. “Wih wih, ada yang habis jalan-jalan nih. Keluyuran kemana lo?” tanya Arsen, tangan nya di masukan kedalam saku celana membuatnya terkesan cool.  “Yeu, kepo banget.” cewek berpipi chubby itu berjalan mendekat kearah Arsen saat netranya menatap sosok yang berdiri di samping cowok berdimple yang menjadi sahabatnya selama 3 tahun ini, kurang lebih. “Ehem, siapa tuh?” tanya Tissa pada Arsen. “Yeu, kepo banget.!” Jawab Arsen yang malah melontarkan balik jawaban cewek berpipi itu, tatapan nya mengejek sekali membuat cewek berpipi cemberut lantaran kesal dengan jawaban Arsen. Arsen merangkul pundak River, mengajak nya masuk. “Hei, gue belum kenalan sama dia, Arsen!” teriak Tissa yang tak diindahkan oleh Arsen, cowok itu terus melangkah kan kakinya memasuki rumah. Oma Mirna mengacak rambut cewek berpipi itu dengan gemas “Mau ikut masuk, Tiss?” tawar Oma Mirna, nama cewek itu adalah Tissa Berlian Senja, cantik kan? “Nggak deh, Oma. Tissa belum mandi, takutnya bau badan Tissa bikin rumah Oma berpolusi” gurau Tissa yang mendapatkan kekehan dari kedua orang tua itu. “Ya sudah kalau begitu kita masuk duluan ya” “Iya, Oma” Tissa berjalan kembali ke rumah nya yang berada tepat di samping rumah Arsen, pikiran cewek itu tersita oleh cowok ber netra sipit yang tengah bersama sahabatnya itu. Siapa dia? Teman kuliah Arsen kah? Atau siapa? Sialan! Tissa harus berkenalan dengan cowok itu, karena sekarang pun cewek bernetra almond sudah merasakan debaran bahkan sejak hari pertama mereka bertemu dan bertatap mata.  (^_^)(^_^) Arsen berdiri di depan cermin kamar mandi, dia selesai mencuci muka untuk menyegarkan wajah juga pikiran nya yang melayang pada percakapan dia dan River saat di dalam mobil tadi. Sudah bertahun-tahun Arsen memilih melupakan dia, dia yang menjadi first love serta first heartbreak nya. Tapi pertanyaan River tadi kembali membuka kenangan itu, Arsen keluar dari kamar mandi dan membanting tubuhnya di tempat tidur dengan posisi terlentang, perlahan netranya tertutup. “Kak Arsen udah janji nggak akan ninggalin aku kan? Dulu River, sekarang Kakak. Kenapa semua orang suka banget ingkar janji!” “Aku nggak punya siapa-siapa disini, Kak. Please jangan pergi, aku nggak mau di tinggal lagi. Kak Arsen sayang kan sama aku? Kak Arsen nggak akan ninggalin aku sama kayak River ninggalin aku kan?” Arsen membuka kelopak matanya, nafas cowok itu memburu, ritme jantungnya berpacu dengan cepat membuat detakan nya kian terasa. Secuil kisah masa lalu dengan dia yang kembali berputar di pikiran nya, Arsen menelan ludah kaku. “Sorry, seandainya kamu nerima aku bukan sebagai kakak, mungkin saja..” Ketukan pintu membuat Arsen menghentikan racauan nya, cowok berdimple itu buru-buru bangkit dari posisinya lantas berjalan untuk membukakan pintu. Bibi berdiri dengan kain serbet bertengger manis di pundaknya “Den, ada Non Tissa di depan” “Tissa? Tissa siapa, Bi?” “Halah, Den. Biasanya juga gimana, buruan gih kebawah. Sebelum Non Tissa ngamuk-ngamuk” jawab Bibi menanggapi gurauan Arsen. Langkah lebar kaki jenjang Arsen keluar kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang tamu dimana Tissa tengah menunggunya disana. Netra Arsen menangkap sosok yang tengah bersila di atas sofa sebari memangku bantal yang di atasnya terdapat toples kacang telur. “Ck. Ck. Ck. Definisi cantik-cantik tapi nggak punya attitude ya gini” Tissa mendongak, mengalihkan pandangan nya dari ponsel ke arah Arsen yang duduk tak jauh darinya. Cewek itu meletakan toples di atas meja dan menutupnya “Lo kalo ngomong tolong dong akhlak nya, lagian gue cuma menerapkan kalimat ‘anggap aja rumah sendiri’ nah gue kalo dirumah ya gini, jadi salah gue dimana?” “Banyak cakap, ada perlu apa lo kesini?” bukan nya menjawab Arsen malah balik tanya, kini tangan nya meraih toples kacang. Tissa beringsut mendekat sembari memasang wajah seimut mungkin “Arsen” panggilnya, mengerjap lucu “Em, itu.. mereka,.. mereka mau konser di Indo lagi. Em,.. temenin yuuuk??” Perasaan Arsen sudah tak enak sedari tadi, dan benar saja, sekarang terbukti kalau rasa tak enak itu datang karena mendengar permintaan Tissa. Demi apapun, Arsen akan selalu mengiyakan semua permintaan Tissa kecuali satu hal, pergi nonton konser. Cowok itu benar-benar tidak menyukainya lantaran merasa konser bukanlah gayanya dan dia tidak nyaman. “Ogah ah! Tiss, ayuk deh kemana pun gue temenin kecuali nonton konser. Perut gue mual kalo lihat lo mode menye-menye sambil teriak-teriak nggak jelas. Sampe sini paham kan?” Sebenarnya pernah sekali Arsen menemani Tissa untuk pergi ke konser, dan setelah itu cowok bermarga Purnama langsung kapok dan tidak ingin mengulanginya lagi, sudah cukup sekali dia merasakan yang namanya pergi ke konser. Cewek itu sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan Arsen pasti berisi tolakan dengan bumbu hujatan, berteman lama dengan cowok itu membuat Tissa tau seluk beluk Arsen. “Lo jangan jahat-jahat gitu dong, gue aja selalu baik sama lo. Gue beliin deh tiket konser nya, yaaa??” “Baik? Selalu narik gue sana sini minta di beliin ini itu, tiap ke restoran elo yang pilih gue yang bayar, kayak gitu lo bilang baiiikkk??” “Lo nggak ikhlas??” “Ya,.. ya ikhlas.” Tissa menyipitkan matanya menatap Arsen yang selalu membuatnya kesal “Yaudah kalo lo ikhlas nggak boleh diungkit dong, sekarang gimana, lo mau nggak nemenin gue nonton konser?” “Males, Tiss.” “Ayolah Arsen gamtenk.. ya..” Arsen melirik sekilas kepada Tissa, netra almond cewek itu kini berkaca-kaca membuatnya lemah dan tidak tega. Bener-bener deh, apapun kalau menyangkut soal Tissa pasti membuat Arsen selalu lemah dan menurut, padahal Tissa kan hanya sahabat. Eh, iyakah?? “Fine!! Kali ini gue temenin, tapi lain kali jangan harap. Ini buat yang terakhir kalinya” “Yeess!!” Pekik Tissa senang. Cewek itu bangkit dari posisinya, kakinya kesemutan lantaran kebanyakan di tekuk. Setelah melakukan peregangan sebentar dengan santai Tissa hendak melangkahkan kaki pulang lantaran urusan nya di rumah Purnama sudah selesai. “Heh, mau kemana lo?” “Pulanglah” “Emang lo punya rumah?” Cewek berpipi itu meraih bantal yang ada di dekatnya dan segera melemparnya ke arah Arsen yang kurang sigap hingga benda empuk itu menghantam mulus wajahnya “Mamam tuh bantal, kalo ngomong suka seenaknya sih” Arsen tidak marah, justru cowok itu malah tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Tissa, dia menatap punggung cewek berpipi yang berjalan menjauh. Dirasa tidak ada yang hendak dilakukan lagi, Arsen bangkit, belum dia melangkah River datang dengan segelas orange jus di tangannya “Kayak nya habis ada tamu, siapa sih? Pacar lo ya?” Cowok itu mengetuk-ngetukan kepalan tangan nya pada jidat lantas pada meja kaca sembari berceletuk “Amit-amit gue pacaran sama dia, tembem dan menyebalkan!” “Hate being love, right?” “Big no!” Keduanya sama-sama tertawa, Arsen yang awalnya sudah lupa soal dia kini setelah melihat wajah River dia jadi teringat kembali. Ah, sialan! Dia selalu merasa dibayang-bayangi masa lalu dan ini tidak bisa dibiarkan. Arsen menepuk pundak River, lantas berjalan menjauh menuju kamar nya. Mungkin berdebat dengan Tissa di balkon akan lebih menyenangkan dari pada mengingat masa lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD