chapter 3

1700 Words
Kiara duduk di tempat tidur dengan memeluk lututnya, ucapan Khandra terngiang terus di kepalanya membuatnya sulit memejamkan mata. 3 hari ia tidak datang ke yayasan cahaya kasih yang kini berada dalam pimpinannya. Untuk usaha travel dan resto ia sudah mengangkat manager dan hanya sesekali saja datang, ia lebih fokus pada adik adiknya di yayasan. Ia mengambil surat wasiat yang telah ia buat dan ia tanda tangani, ternyata ia sangat picik dalam berfikir. Padahal kedua orang tuanya selalu berpesan agar menjadi gadis yang kuat dan tegar walau cobaan apapun datang padanya. Tapi ia malah berfikir untuk melenyapkan diri menyusul kedua orangtuanya hanya karena ia merasa tidak kuat menjalani hidup tanpa kedua orangtuanya. Kiara bertekad akan menjauhi pikiran buruk dan keinginan untuk menyusul kedua orangtuanya, ia sadar semua yang hidup akan mati hanya menunggu waktu saja. Ia ingat bagaimana Khandra menyadarkan dirinya, walaupun ia tidak begitu mengenal pria itu namun ucapan pria itu sangat mengena dihatinya. Kiara berfikir apa jadinya jika tidak ada Khandra yang membuatnya sadar, mungkin saat ini ia sudah meninggal dan usaha kedua orangtuanya akan sia sia saja. Ia beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi namun ia merasakan kepalanya pusing dan ia tak ingat apa lagi. ~~~ ~~~ Kiara membuka matanya, samar samar ia melihat seseorang berbaju putih sedang duduk berbincang dengan seseorang di ambang pintu kamar yang terbuka. Ia mencoba bangun namun kepalanya kembali terasa sakit. "Ouch......." Pekiknya sambil memegang kepalanya membuat dua orang di ambang pintu menoleh bersamaan. "Non Kia, syukurlah non sudah sadar." Ucap art rumah Kiara yang bernama mbok Darmi, wanita tua berusia 60 tahun yang sudah bekerja di rumah Kiara sebelum kedua orangtuanya menikah. Mbok Darmi melangkah mendekati ranjang dimana Kiara berbaring diikuti seorang pria berbaju putih, dokter Khandra. Mata Kiara membola saat tahu yang berada di kamarnya adalah mbok Darmi dan dokter Khandra. "Dokter Khandra??, Bagaiman anda bisa sampai ke rumah saya?" Khandra yang ditanya hanya membisu dan duduk di kursi sebelah ranjang, ia memegang pergelangan tangan Kiara dan memeriksa denyut nadinya, kemudian meletakkan punggung tangannya di kening Kiara. Kiara hanya diam terpaku karena ia masih sangat terkejut karena kehadiran Khandra di dalam kamarnya. "Kamu jangan terlalu stress" ucap Khandra dan menuliskan sebuah resep kemudian ia berikan pada mbok Darmi. "Ini saya resepkan vitamin mbok, tolong minta nona mbok ini minum dengan teratur dan cukup istirahat" "Terima kasih dokter" "Baiklah saya pergi dulu" tanpa menoleh pada Kiara, Khandra berdiri dan keluar dari kamar Kiara diikuti mbok Darmi. "Aneh banget sih, ditanya malah diem aja. Dipikir aku patung apa?" Gumam Kiara melihat sikap Khandra. Tak lama mbok Darmi datang membawa nampan berisi sarapan untuk Kiara walau hari beranjak siang Kiara sekalipun belum mengisi perutnya. "Makan dulu non, baru minum obatnya" "Mbok....... dokter Khandra.........??" "Tadi dokter Khandra datang dan ingin bertemu dengan non Kia soalnya sudah 3 hari non Kia tidak datang ke yayasan. Lalu mbok mau panggil non, saat mbok masuk non Kia sudah tersungkur di lantai pingsan. Jadi mbok minta dokter Khandra untuk membawa non Kia ke atas ranjang. Mbok kan nggak kuat angkat tubuh non Kia" Kiara menutup mulutnya dengan telapak tangannya, ia terkejut karena dokter Khandra yang mengangkat tubuhnya keranjang. "Jadi dia........??" "Maaf ya non, mbok terpaksa karena nggak ada orang di rumah. Pak satpam kan nggak bisa meninggalkan pos nya, tukang kebun juga sedang mengerjakan taman belakang jadi....." "Iya nggak apa apa mbok, sudah terlanjur juga" "Ya sudah non Kia makan dulu ya biar sehat. Non kan punya tanggung jawab besar pada anak yatim piatu dan para karyawan jadi non harus sehat" Kiara mengernyitkan keningnya, heran dengan ucapan mbok Darmi yang tidak biasanya. "Tumben sih mbok ngomong begini, tahu dari mana kalau tanggung jawab saya besar" "Dokter Khandra tadi yang bilang ke saya, jadi saya diminta merawat non Kia baik-baik" "Dokter Khandra???, Sepertinya dia tahu sekali semua kehidupanku" gerutu Kiara pelan "Apa non?" "Ah enggak mbok, nggak apa apa" jawab Kiara tergagap, ia pun segera menyantap makanan yang dibawa mbok Darmi. Oooo----oooO Kiara mengejar anak anak yang sedang bermain bersamanya. Setelah 3 hari tidak datang ke yayasan, dan 2 hari istirahat Kiara kembali ke aktifitas hariannya, bedanya kali ini ia sudah jadi Kiara yang baru, Kiara yang lebih bersemangat hidup dan mulai memandang hidup dengan sisi yang berbeda dari sebelumnya. Anak anak itu tertawa tawa saat membuat Kiara kewalahan dalam mengejar mereka, untungnya banyak pohon rindang di halaman yayasan dalam sehingga mereka tidak kepanasan. Dari jauh terlihat Khandra mengawasi kegiatan Kiara dan anak anak itu dari pintu klinik yang menghadap langsung ke halaman yayasan. Bibir Khandra terlihat melengkung dan menyunggingkan senyum saat melihat keceriaan anak-anak itu, senyum yang sangat jarang hadir dibibirnya itu semenjak pernikahannya Dengan Ranti ia mulai jarang tersenyum, padahal dulu ia adalah pria yang ramah pada siapapun. Apalagi setelah pernikahannya kandas, ia semakin menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya, hanya Bobby sahabatnya yang mengetahui apa yang Khandra rasakan. Beban Khandra sedikit demi sedikit berkurang karena melihat wajah ceria Kiara. Kiara berjalan kembali  menuju ruang kerjanya yang berada di sebelah klinik yang ditempati oleh Khandra 2 hari dalam seminggu. Karena Khandra juga harus bertugas di rumah sakit. Saat melewati klinik ia dikejutkan dengan Khandra yang tiba tiba keluar dari klinik dan menyodorkan sebotol air mineral. Kiara hanya menatap botol air mineral itu. "Ini minum....." Khandra membuka botol air itu dan menyodorkannya ke mulut Kiara yang kemudian di pegang oleh Kiara. "Aku bisa sendiri" Kiara mengambil botol itu dan meminumnya tapi karena terburu-buru Kiara terbatuk karena tersedak. "Uhuk..uhuk....." Khandra menepuk punggung Kiara perlahan untuk meredakannya. "Kenapa harus terburu buru coba, minumnya pelan pelan" ucap Khandra yang hanya dilirik oleh Kiara. Setelah reda, Kiara berjalan meninggalkannya Khandra "Makasih minumnya " ucap Kiara menoleh sejenak pada Khandra "Dia yang kasih minum kenapa dia yang marah coba, dasar aneh" gumam Kiara sambil terus berjalan dan masuk dalam ruangannya. Kiara tak habis fikir dengan sikap Khandra yang kadang baik dan kadang angkuh, kadang perhatian kadang cuek. Kiara mulai menjalani hari-harinya dengan ceria mengimbangi keceriaan anak anak di panti asuhan, namun saat sendiri sesekali ia merasa kesepian walau ia bisa menepisnya dengan mengingat anak anak panti asuhan. Oooo----oooO Khandra berjalan memasuki rumah kedua orangtuanya yang terletak di Jakarta Utara, ia memang tidak tinggal bersama kedua orangtuanya namun ia tinggal di apartemen yang dekat dengan rumah sakit, hanya 10 menit mengendarai mobil. Hari ini ia datang ke rumah kedua orangtuanya karena mereka ingin makan malam bersama, saat memasuki ruang tengah ia terhenti karena ternyata ada tamu. "Khandra, kamu sudah datang?" Sapa mama Khandra kemudian berdiri dan memeluk putranya itu. "Hai ma" "Mama kangen sayang, kamu belum pernah datang ke rumah sejak....." "Ma......." "Maaf maaf, oh ya mama mau kenalkan kamu sama teman mama dan papa" mama Khandra menarik lengan Khandra mendekat pada tamu yang duduk bersama papa Khandra "Kenalkan ini Tante Rheina dan om Aryo. Dan juga putri tunggal mereka, Vania" "Halo om, Tante...." Khandra menjabat tangan kedua orangtua Vania, juga Vania, ia hanya tersenyum tipis nyaris tak terlihat. "Ya sudah ayo kita mulai acara makan malamnya" ucap mama Khandra dan membawa tamu mereka ke ruang makan. Hidangan sudah tersedia, Khandra dan mama papanya,Vania juga dengan kedua orangtuanya. Setelah selesai makan malam, mama Khandra mengajak mereka kembali ke ruang keluarga. "Khandra, Vanya ini dokter gigi loh, lulusan Oxford university pula" puji mama Khandra pada Vania, Vania yang di puji hanya tersipu malu "Oh ya?" Khandra hanya mengangguk mengerti "Kok oh doang sih sayang" "Lalu Khandra harus bilang apa ma?" "Kamu ajak gih Vania ke taman samping, kalian ngobrol ngobrol agar bisa saling mengenal lebih jauh" Khandra mengernyitkan keningnya "Untuk apa ma?" Tanyanya bingung. "Kamu ini Khandra, terlalu banyak tanya, sana ajak Vania ngobrol di taman samping, kami mau bicara antar orangtua" Dengan berat hati Khandra mengajak Vania ke taman samping dan duduk di bangku taman taman di bawah lampu taman yang bersinar. "Bang Khandra berdinas dimana?" Vania mengawali pembicaraan "Rumah sakit "harapan kita"" jawab Khandra singkat. "Wah berarti kita akan sering bertemu, mulai besok aku juga mulai Dinas disana" "Oh ya? Baguslah" "Kenapa sih bang Khandra ngomongnya pelit banget, apalagi senyum" "Saya memang seperti ini orangnya" "Oh...., By the way kita akan dijodohkan loh" ucap Vania riang, sepertinya ia sangat menyukai Khandra "Apa? Kamu bercanda?" "Aku serius bang" "Apa kamu tahu kalau aku pernah menikah?" "Aku tahu dan aku tak masalah dengan status Abang" Khandra terdiam, ia tak menyangka jika mamanya memintanya pulang hanya untuk menjodohkannya dengan Vania. "Ayo kita masuk" ajak Khandra pada Vania yang diangguki oleh Vania, tanpa menunggu Khandra berdiri dan berjalan meninggalkan Vania yang kemudian bergegas mengikuti Khandra masuk ke dalam dan menuju ruang keluarga. "Kok udahan ngobrolnya" mama Vania memandang keheranan pada Khandra dan Vania yang sudah kembali. Khandra kemudian duduk di sebelah mamanya. "Apa benar aku dan Vania akan dijodohkan?" Tanya Khandra dengan mimik tak sukanya "Kenapa Khandra, kamu tidak suka sama Vania, apa Vania kurang cantik?" Tanya pak Aryo, papa Vania pada Khandra. "Bukan begitu Om, tapi apa om tahu keadaan saya?" "Maksud kamu apa Khandra, keadaan apa?" Mama dan papa Khandra mulai khawatir Khandra akan memberitahu kan kekurangannya pada Vania dan keluarganya. "Saya memiliki kelainan di alat reproduksi saya, atau biasa disebut infertilitas" Vania dan kedua orangtuanya terkejut dengan kenyataan yang baru mereka ketahui, mereka saling pandang dan kemudian memandang Khandra dan kedua orangtuanya bergantian. "Informasi sebesar ini, kalian sembunyikan pada kami? Kami ingin mencari menantu yang sehat yang bisa memberikan kami keturunan. Bukan pria mandul seperti Khandra" papa khandra berbicara dengan emosi. "Kami tidak bermaksud seperti itu mas Aryo" jawab mama Khandra. "Perjodohan kita batalkan, ayo ma, Vania kita pulang" pak Aryo berdiri dan melangkah meninggalkan Khandra dan kedua orangtuanya diikuti Vania dan Bu Rheina. Vania menoleh pada Khandra yang juga memandangnya, ada tatapan kecewa di wajah Vania. Sepeninggal Vania dan keluarganya, mama Khandra memandang Khandra dengan tatapan marah. "Kenapa Khandra, kenapa kamu mengatakan hal itu?" "Kita harus jujur ma dengan keadaan Khandra, Khandra tidak ingin menikah lagi apalagi dengan jalan perjodohan seperti ini." "Tapi mama ingin kamu menikah nak" "Tujuan menikah selalu untuk memiliki keturunan ma, apa gunanya jika Khandra tidak bisa melakukan itu. Maafkan Khandra ma, Khandra belum bisa berbakti pada kalian" ucap Khandra kemudian berlalu pergi meninggalkan kedua orangtuanya yang tarmangu dengan wajah sedih. Mereka sedih karena Khandra di vonis infertilitas dan tidak bisa punya anak, itu berarti garis keturunannya akan terhenti di Khandra
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD