01 : Mawar Merah

1479 Words
"Mama, Kakak udah ganteng belum?" Sera yang merupakan Ibu dari tiga saudara kembar itu mengusap puncak kepala Raka dengan gerakan lembut. "Udah kok, memang kapan anak Mama pernah jelek?" Aksa yang sedang menyantap roti isinya, lantas mendengus geli melihat kelakuan Kakaknya tersebut. "gwantengan jugwa guehh dwaripadah lohhh," katanya dengan mulut yang masih terisi penuh oleh roti isi. "Bukan ketua OSIS sekolah gue." Raka mengusap-usap dadanya pelan. Beralih pada Sera lalu mengecup singkat pipi wanita itu. "Kakak berangkat ya, Ma." Sera mengangguk, "kamu tumben banget berangkat pagi?" Raka yang ditanya seperti itu langsung nyengir lebar, matanya melirik kearah Aksa yang masih sibuk dengan sarapan paginya. "Sengaja. Kakak kan mau menyiapkan persiapan, untuk menyambut kedatangan calon masa depan, yang baru pulang dari Semarang." "UHUK! Anj─UHUK!" Aksa langsung memukul-mukul dadanya akibat tersedak roti isi. Dia melupakan hal itu. "Kenapa sih, dek?" Sera menghampiri putra bungsunya, lalu menyodorkan air minum yang langsung ditegak habis oleh Aksa. "KAKAK s****n!" teriaknya murka. Aksa langsung mencium cepat pipi Sera, menyambar tas dan kunci mobilnya dimeja ruang tamu. "ADEK BERANGKAT MAH!" teriaknya sebelum menghilang di balik pintu. Sera hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya heran, sifat Raka dan Aksa benar-benar jiplakan dari seorang Daniel─suaminya─yang selalu konyol tanpa kenal waktu dan tempat, berbeda dengan Barga yang justru sangat mirip dengannya dulu. "Pagi, Abang," sapa Sera yang melihat kehadiran Barga di meja makan. "Pagi, Ma." "Abang mau sarapan dulu nggak?" Barga menggeleng tanpa menjawab. Benar-benar mirip dengan Sera yang dulu, Barga sangat pendiam. "Loh, itu bunga buat siapa, Bang?" Daniel tiba-tiba muncul diantara mereka, dengan pakaian kantor yang sudah lengkap. Sera mengerjap, baru sadar jika putra sulungnya itu sedang menggenggam sebucket bunga mawar. "Yonda," jawab Barga. Barga mendengus melihat perubahan raut wajah Daniel yang terlihat kaget setengah mati. "Bukan gitu," Barga berucap lagi untuk mengusir pikiran-pikiran aneh yang mungkin saja hinggap dikepala Papanya itu. "Yonda titip ke Barga," jelasnya, tidak perduli Daniel sudah mengerti atau tidak. "Temen kamu mau nembak cewek?" Sera bertanya, yang langsung ditanggapi oleh Barga dengan cara mengangkat bahu. Melirik sebentar jam tangan hitam yang melekat ditangannya, Barga langsung mengecup singkat pipi Sera. "Abang berangkat," katanya, dan langsung berlalu ke pintu utama. Kegiatan itu sudah menjadi kebiasaan untuk ketiganya, alih-alih mencium tangan sang Mama, mereka justru mencium pipinya untuk salam sebelum pergi. Namun, berbeda dengan Sera yang sedang tersenyum, Daniel justru cemberut karna kelakuan Barga barusan. Ketiga anaknya bahkan tidak mengucapkan salam kepadanya, kebiasaan sekali, giliran minta duit baru lari ke Papanya! "Anak siapa kali geh," sungut Daniel kesal. * Nabila membuka pintu mobil, saat memastikan bahwa mobil sudah terparkir dengan sempurna. Udara Jakarta langsung menyambutnya, setelah tiga hari lamanya Nabila harus menginap di Semarang, dikarenakan lomba sains yang diikutinya, kini dia sudah bisa bernapas lega lagi karena sudah pulang ke kotanya sendiri. "Nabila." "Iya, Bu?" Nabila langsung menghampiri Ibu Ani, guru sainsnya yang ikut terbang ke Semarang untuk menemaninya. "Hari ini kamu jam kosong, ya, saya udah izin sama wali kelas kamu. Jadi kamu nggak perlu masuk ke kelas." Nabila mengangguk, "iya, makasih Bu," jawabnya sopan. "Kamu mau langsung pulang?" tanya Wanita itu lagi, merasa bingung juga dengan nasib siswi kesayangannya ini, mereka baru sampai di sekolah pada pukul sepuluh pagi. Yang berarti, pelajaran baru saja akan masuk pada jam kedua. "Enggak, Bu. Nabila mau nunggu diruang serbaguna aja, soalnya masih ada perlu juga sama temen yang lain," jawab Nabila lagi, mengingat bahwa dia memiliki janji dengan Lalisa, teman sekelas dan sebangkunya. "Mau kasih kabar?" Ledek Bu Ani. Nabila tertawa kecil, "enggak bu, hehe. Nabila mau kasih oleh-oleh buat Lalisa." "Lagian nggak perlu kamu kasih tahu juga, pasti mereka udah tahu apa yang kamu dapat." Ibu Ani tertawa, "iyasudah, kamu hati-hati ya ke ruang serbagunanya." "Iya, Bu. Ibu juga hati-hati." Ah, Nabila jadi kangen Ibu dan Ayahnya. Tapi, dia bisa pulang nanti untuk memberi kabar kepada kedua orang tuanya. Nabila segera berjalan menuju ruang serbaguna. Ruangan itu digunakan untuk penyimpanan kostum anak-anak tari, tempat istirahat untuk anak-anak sepertinya yang sering mengikuti lomba, dan bisanya digunakan juga untuk ruang rapat ketika ada acara besar, seperti namanya, ruangan ini memang ruang serbaguna. Nabila langsung menghela napas lega saat melihat ruangan itu kosong, dia menutup pintunya dan menaruh tasnya di lantai secara asal, lalu dia merenggangkan otot-ototnya yang masih terasa sedikit sakit karena terlalu lama duduk dimobil. Gadis itu berjalan gontai kearah sofa, menghempaskan tubuhnya disana. "Tidur bentar nggak apa-apa kali, ya." Belum sempat kedua matanya ingin terpejam, Nabila langsung terlonjak kaget ketika pintu ruangan dibuka lebar dengan dahsyatnya, hingga menimbulkan dentuman kuat. Nabila yang sudah duduk sontak meringis, takut kalau engsel pintu itu rusak mendadak. "NANAAA!!" Kedua bahu Nabila merosot, menyadari siapa dalang dari semua ini. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan panggilan itu, siapa lagi kalau bukan si artis sekolah RADEN RAKA BAGASKARA. Raka langsung duduk di lantai, mendongak untuk melihat wajah Nabila yang sedikit lebih tinggi karena gadis itu sedang duduk disofa. "Gimana?! Menang kan?! Ya pasti menang lah!" ujar Raka kelewat antusias. Rasa lelahnya langsung menghilang begitu saja setelah mendengar ucapan laki-laki itu, mengingatkannya tentang kemenangan yang baru saja diraihnya. Nabila merasa bangga. "Juara berapa coba tebak?" tanyanya sambil mengulum senyum. "Satu lah, jelas!" jawab Raka dengan bangganya, padahal Nabila yang menang lomba, tapi Raka yang heboh banget. Akhirnya senyum Nabila langsung terulas, dia lantas mengangguk dengan semangat. Benar kata Ibu Ani, teman-temannya pasti akan langsung mengetahui tanpa harus diberitahu terlebih dahulu. "Nana-ku pinter banget sihhh …." Raka mencubit kedua pipi Nabila dengan gemas. "Sakit, Ka!" gadis itu mengaduh kesakitan memegangi pipinya. Raka dan Nabila itu satu kelas, jadi mereka cukup dekat. Tapi, Nabila hanya menganggap kedekatan itu sebagai pertemanan, sama seperti Nabila yang menganggap Aksa sebagai teman juga. Satu sekolah pun tahu, bahwa saudara kembar itu menyukai Nabila. Raka dan Aksa yang selalu terang-terangan mendekati gadis itu sejak kelas sepuluh semester dua, dan sekarang mereka sudah kelas sebelas, jadi sudah sekitar enam bulan lebih Nabila dikejar oleh kedua laki-laki itu. Tidak seperti Raka dan Aksa yang gentar sekali mendekatinya, Barga justru terlihat sangat cuek kepada gadis itu. Maka dari itu, anak-anak lain lebih suka meledeki Nabila dengan kedua bersaudara itu, daripada saudaranya yang satu lagi. Tidak semua saudara kembar itu, punya sifat yang sama. Itulah yang dipikirkan teman-temannya tentang Triplets Bagaskara─ panggilan dari teman-teman untuk ketiga bersaudara itu. "Ka, lo bolos ya?!" Nabila menatap horor kearah Raka yang sedang memainkan ponselnya, sibuk mengscroll beranda **. Menyadari bahwa sekarang masih jam pelajaran, Nabila langsung mendorong laki-laki itu dengan tenaganya yang masih tersisa. "Masuk kelas sana!" suruh Nabila yang sama sekali tidak direspon oleh Raka. "Gue marah sama lo, kalo sampe lo nggak balik ke kelas sekarang juga!" Ancam Nabila kesal. Raka langsung berdiri. "Iya, iya. Bawel banget deh, Nana." Dia merogoh saku celananya, lalu menyerahkan coklat silverqueen kegenggaman gadis itu. "Hadiah, karena Nana udah menang," katanya seraya tersenyum manis, Raka mengacak puncak kepala Nabila sebentar sebelum berlalu dari hadapan Nabila. Diambang pintu Raka berbalik. "Kalo kangen bilang aja! Pasti nanti langsung Raka samperin!" Gadis itu hanya tersenyum menanggapinya. * Nabila melambaikan tangannya ke arah Lalisa yang terlihat di pintu kantin, sahabatnya itu langsung menghampirinya dengan senyum lebar. "Menang lagi coy! Keren bener lo ini memang!" Lalisa langsung menerjang Nabila dengan pelukan. Selama perjalanan kekantin, Lalisa memang sudah mendengar orang-orang yang membicarakan kemenangan Nabila. Nabila terkekeh, "kemenangan itu gue awali dengan berdoa, terus dilanjut belajar." "Iyadeh paham, yang punya otak setara sama Einstein." Ledek Lalisa, tapi seakan teringat oleh sesuatu dia langsung menatap Nabila dengan sorot serius. "Oleh-oleh gue! Beli nggak?!" "Beli dong!" jawab Nabila semangat, lalu menyerahkan bungkusan yang sedari tadi berada di bawah meja kepada Lalisa. Lalisa menerimanya dengan senang hati, acungan jempolnya mendarat mulus didepan wajah Nabila. "Dabest dah dabest! Nggak bisa berkata-kata lagi gue!" Perbincangan itu tetap berlanjut, sekalian menemani Lalisa makan siang karena sekarang sedang jam istirahat, tapi Nabila menolak untuk ikut makan karena tadi dia sudah makan di ruang serbaguna. Bel masuk menginterupsi perbincangan mereka, membuat keduanya mendesah kesal karna belum merasa cukup untuk melepas rasa rindu. "Lo nggak nunggu sampe pulang ya?" tanya Lalisa memelas. Nabila menggeleng, "gue mau langsung pulang aja, kangen Ibu soalnya." Lalisa mangut-mangut mengerti, "yaudah, hati-hati ya lo baliknya! Kita ketemu besok!" Keduanya berpelukan sebentar sebelum Lalisa beranjak pergi untuk kembali ke kelas. Melihat Lalisa yang sudah menghilang di pintu kantin, membuat Nabila lantas berbalik arah untuk kembali ke ruang serbaguna, mengambil tasnya. Beberapa siswa maupun siswi yang bertemu dengannya diperjalanan terus mengucapkan kalimat Selamat ya Nabila! Dan dibalas ucapan terima kasih serta senyum manis oleh gadis itu. Nabila tidak pernah sombong atas semua yang diraihnya, bahkan dia selalu bersyukur setiap mendapatkan kemenangan. Dirinya sendiri tidak pernah menyangka akan dianugerahkan otak yang begitu encer, sehingga membuatnya ingin mempergunakan otak ini sebaik mungkin. Nabila membuka pintu ruang serbaguna dengan hati-hati, ada dua anak tari disana. Keduanya langsung mengucapkan kalimat yang sama ketika menyadari kehadiran Nabila, dan Nabila tentu langsung tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Dia berjalan menuju tasnya yang berada didekat tumpukan kardus, berniat memakainya sebelum sebuah benda diatas tas miliknya menyita perhatiannya. Di atas tasnya ada satu tangkai bunga mawar merah yang masih segar dan tidak terbungkus oleh plastik. Di bagian batangnya terlilit kertas putih, Nabila segera mengambilnya dan membaca tulisan tangan yang entah milik siapa. Selamat Bila! Nabila tersenyum membacanya, dia sudah mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-temannya. Tapi mendapatkan hal manis dengan pengirim misterius seperti ini, membuat Nabila penasaran. Entah siapapun pengirimnya, Nabila tetap mengucapkan rasa terima kasih lewat hatinya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD